Mohon tunggu...
Al Gifari
Al Gifari Mohon Tunggu... Lulusan Sarjana Hukum | Pernah nulis jurnal, artikel, sampai caption galau | Meneliti realita, menulis pakai hati (dan sedikit sarkasme)

Membawa keresahan lokal ke ruang publik. Menulis tentang lingkungan, budaya, dan realita sosial. Kalau tulisan saya bikin kamu nggak nyaman, mungkin karena kenyataannya emang begitu.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pendidikan Gratis? Kalau Cuma di Kota, Itu Namanya Diskriminasi

11 Juli 2025   00:23 Diperbarui: 11 Juli 2025   00:42 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tidak kekurangan anggaran. Tapi kita sering kali kekurangan niat untuk membenahi sistem secara menyeluruh dan merata. Kita sering cepat puas ketika program besar diumumkan, padahal pelaksanaannya hanya menjangkau sebagian kecil masyarakat.

Saya khawatir, jika pendekatannya tidak berubah, program sekolah gratis hanya akan memperluas ketimpangan. Anak-anak di kota tetap unggul dengan segala dukungan yang mereka miliki, sementara anak-anak di pelosok timur negeri ini hanya mendapatkan "gratis" dalam bentuk formalitas.

Harapan dari Timur

Sebagai anak dari Indonesia Timur, saya tidak menuntut kemewahan. Kami hanya ingin diperlakukan adil. Kami ingin anak-anak kami punya ruang belajar yang layak, guru yang hadir, buku yang tersedia, dan akses yang memungkinkan mereka tumbuh dan bermimpi.

Saya menulis ini agar suara kami sampai ke tengah telinga pemimpin negeri ini. Agar orang-orang di pusat tahu bahwa sekolah gratis adalah langkah awal, bukan akhir. Bahwa yang kami butuhkan adalah kesetaraan, bukan sekadar subsidi. Dan bahwa kebijakan sebesar apa pun tidak akan berarti jika tidak benar-benar sampai ke anak-anak kami yang tersembunyi di balik bukit, di balik jalan tanah, di sekolah kecil yang nyaris tak pernah terdengar namanya.

Penutup

Sekolah gratis bisa menjadi pintu perubahan, tapi hanya jika dibarengi keadilan distribusi, pemberdayaan guru, pembangunan infrastruktur, dan pemahaman terhadap kondisi lokal. Jika tidak, ia hanya akan menjadi satu lagi program besar yang gagal menyentuh mereka yang paling membutuhkannya.

Saya menulis ini bukan karena kecewa, tapi karena berharap. Karena saya percaya, masa depan Indonesia dimulai dari ruang kelas yang tak terdengar, dari anak-anak yang hari ini belajar tanpa alas kaki, tapi menyimpan cita-cita sebesar langit.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun