Setengah bulan memasuki tahun 2019, situasi sosial dan politik di tanah air terus bergolak. Ini adalah tahun politik. Tahun di mana kebenaran dan kebohongan berjalin kelindan, pun seruan moral dan ujaran kebencian.Â
Kita bisa melihatnya dengan jelas, mulai kisruh soal tujuh kontainer surat suara tercoblos, razia buku-buku kiri hingga kasus prostitusi yang melibatkan kalangan artis dan pengusaha kaya.
Media-media massa menghadirkan banjir informasi yang terus berubah dan kian deras dari waktu ke waktu. Belum tuntas sebuah kejadian dipahami publik, sudah muncul lagi kejadian lain yang membuat perhatian publik beralih.Â
Kita bisa dengan mudah menemukannya dalam berbagai unggahan entah berupa tulisan atau meme yang muncul di media-media sosial. Di sana berbagai hal bercampur seru. Berbagai komentar saling bersahut. Media-media sosial menjadi sebuah tempat di mana orang bisa mengutarakan apa saja, pun bisa merespon apa saja.
Pertanyaannya, sejauh mana para pengguna media sosial bisa bertindak bijak dan berpikir jernih di tengah banjir informasi yang deras melanda agar tidak hanyut apalagi sampai terjerat UU ITE?
Sekat yang Makin Kabur
Dunia maya atau secara khusus media-media sosial dalam jarinagn (daring/online) telah mengubah secara signifikan pemaknaan atas ruang publik dan ruang privat.Â
Kaburnya ruang publik dan ruang privat ini membuat media komunikasi online seolah menyediakan kebebasan berpendapat seluas-luasnya kepada publik yang ingin bersuara. Padahal ini hanya gambaran buram tentang kebebasan yang bila dilihat secara jernih ternyata tetap memiliki batas-batas tertentu
Sisi lain kebebasan yang ditawarkan media sosial dalam jaringan ialah kaburnya sekat-sekat imajiner yang sebelumnya ada dalam dunia nyata. Sebagai misal sebuah status yang ditulis seorang profesor di akun media sosialnya dapat ditanggapi oleh seorang yang barangkali baru duduk di bangku SMP atau SMA, bahkan yang tidak menyelesaikan jenjang pendidikan dasar. juga sebaliknya.Â
Hal ini berlaku juga untuk sekat-sekat lain yang dibayangkan ada di dunia nyata seperti kelas sosial atau kemampuan ekonomi, agama, suku atau afiliasi politik. Segala sesuatu seakan-akan menjadi kabur, dalam ruang baru yang diciptakan dunia maya.
Kaburnya sekat-sekat ini kemudian berimbas pula pada kaburnya nilai-nilai, termasuk kebenaran-kebenaran yang ada di dunia maya. Bisa dikatakan bahwa di dunia maya, kebenaran dan isu, fakta dan asumsi berjalin kelindan dan melahirkan opini-opini baru yang bisa jadi terlepas sama sekali dari kebenaran faktual yang terjadi di dunia nyata.Â
Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa di dunia maya segala sesuatu bisa berubah dengan kecepatan luar biasa dan arah yang tidak bisa dikontrol. Dalam kalimat lain, di dunia maya batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi begitu tipis.
Pada sisi lain, identitas mereka yang terlibat dalam ruang komunikasi itu juga bisa dikaburkan sedemikian agar tidak dikenali. Dunia maya menyediakan topeng-topeng identitas yang bisa dikenakan oleh mereka yang ingin masuk dan berinteraksi di dalamnya.Â
Orang bisa menjadi apa saja atau siapa saja, dan berpendapat tentang apa saja. Contoh paling gamblang dapat dilihat dalam grup-grup diskusi di media sosial bertopik politik. Di sana dapat ditemukan begitu banyak akun palsu atau akun yang tidak sepenuhnya mencerminkan identitas sang pemilik akun di dunia nyata.
Orang bisa ada serentak tidak ada di dunia maya. Orang bisa hadir untuk turut berpendapat, tetapi orang juga bisa hadir hanya untuk melihat apa yang terjadi di dunia maya, tanpa disadari kehadirannya karena tidak meninggalkan jejak apapun. Singkatnya, dunia maya membuat orang menjadi sulit menarik garis batas yang tegas antara ada dan tiada, antara kehadiran dan ketidakhadiran.
Dalam kekaburan ini bagaimana mungkin dapat ditemukan kebenaran, dan sejauh mana kebenaran itu dapat diperiksa untuk kemudian diafirmasi sebagai kebenaran? Kekaburan ini hanya dapat disibak bila orang mampu membedakan secara jeli setiap hal yang ditampilkan di dunia maya. Paling kurang ada tiga hal yang  mesti diperiksa yakni fakta, asumsi, dan opini.Â
Karena itu, apa yang ditampilkan di dunia maya, yang berkaitan dengan persoalan publik sedapat mungkin diperiksa kesesuaiannya dengan apa yang ada di dunia nyata. Hal ini penting untuk membedakan apakah yang tertulis itu sebuah kenyataan, atau hanya asumsi pribadi sang pemilik akun saja. Artinya setiap isu publik yang diangkat dan ditampilkan di dunia maya sebisa mungkin dibandingkan dengan informasi lain terkait isu bersangkutan.
Tidak jarang apa yang ditampilkan di dunia maya, khususnya status pada akun-akun media sosial adalah asumsi pribadi sang pemilik akun yang muncul dari prasangka atas sebuah fakta, bukan fakta itu sendiri. Persoalannya ialah asumsi pribadi yang ditampilkan inilah yang kemudian ditanggapi dan dijadikan bahan perdebatan di dunia maya.Â
Orang menjadi lupa untuk memeriksa kebenaran di balik sebuah asumsi, dan malah terseret untuk berasumsi atau beropini atas sebuah asumsi, bukan atas kebenaran faktual. Akibatnya, ruang-ruang diskusi di dunia maya berubah menjadi ruang untuk saling menghujat dan mempertontokan kelemahan-kelemahan diri dan pihak lain.
Ruang-ruang diskusi di dunia maya sebetulnya menarik untuk dijadikan ruang-ruang publik baru yang pada level tertentu memberi jaminan bagi kebebasan dan kesetaraan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Namun, ruang-ruang ini dengan segera berubah menjadi ruang-ruang komunikasi yang terdistorsi oleh kekaburan fakta dan asumsi, kebenaran dan kepalsuan.Â
Bahaya inilah yang kiranya perlu diwaspadai oleh publik pengguna media komunikasi online. Kejelian membedakan fakta, asumsi dan opini menjadi tuntutan yang perlu dipenuhi agar publik tidak tersesat dan terseret dalam arus kekaburan informasi yang terjadi di dunia maya.**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI