Mohon tunggu...
Getha Dianari
Getha Dianari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Tunggu sesaat lagi, saya akan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merantau Sendiri di Jakarta, Rasanya...

8 Desember 2018   19:36 Diperbarui: 18 Januari 2019   19:26 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak terasa sudah hampir 1,5 tahun merantau sendiri dari Bandung ke Jakarta. 

Ingat sekali dulu selalu membayangkan setelah lulus kuliah saya pergi agak jauh dari orang tua supaya tahu bagaimana rasanya hidup mandiri di kota tujuan semua orang mengadu nasib, alias Jakarta, Ibu Kota Indonesia.

Syukurnya, segera setelah lulus kuliah saya diterima bekerja di salah satu perusahaan telco di Indonesia. Entah memang rezeki atau bagaimana, Tuhan seolah mengabulkan keinginan saya, dimana perusahaan menempatkan lokasi kerja saya di daerah Gatot Subroto Jakarta Selatan, lokasi yang cukup strategis.

Mungkin karena ini pusat bisnisnya ibu kota, lingkungannya modern dan punya fasilitas yang lengkap untuk menunjang hidup. Selain banyak gedung-gedung tinggi perkantoran, jalan aspalnya bagus, bersih dan besar, kawasan cukup rindang, banyak perumahan elite, kafe, mall, rumah sakit, stadion, pusat-pusat pemerintahan, bahkan situs-situs bersejarah. Intinya, saya senang sekali karena semua kelengkapan fasilitas di kota ini dan akses yang mudah untuk menjangkaunya.

Jakarta seperti apa yang orang-orang katakan
Kata orang, hidup di Jakarta keras! Yes, saya menyaksikan itu dengan mata kepala saya sendiri dimana sepertinya tidak ada orang yang bermalas-malasan di Jakarta. Semua orang P R O D U K T I F. 

Dari subuh aktivitas pedagang-pedagang kecil seperti warteg, tukang nasi uduk, dan gorengan sudah ramai menjajakan makanannya. Gerombolan kuli-kuli bangunan dengan kaos dan sepatu boat ramai-ramai berjalan menuju titik-titik pembangunan. Metro mini, mikrolet, taksi, sampai ojek berseliweran mencari penumpang. Sementara bus-bus dan kereta dari arah Bogor, Depok, Banten, Tangerang, atau Bekasi sudah ramai ditumpangi para commuter. Hebatnya, aktivitas seperti ini berlanjut hingga malam dan bertemu lagi di pagi hari. Jakarta tidak ada matinya, hidup 24 jam, pagi ke pagi, it's real.

Apa yang orang perjuangkan di Jakarta? Jakarta punya daya tarik yang hebat dari sisi ekonomi. Kota ini punya populasi yang padat, jantung aktivitas negara, juga daya beli yang bagus terbukti dari PDRB dan UMR di atas rata-rata kabupaten atau provinsi lain di Indonesia.

Seperti gula, kota ini dikerubuti investor dari mulai perusahaan dalam negeri hingga asing, sehingga pintu lapangan kerja terbuka dimana-mana. Kota ini adalah magnet bagi orang-orang dari luar daerah untuk mencari peruntungan. 

Tapi tidak semua orang yang datang punya kompetensi cukup, sehingga apapun dilakoni asal menghasilkan. Dari yang berdasi hingga baju compang-camping. Karena terlalu banyak orang yang mengadu nasib di Jakarta dengan berbagai latar belakang dan level kompetensi, lengah sedikit bisa-bisa tersalip dan kalah saing. Pangkal dari semuanya adalah kebutuhan untuk bertahan hidup, alias uang.

Ketimpangan nyata dilihat mata
Baru setelah tinggal di Jakarta, saya seperti de javu dengan tayangan film-film atau sinetron yang pernah saya tonton, dimana para aktor beraktivitas di daerah perkampungan kumuh berlatar belakang gedung-gedung megah dan kalau malam hari lampunya terang warna-warni. 

Sekarang itulah susana tempat tinggal saya di Jakarta. Saya tinggal di kamar kost yang "katanya" murah untuk ukuran Jakarta karena dapat fasilitas kamar mandi dalam dan AC sekaligus. Tapi sebetulnya kalau dibandingkan kost di daerah lain harganya terbilang mahal.

Lokasinya ada di dalam perkampungan yang ramai sekali orang-orang dan pedagangnya. Kalau jalan sedikit ke belakang gang, akan ditemui rumah-rumah kecil, rapat-rapat, dan bisa dibilang kumuh. Persis seperti apa yang digambarkan televisi sebagai perkampungan di Jakarta. Sementara kalau jalan sedikit ke depan, saya sudah memasuki kawasan gedung-gedung kantor yang megah. Coba bayangkan, dari dalam kampung, saya bisa lihat gedung-gedung tinggi yang megah. Dari dalam gedung, saya bisa lihat kawasan perkampungan yang kumuh. Inilah Jakarta, ketimpangan nyata dilihat mata!

Saya sendiri jadi seperti amfibi, seolah hidup di dua alam. Bisa dibilang saya masuk kelompok orang yang punya kompetensi cukup, punya pekerjaan layak dan penghasilan di atas UMR. Cukup banyak karena alasan itu, saya punya gaya hidup menengah. Sebagai anak muda, saya lebih sering nongkrong di kafe-kafe daerah Senopati atau mall-mall di kawasan selatan atau pusat. Tapi di satu sisi, saya tetap dalam kesederhanaan tinggal di daerah perkampungan, berbaur dengan masyarakat dan aktivitas sekitarnya.

Saat bergaul dengan kelompok middle-high class, arah pembicaraannya lebih materialistis dan ambisius. Sedangkan ketika bergaul dengan kelompok middle-low seperti tetangga, tukang ojek atau pedagang-pedagang kecil, saya selalu disadarkan tentang artinya bersyukur karena pandangan mereka mengenai hidup begitu sederhana dan penuh perjuangan.

Bukan main biaya dan gaya hidup di Jakarta
Meskipun saya terbilang karyawan baru "anak kemarin sore", tapi seperti ada dorongan kuat yang menggiring mindset dan cara hidup saya berubah begitu cepatnya. 

Saya pikir selamanya akan hidup idealis, tapi ternyata pandangan sekitar dan cara hidup orang lain turut andil mempengaruhi saya. Dari mulai penampilan, kebiasaan mengisi waktu luang, pola pikir, dan produktifitas kerja.

Salah satu contoh, cukup besar porsi penghasilan saya dihabiskan untuk membeli apapun yang dipakai dari atas kepala sampai bawah kaki, lumayan branded. Untuk kebutuhan perut, sekali minum bisa habis 30-50 ribu, sedangkan makan 50-100 ribu. Kalau makan dan minum sekaligus? Ya bisa habis sampai 80-150 ribu sekali nongkrong di tempat makan.

Serunya Jakarta
Sebetulnya saya ini kelahiran Jakarta, tapi selama 20 tahun masa hidup kebelakang dihabiskan di luar Jakarta. Selama itu pula saya hanya bisa melihat kerennya Jakarta dari televisi. Sampai akhirnya saya menginjakkan kaki di Jakarta, terbayang sudah bagaimana senangnya melihat langsung kota metropolitan ini dengan segala kemegahan dan modernisasi yang ada. 

Saya kagum dengan situs-situs bersejarahnya yang keren seperti Monas, Istiqlal, Kota Tua dan Taman Ismail Marzuki. Karena di satu sisi saya juga hobi potret dan video, banyak lokasi yang bisa jadi tujuan hunting, mulai dari tema urban hingga heritage.

Bisa dikatakan Jakarta merupakan pusat hiburan Indonsia, event-event di kota ini banyak dan berskala besar. Undangannya pun artis-artis besar. Bahkan tidak perlu sengaja datang ke event-event itu, kita bisa cukup sering tidak sengaja bertemu dengan artis-artis ketika sedang berjalan-jalan di luar karena memang Jakarta adalah habitatnya para selebriti.

Selain itu, saya sangat tertarik dengan Car Free Day (CFD) Jakarta karena punya rute yang panjang dari Bundaran Senayan sampai Monas. Setiap Minggu saya selalu gowes sepeda dari tempat kost ke Bundaran Senayan, Monas, kemudian kembali lagi ke kost. Jalan alternatif pulang bisa balik arah ke Semanggi, Sudirman, Karet, atau masuk Menteng diteruskan ke Rasuna Said. Puas sekali deh buat berkeringat! 

Sedangkan Sabtu pagi, saya sempatkan gowes ke GBK. Di sini ada yang namanya Hutan GBK, taman berbukit-bukit dan memiliki jogging track. GBK bagus sekali, bersih dan besar, apalagi semenjak renovasi untuk event Asian Games. Trust me, menikmati udara pagi Jakarta dengan bersepeda is the best moment! Selain itu, mengisi weekend di Jakarta, siang atau malam harinya, bukanlah hal yang sulit. Banyak sekali alternatif venue dan jenis hiburan yang bisa dipilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun