Menentang pemerintah dengan dalih membela agama untuk mengesankan pemerintah memusuhi agama mereka, menolak ditangkapnya tokoh politik oposisi yang kebetulan mereka anggap ulama suci yang tidak mungkin berdosa, ini berbahaya. Oleh karenanya, sekali lagi, penting untuk menambahkan label "oposisi" secara relevan di belakang klaim-klaim tokoh politik yang mengatasnamakan agama.Â
Supaya dunia polemik tidak terlalu gaduh dengan kerancuan berbalut agama. Karena kesamaan agama tidak otomatis menunjukkan kesamaan pandangan politik, klaim yang mengatasnamakan agama mestinya tidak boleh diajukan dalam ranah politik sehingga seakan-akan lawan politiknya pasti berbeda agamanya.
Fatwa politis ulama pun akan bisa dicerna secara lebih jernih jika label oposisi -- non_oposisi disematkan secara relevan. Jika fatwa politis itu berasal dari ulama non-oposisi, kemungkinan besar akan menganjurkan sikap maupun aksi damai andai ada kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak rakyat.Â
Jika sebaliknya, baru perlu dipertanyakan. Di sisi lain, jika fatwa politis berasal dari ulama oposisi, kemungkinan besar akan mengkritik keras kebijakan pemerintah tersebut dan memanfaatkannya untuk mendegradasi kewibawaan pemerintah.
Dengan memahami adanya label "oposisi" maupun "non-oposisi" di belakang gelar ulama yang (ikut-ikutan) berpolitik, masyarakat akan lebih mudah mewaspadai adanya agenda politik yang dibalut agama. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi mudah terprovokasi oleh isu-isu yang mengatasnamakan agama yang berujung pada ajakan aksi intoleransi.
Jika pelabelan "oposisi" itu tidak mungkin dilakukan secara resmi, paling tidak, masyarakat awam dapat membuat klasifikasi sendiri dengan mudah. Karena (umumnya) ulama oposisi sangat tertarik dengan politik keberpihakan dengan segala pernik kemewahan duniawinya.Â
Karena ulama oposisi adalah ulama bagi kubu oposisi saja. Kalau pun ada istilah "ulama" pada nama organisasi yang menaunginya, masyarakat pun paham bahwa sebenarnya tersirat juga kata "oposisi" di belakangnya; entah itu sebelumnya didahului kata "persatuan", "perkumpulan", "paguyuban", atau "majelis".