Yang sering luput dari pembicaraan nasional adalah peran besar sekolah swasta di wilayah-wilayah tertinggal. Di banyak pelosok Indonesia Timur, sekolah swasta menjadi tulang punggung utama pendidikan dasar dan menengah, terutama ketika negara belum hadir atau belum siap.
Sekolah-sekolah Katolik yang dikelola tarekat religius seperti SVD, SSpS, atau FIC, telah puluhan tahun membuka akses pendidikan di desa-desa terpencil. Dengan sumber daya terbatas, mereka tetap berkomitmen menghadirkan pendidikan berkualitas. Ruang-ruang kelas dibangun dengan gotong royong. Guru-guru datang dari berbagai daerah, rela mengabdi jauh dari kota.
Di sisi lain, sekolah-sekolah Muhammadiyah juga memainkan peran penting dalam mendorong literasi dan kesadaran keagamaan yang moderat. Lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah telah hadir bahkan di daerah-daerah terpencil, termasuk di sebagian wilayah timur Indonesia, memberikan pilihan pendidikan yang terjangkau, dengan visi keumatan yang kuat.
Dua kekuatan masyarakat sipil ini Gereja Katolik dan Muhammadiyah telah membuktikan bahwa pendidikan adalah panggilan moral, bukan semata urusan anggaran. Maka ketika pemerintah mewacanakan subsidi sekolah gratis untuk lembaga swasta, sudah sewajarnya mereka menjadi prioritas penerima bantuan, bukan malah dilupakan karena bukan bagian dari sistem negeri.
Tanpa Infrastruktur, Sekolah Gratis Hanya Slogan
Bukan hanya soal biaya dan fasilitas. Infrastruktur dasar pun masih jadi penghalang utama. Jalan yang rusak, listrik tak stabil, jaringan internet terbatas semua itu membuat proses belajar jadi tidak maksimal.
Sekolah gratis tanpa akses jalan hanyalah kebijakan kertas. Sekolah gratis tanpa air bersih, tanpa toilet yang layak, tanpa sinyal internet, tidak akan mengangkat kualitas pendidikan. Kita tidak bisa berharap anak-anak tumbuh cerdas hanya dengan membebaskan SPP, sementara kondisi belajar mereka tetap terbelakang.
Guru Adalah Kunci, Tapi Sering Dilupakan
Perlu diingat, pendidikan tidak akan berjalan tanpa guru yang layak. Guru adalah ujung tombak pembelajaran. Tapi di timur Indonesia, guru seringkali hanya menjadi pelengkap. Banyak yang digaji rendah, tanpa pelatihan, bahkan tanpa jaminan status.
Jika anggaran Rp71,1 triliun ingin berdampak nyata, maka pastikan juga guru-guru honorer di desa-desa ikut sejahtera, diberdayakan, dan dihargai. Pendidikan tidak bisa bermutu jika yang mengajar pun masih bergantung pada gaji insentif seikhlasnya pemerintah daerah.
Uang Banyak Tak Menjamin Perubahan Jika Tak Tepat Sasaran