Malam itu, tepat setahun setelah kami berpisah, aku berdiri sendiri di balkon apartemenku. Langit Jakarta tampak bersih dari polusi, memperlihatkan bintang-bintang yang biasanya tersembunyi. Salah satu bintang bersinar lebih terang dari yang lain, mengingatkanku padamu yang lahir di bawah rasi bintang Taurus pada 24 April 2003.
Kita bertemu pertama kali di sebuah Zoom meeting setelah proker selesai. Kau adalah adik temanku, setahun di bawahku. Wajahmu di layar laptop tampak berbeda dari yang lain—matamu berbinar penuh semangat saat menyampaikan ide-idemu. Aku yang biasanya pendiam tergerak untuk mengirim pesan pribadi setelah rapat virtual itu berakhir, dan begitulah awal dari segala cerita kita.
"Bintang itu indah karena mereka tetap bersinar meski tahu cahayanya butuh waktu bertahun-tahun untuk sampai ke mata kita," katamu waktu itu.
Dua tahun berlalu sejak pertemuan itu. Dua tahun penuh kenangan manis dan pahit yang kini kusimpan dalam kotak ingatan terdalam. Kau dengan impian besarmu untuk menjelajah dunia, dan aku dengan keinginanku untuk membangun kehidupan yang stabil di sini.
Perpisahan kita tidak dramatis, meski aku tahu itu mungkin karena kesalahanku. Aku terlalu sibuk dengan duniaku, terlalu yakin kau akan selalu ada. Mungkin aku yang terlalu kaku, terlalu takut untuk berubah. Tidak ada air mata berlebihan atau teriakan menyakitkan saat kita berpisah. Hanya dua orang yang menyadari bahwa hubungan mereka tidak bisa dipaksa untuk terus berjalan.
"Mungkin kita perlu waktu," katamu saat itu, suaramu terdengar bergetar meski berusaha tegar. "Mungkin ini kesalahan kita berdua, tapi aku perlu menemukan jalanku sendiri."
Aku tidak berusaha menahanmu, meski hatiku berteriak untuk melakukannya. Tidak ada yang kukejar, tidak ada yang kubela. Mungkin itulah kesalahanku yang terbesar—aku terlalu cepat menyerah pada kita. Tapi saat itu, aku pikir melepaskanmu adalah bentuk cinta yang paling dewasa. Aku pikir membiarkanmu pergi adalah cara terbaik untuk melihatmu bahagia.
Setahun telah berlalu. Aku mendengar dari teman-teman bahwa kau kini berada di negeri seberang, mengambil foto-foto menakjubkan yang mulai dikenal dunia. Kadang aku melihat karyamu di majalah-majalah atau media sosial. Setiap foto seakan bercerita tentang perjalananmu, tentang dunia yang kau saksikan dengan matamu sendiri.
Sementara aku di sini, mengembangkan bisnis kecilku, menemukan kebahagiaan dalam rutinitas yang dulu kau sebut membosankan. Mungkin kita memang ditakdirkan untuk jalan yang berbeda.
"Dua orang bisa saling mencintai tapi tidak ditakdirkan bersama," begitu katamu saat kita mengakhiri hubungan. Kalimat itu masih terngiang di telingaku hingga kini.