Mohon tunggu...
Getha Dianari
Getha Dianari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Tunggu sesaat lagi, saya akan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Bencana, Kemana Kita Harus Berlindung?

28 Desember 2018   20:44 Diperbarui: 18 Januari 2019   20:49 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pict Source: www.loopjamaica.com

Tsunami menerjang Banten dan Lampung pada 22 Desember 2018 lalu hingga menewaskan ratusan jiwa, diindikasi bermula dari longsor Gunung Anak Krakatau. Pagi tadi (28/12/2018) berita di televisi mengabarkan status waspada gunung berapi tersebut sudah ditingkatkan menjadi siaga. Warga dihimbau mengungsi setidaknya 5 km dari titik lokasi.

Sejak insiden tsunami itu, satu per satu kisah tragis nan dramatis kemudian terangkat ke media dan menjadi hot issue pagi siang hari perbincangan rekan-rekan kerja di kantor.

Kegiatan menyenangkan gathering karyawan PLN bersama keluarga ternyata harus berakhir memilukan. Kisah Ifan Seventeen yang begitu tegar dan ikhlas menerima kepergian orang-orang tersayang di sekelilingnya, tiga sahabat personil band dan sang istri. 

Betapa agung Tuhan dengan kekuasaannya memberi kesempatan kepada Ade Jigo untuk melewati masa-masa kritis terjangan tsunami bersama sang anak dalam dekapan. Atau seorang bayi (anak terakhir) dari almarhum komedian Aa Jimmy, satu-satunya pihak keluarga yang selamat dari insiden. Begitu pula villa berpenghuni santri-santri penghafal Qur'an yang konon air tsunami hanya menghantam pagar pembatas di belakang bangunan saja. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Topik obrolan kemudian kian berkembang, mengingat tsunami bersumber dari aktivitas Anak Krakatau, peninggalan letusan hebat Gunung Krakatau pada tahun 1883 silam. Salah satu kawan menyebutkan, itulah letusan gunung paling mematikan dan mengerikan sepanjang sejarah. Bagaimana tidak?

Ada sekitar tiga puluh enam ribu jiwa tewas karenanya. Korban adalah populasi daerah terdekat dari letusan, Sumatera dan Jawa, akibat dampak langsung material letusan maupun tsunami. Sedangkan getar dan suara ledakan, langit hitam, serta perubahan suhu terpapar sampai ke Eropa dan Amerika. Aktivitas setelahnya bahkan dipantau oleh lembaga sekaliber NASA, hingga kini. Dahsyatnya tragedi letusan Gunung Krakatau tersebut sampai diadaptasi dalam berbagai film kelas dunia, seperti Fair Wind to Java (1953), Krakatoa East of Java (1969), dan Krakatoa: The Last Days (2006).

Kemudian, pemikiran sederhana ini terlontar dari seorang kawan,

"Seramnya membayangkan Krakatau akan meletus lagi. Mungkin ini yang namanya kiamat sudah dekat. Jadi, kemana kita harus berlindung?"

Saya menggaruk-garuk kepala, kemudian menyimak dan menanggapi jawaban yang dilontarkan kawan-kawan lainnya, tentu dengan balutan canda dan tawa. Meski sebenarnya hati getir jika membayangkan musibah menghancurkan itu harus menimpa kami suatu hari nanti.

Bagaimana jika pindah negara saja, ke Australia misalnya?

Eropa saja kena dampak, apalagi Australia, lima langkah dari Indonesia!

Saya akan bawa koper saja, biar jika tsunami datang saya bisa mengapung di atasnya!

Mungkin koper itu akan tenggelam keberatan muatan karena kau bawakan baju-baju dan perhiasan didalamnya.

Kalau begitu, bagaimana kalau perahu?

Kalau perahu itu bisa kau dayung demikian cepatnya ke tengah lautan hingga melewati ombak, tidak masalah. Seperti kisah Kapal Loudon yang berhasil menembus ombak tsunami, kemudian kapten dan penumpang kapal tak tega melihat pulau cantik di seberang sudah tak bersisa apa-apa. Yakin bisa kalahkan cepatnya gerak ombak tsunami?

Baiklah, saya akan menyewa banana boat!

Asal yakin saja tak ada dinding di depan yang akan menjontor kepalamu.

Tsunami Banten tidak meluluh lantah villa para santri, atau Masjid Baiturrahman yang tetap kokoh berdiri dari insiden tsunami Aceh. Kalau begitu aku akan berlindung ke masjid saja!

Tergantung siapa penghuni masjid itu! Kalau ada 10 penghuni, 9 diantaranya soleh dan kamu seorang maksiat. Mungkin saja Tuhan hanya selamatkan 9 soleh itu, sedang kamu mati terpeleset saat terburu-buru berlari memasuki masjid.

Kalau begitu, ijinkan aku pulang kampung dahulu sebelum bencana terjadi. Biar kalaupun harus mati, aku dalam keadaan bersama-sama ayah dan ibu yang kucintai.

Yakinkah ketika bencana datang, kamu dengan sadarnya akan menggandeng mereka atau meninggalkan mereka berlari menyelamatkan diri sendiri?

Argumen apa lagi yang harus dilontarkan sampai tak terpatahkan? Percakapan-percakapan itu menyadarkan saya bahwa tidak ada jawaban yang lebih tepat daripada berpasrah atau berserah diri kepada Tuhan. 

Satu-satunya cara untuk berlindung ialah menyiapkan diri dengan sebanyak-banyaknya amal habluminallah habluminannas. Kematian bisa datang kapan saja, dimana saja, menimpa siapa saja, dan dengan cara apa saja. Sehingga detik demi detik yang kita miliki dalam keadaan sehat harus diisi dengan amalan-amalan yang akan menyelamatkan diri di hari perhitungan kelak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun