Mohon tunggu...
Al Gifari
Al Gifari Mohon Tunggu... Lulusan Sarjana Hukum | Pernah nulis jurnal, artikel, sampai caption galau | Meneliti realita, menulis pakai hati (dan sedikit sarkasme)

Membawa keresahan lokal ke ruang publik. Menulis tentang lingkungan, budaya, dan realita sosial. Kalau tulisan saya bikin kamu nggak nyaman, mungkin karena kenyataannya emang begitu.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Janji Politik yang Membusuk di Jalan Berlubang Desa Darat Pantai

30 Juli 2025   15:19 Diperbarui: 30 Juli 2025   15:42 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya lahir dan tumbuh di desa yang indah ini, tempat laut menyapa karang dan bukit memeluk langit. Tapi sepanjang hidup saya, jalan menuju desa kami tak pernah benar-benar dibangun.  

Kami punya hutan mangrove yang rimbun, berdiri tenang menyambut ombak yang datang dari Laut Flores. Kami punya pantai dengan pasir putih dan kebun kelapa yang menjulang, menjadi naungan alami bagi siapa pun yang ingin duduk diam menatap cakrawala. Kami punya bukit-bukit kecil yang menyimpan keheningan, tempat sempurna untuk menanti matahari terbit dari timur dan menyaksikan senja perlahan menutup hari. Semua keindahan itu bukan ada di tempat jauh, tetapi semuanya ada di desa kami, Darat Pantai, bagian dari Tanjung Darat, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Namun, siapa yang tahu tempat ini ada? Siapa yang bisa datang dan menikmati semua ini, jika jalan menuju ke sini bagaikan jalur menuju pelosok yang dilupakan? Sudah lebih dari 20 tahun, akses utama menuju Desa Darat Pantai dibiarkan rusak parah. Jalan tanah yang penuh lubang, tergenang saat hujan, berdebu saat kemarau. Bahkan saat pemerintah pusat dan daerah ramai bicara tentang pembangunan, pariwisata, dan transformasi desa, jalan ke tempat kami tetap diam, tak bergeming, seperti janji-janji yang terlalu lama dibiarkan basi.

Kami tidak membayangkan hal mewah. Kami tidak menuntut hotel bintang lima atau bandara internasional. Yang kami minta sejak dulu hanyalah jalan. Jalan yang layak, yang bisa dilalui kendaraan roda empat tanpa khawatir terperosok. Jalan yang memungkinkan ibu-ibu menjual hasil kebunnya ke pasar. Jalan yang bisa membawa pengunjung menikmati alam kami. Tapi setiap kali kami menagih janji, yang kami dapat hanya satu kata yaitu "nanti".

Sudah berapa kali desa kami menjadi bahan kampanye? Sudah berapa musim pemilu berlalu, dari pemilihan legislatif, kepala daerah bahkan pemilihan Presiden? Kami masih ingat mereka datang, berdiri di tengah jalan rusak yang mereka janjikan akan diperbaiki. Mereka bersalaman dengan warga, makan pinang bersama tetua desa, dan menyampaikan dengan yakin bahwa jalan ini akan jadi prioritas tahun depan. Tapi tahun depan yang dimaksud tidak pernah benar-benar tiba. Kami tetap di sini, di jalan yang sama, dengan harapan yang makin pudar.

Potensi wisata bukan sekadar slogan. Ia adalah sumber kehidupan baru bagi desa kami. Beberapa tahun lalu, ada upaya dari anak muda untuk mempromosikan tempat ini di media sosial. Kami buat dokumentasi sederhana, unggah ke Facebook dan TikTok. Responsnya lumayan, banyak yang bertanya. Tapi semua pertanyaan ujungnya sama: "Bisa dilewati mobil kah?" atau "Jalannya bagaimana?" Ketika kami jawab dengan jujur, bahwa jalannya masih rusak parah, sebagian besar mundur pelan-pelan.

Beberapa turis lokal yang nekad sempat datang, namun mereka pun kelelahan setengah mati. Salah satu dari mereka bahkan hampir terjatuh ke got kecil karena motornya tergelincir lumpur. Sejak itu, makin sedikit yang datang. Bukan karena alam kami tak menarik, tapi karena aksesnya tak bersahabat. Potensi itu akhirnya tinggal potensi. Keindahan itu akhirnya hanya jadi rahasia kecil yang kami nikmati sendiri.

Lebih menyakitkan lagi adalah ketika kami sadar bahwa desa kami bukan tak dikenal. Ia dikenal, tapi dibiarkan. Dalam forum-forum pemerintah, nama Darat Pantai disebut. Dalam dokumen perencanaan daerah, wilayah kami masuk dalam peta. Tapi mengapa kami masih berjalan di atas jalan tanah? Mengapa saat anak-anak desa lain sudah pergi sekolah naik motor dengan nyaman, anak-anak kami harus menyeberangi kubangan air, menuntun sepeda agar tidak jatuh?

Seandainya jalan itu dibangun, bukan hanya wisata yang bangkit. Ekonomi warga akan menggeliat. Kami bisa menjual hasil kelapa lebih cepat. Ikan tangkapan nelayan bisa dibawa ke kota tanpa harus rusak di perjalanan. Para pemuda tidak perlu merantau jauh-jauh ke kota hanya untuk bekerja serabutan. Mereka bisa mengelola parkir wisata, membuka warung kecil, menjadi pemandu lokal. Desa kami bisa hidup. Tapi semuanya tetap jadi wacana karena jalan itu tak kunjung hadir.

Sementara itu, di kota-kota besar, pembangunan jalan terus berlanjut. Jalan-jalan baru diaspal, jembatan diperluas, bahkan flyover dibangun. Kami tidak iri, kami hanya ingin keadilan. Jika pemerintah pusat berbicara tentang membangun dari pinggiran, mengapa pinggiran seperti kami justru makin tertinggal? Jika negara hadir di setiap jengkal tanahnya, mengapa langkah kaki kami masih terpeleset di tanah becek?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun