Mohon tunggu...
Gesang Nw
Gesang Nw Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lihat, dengar, rasakan lalu tulis.

Selanjutnya

Tutup

Balap

"Bersetubuh" Dengan Alam Gunung Sumbing

18 Oktober 2012   03:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:43 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13505290811960361140

Gunung Sumbing (3.371 Dpl), merupakan gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa. Gunung ini meninggalkan banyak kisah dan pengalaman bagiku dan teman-teman Mapala MMTC. Pasalnya, belum genap seminggu kami baru saja menyelesaikan ekspedisi Serodja #2. Pada ekspedisi kali ini kami membawa misi tentang pelaksanaan dan pemaksimalan divisi dokumentasi. Badan hitam dan hidung yang membengkak karena terbakar terik matahari tidak menjadi masalah dibanding dengan pengalaman dan pelajaran berharga yang kami dapat dari Gunung Sumbing. Oke, sebelum aku memulai cerita perjalanan kami di Gunung Sumbing, aku akan memperkenalkan para pendekar dari Mapala MMTC. Yang pertama haris prasetyo (mbahne), ginanjar ( kinjeng), hazmi izkandar (ami), Hendrikus Arga (jigok), Jamaludin (Jamal), Ivan Samudra (petis), Danang (bastimin), Muhammad Abduh (abduh), angga (kriting), Setya (setya) dan aku sendiri (Gesang).

Kamis, 13 September 2012

Kamis sore hari, kami memulai perjalanan menuju Wonosobo. Mengendarai sepeda motor, kami berangkat dari kampussekitar pukul 16.00. Perjalanan Yogyakarta-Wonosobo yang normalnya ditempuh dalam waktu 2-3 jam menjadi 4 jam karena ketua kami (mbahne) dan rombongan yang mengendarai mobil mengalami sedikit masalah di perjalanan.

Jam setengah 8 malam kami sampai di depan pasar Kertek, Wonosobo. Kami berhenti sejenak, karena kami harus menunggu jemputan dari kawan-kawan bowongso. Kami beristirahat, mengobrol, dan menikmati sebatang rokok.

Sebenarnya ada beberapa jalur yang bisa dilewati pendaki yang ingin menuju puncak Gunung Sumbing antara lain melalui jalur Garung, jalur Cepit, jalur kaliangkrik, dan jalur bowongso. Tetapi kami memilih jalur Bowongso karena merupakan jalur baru sehingga medan yang akan kami lalui masih alami dan tidak terlalu ramai oleh pendaki lain.

Akhirnya kawan-kawan dari basecamp Skydoors datang menjemput kami, bergegas kami berkemas-kemas dan melanjutkan perjalanan menuju basecamp. Dari pasar kertek menuju basecamp membutuhkan waktu yang relatif singkat, hanya sekitar 30 menit.

Sesampainya di basecamp kami disambut baik oleh “keluarga baru” kami yaitu kawan-kawan dari skydoors. Teh hangat dan camilan biskuit menjadi teman kami berbincang-bincang sebelum memulai pendakian nanti. Kang Rohan tuan rumah dari basecamp skydoors memberikan arahan dan petunjuk tentang kondisi jalur yang akan kami lewati nanti. Kami juga diberikan peta jalur bowongso (dalam bentuk kaos) agar bisa digunakan sewaktu perjalanan nanti. Ada sedikit obrolan menarik ketika mbahne dan kang Rohan berdebat tentang waktu pendakian kami yang sudah larut malam. Kang Rohan menyarankan agar kami bermalam dulu di basecamp lalu pagi harinya berangkat ke atas. Tetapi Mbahne dan pendapat teman-teman yang lain ngotot untuk memulai perjalanan pada malam itu juga. Akhirnya keputusan yang diambil adalah memulai pendakian pada malam itu juga. Sembari mengobrol kami re-packing carier, mengeluarkan barang-barang yang tidak perlu dan menata kembali barang bawaan.

Tepat pukul 22.00 kami memulai perjalanan menuju kediaman pak lurah desa bowongso. Biasanya pendaki yang ingin memuncak ke Gunung Sumbing terutama yang melalui jalur Bowongso harus mendaftarkan identitas terlebih dahulu. Sesampainya di depan rumah pak lurah ternyata beliau sudah terlelap tidur. Karena tidak enak mengganggu, waktu juga sudah semakin malam. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Motor kami tinggal, kami titipkan kepada kawan-kawan skydoors. Dipertigaan dibatas antara pemukiman warga dengan ladang, kami (anggota mapala dan kawan-kawan skydoors) berkumpul, melingkar, memanjatkan doa agar kami diberikan keselamatan dan kelancaran pada saat perjalanan naik dan pada saat perjalanan turun.

Langkah kaki pun dimulai

Jam tanganku menunjukkan pukul 23.00, hawa dingin dan suara serangga sejenis jangkrik menemani perjalanan kami. Kanan kiri kami merupakan ladang tembakau dan sayur-sayuran milik masyarakat setempat. Rute dari ladang warga sampai batas hutan cukup jauh. Dibutuhkan waktu sekitar satu setengah jam untuk sampai di batas hutan. Medan yang kami lalui merupakan medan jalan batu yang tertata. Semakin jauh berjalan semakin tinggi pula kemiringan jalan.

Sejenak kami beristirahat sembari meluruskan kaki, capek sekali rasanya. Duduk dijalanan berbatu, menenggak air putih, dan melihat dari kejauhan cahaya lampu masyarakat Wonosobo. Lumayan menakjubkan. Kami melanjutkan perjalanan. Beberapa tenggak air putih tadi memberi sedikit tenaga untuk melanjutkan perjalanan lagi.

Akhirnya kami sampai di medan tanah, tapi masih tetap disekitar perkebunan warga. Setelah belokan kekiri tepat dikiri jalan ada sebuah gardu pandang. Dari gardu pandang semakin terlihat jelas betapa menakjubkannya efek cahaya lampu dari pemukiman warga Kabupaten Wonosobo.

Batas hutan dengan perkebunan warga sudah di depan mata. Namun medan yang kami lalui masih sama yaitu jalanan tanah kering berdebu. Pohon cemara dan akasia menjulang tinggi menyapa kami diperjalanan malam itu. Vegetasi di Gunung Sumbing yang gersang memang kurang komplit jika diband

ing dengan Gunung tetangga (Gunung Slamet, Gunung Kembang, dan Gunung Sindoro).

Tepat pukul 2 pagi kami sampai di Pos 1. Rasa lelah yang sangat dan keringat yang tak henti-hentinya mengalir mengisyaratkan agar kami segera beristirahat dan membangun tenda.Yup benar saja, sesampainya di pos 1 kami berkumpul, ada arahan dari mbahne agar kita sebaiknya beristirahat disini dulu dan melanjutkan perjalanan pada esok hari.Kami bergegas membangun tenda, ada yang menyiapkan makanan dan memasak air.

Kami berkumpul bersama di dalam tenda, bayangkan saja 11 orang semuanya masuk ke dalam satu tenda. Riuh tawa dan tebalnya asap rokok sama sekali bukan masalah bagi kami. Justru disitulah letak kebersamaan kami Mapala MMTC.Mbahne mengajak kami berdiskusi perihal keberangkatan besok pagi.Dia mengusulkan untuk berangkat pagi-pagi sekali sekitar pukul 5 karena melihat efisiensi waktu.Tetapi teman-teman justru berpendapat untuk berangkat agak siang sekitar pukul 9 karena ingin memaksimalkan waktu istirahat, agar badan kembali bugar karena terforsir akibat perjalanan tadi. Akhirnya mbahne setuju juga. Kami kembali berinteraksi satu sama lain. Kopi dan teh panas benar-benar “mahal harganya” disitu, enak sekali. Sekitar pukul setengah 1 kami terlelap.

Jumat, 14 September 2012

Suara kicauan burung dan hangatnya terik matahari yang langsung menusuk ke dalam tenda memaksa raga ini terbangun dari tidur nyenyak. Sudah pagi ternyata, nyenyak sekali rasanya tidurku semalam.

Aku keluar dari tenda dan melihat sekeliling. Membangunkan teman-teman lain yang masih terlelap. Di pos 1 terdapat beberapa papan pentunjuk untuk para pendaki. Disitu tertulis bahwa disini adalah pos 1 atau bukit asmara. Vegetasi di sekitar pos 1 masih berupa pohon-pohon besar dan beberapa semak belukar.

Singkat cerita kami selesai makan dan berkemas-kemas untuk melanjutkan perjalanan. Si Ami, dan Jigok masih sibuk mendokumentasikan semua kegiatan yang kami lakukan. Mbahne memberikan informasi bahwa kami akan melewati tanjakan cinta. Medannya cukup berat dan akan kami lewati nanti.

Perjalanan dari pos 1 ke pos 2 lumayan jauh. Dengan jarak tempuh normal sekitar 3 jam. Medan tanah kering yang gampang ambrol ketika diinjak, sedangkan di kiri jalan adalah jurang. Lumayan menantang nyali para pendaki.

Tanjakan cinta yang aku maksud ternyata merupakan tanjakan panjang dengan jalan tanah yang sangat sempit. Jadi setiap kita melangkah harus bergantian satu kaki satu kaki. Panjang trek tanjakan cinta sekitar 500 meter.

Akhirnya kami sampai di pos 2 pukul 12 siang. Di pos 2 hanya terdapat 2 pohon pendek yang kira-kira umurnya sudah tua. Disitu kami berisitirahat dan memasak untuk mengisi perut. Dibelakang kami sudah terlihat jelas punggungan dari gunung sumbing dengan vegetasi yang mulai berubah menjadi padang ilalang dan pohon murbei. Di pos 2 juga Ami, Abduh dan Jigok melaksanakan tugas mereka mendokumentasikan setiap moment yang ada. Selesai makan dan minum kami beristirahat sejenak sambil memulihkan lagi stamina untuk perjalanan nanti.

Waktu menunjukkan pukul 14.00, kabut dari arah barat mulai datang menghampiri kami. Aku mengenakan jaket karena hawa dingin langsung menyelimuti masing-masing dari kami. Tidak lama setelah kabut turun gantian angin datang dengan membawa hawa dingin juga tentunya. Kondisi semacam itu memaksa kami untuk melanjutkan perjalanan menuju pos 3.

Perjalanan menuju pos 3 tidak membutuhkan waktu lama. Sekitar 1 jam kami melewati padang ilalang. Perlahan kami menapaki tanjakan demi tanjakan. Matahari mulai tergelincir ke arah barat seakan memberikan tanda kepada bulan untuk keluar dari persinggahan. Kami belum juga menemukan dimana pos 3. Di depan terlihat hamparan rumput bak padang savana. Dari disitu kami bisa melihat kemegahan Gunung Sindoro dengan lautan awan disekitarnya.Subhanallah… dalam hati aku berkata.

Mbahne memutuskan untuk membuat bifak diantara padang rumput dan ilalang. Kami bersemangat membuat bifak, dengan bersenjatakan parang yang dipinjamkan oleh Kang Rohan, aku, kinjeng, dan jigok menginjak-injak rumput agar bisa digunakan untuk membangun tenda diatasnya.Sementara kawan-kawan lain menyiapkan tenda dan patok.

Tenda selesai dibangun dan kami menata tempat yang akan digunakan untuk tidur nanti. Di sebelah barat terlihat betapa indahnya sunset dari tempat kami membangun bifak. Sungguh dahsyat ciptaan-Nya. Aku hanya bisa terdiam melihat keindahan di depan mata kepalaku. Rasanya seperti mimpi karena aku benar-benar bisa melihat lautan awan dan deretan Gunung Sindoro, Gunung Kembang dan Gunung Slamet yang biasanya hanya bisa aku lihat di foto. Subhanallah..

Jam menunjukkan pukul 19.00 kami menyiapkan makanan dan membuat kopi untuk menghangatkan badan. Rencananya besok pagi-pagi sekali kami akan melanjutkan perjalanan menuju puncak. Menikmati sunrise di puncak Gunung Sumbing.

Malam itu cuaca sangat cerah, bintang terlihat jelas bertaburan di atas kepala kami.Sambil menikmati kopi dan rokok kami berbincang menghabiskan malam. Suasana sunyi sekali jauh dari hiruk pikuk aktifitas kota Jogjakarta.

Sabtu, 15 September 2012

Teori rotasi bumi membuat matahari kembali datang dari arah timur, punggung gunung terlihat siluet karena efek sinar sang mentari. Ternyata kami bangun terlalu siang sehingga tidak bisa menikmati sunrise dari puncak. Tapi tak apa, karena di sebelah barat terlihat jelas betapa besar kuasa Yang Maha Kuasa. Lautan awan dan penampakan Gunung Sindoro, indah sekali kawan. Kawan-kawan di tenda lain terbangun dan terdiam melihat keindahan lautan awan dan Gunung Sindoro.

[caption id="attachment_211893" align="alignright" width="488" caption="Lautan awan dan Gunung Sindoro."][/caption]

Setelah mengisi perut kami bergegas melanjutkan perjalanan kami menuju puncak. Tenda dan peralatan lain kami tinggal. Jam setengah 8 pagi kami berangkat menuju indahnya puncak sang dewi Sumbing. Langkah demi langkah kami jejaki di medan rumput yang sedikit licin. Di tengah perjalanan kami menemukan sebuah pohon yang tumbuh menjulang di antara rumput dan ilalang. Kami menamainya pohon sahabat. Sejenak kami beristirahat dan menikmati indahnya suasana Gunung Sumbing.

Tak ingin kehilangan moment pagi hari kami melanjutkan perjalanan. Kali ini medan yang kami lalui berubah menjadi jalanan berbatu dengan tanah kering yang mudah longsor. Di sebelah kiri terlihat hamparan padang bunga edelweis. Begitu menakjubkan karena bunga edelweiss hanya ada diatas ketinggian 2500 dpl.

Akhirnya kami sampai di puncak.Kami sujud syukur atas semua yang Allah berikan kepada kami.Keselamatan, kesehatan, dan bentang alam yang menakjubkan.Kmai berfoto bersama sebagai bukti kepada teman-teman bahwa kami Mapala MMTC telah sampai di puncak Gunung Sumbing.

Singkat kata setelah puas menikmati keindahan puncak Gunung Sumbing kami melanjutkan perjalanan turun menuju camp. Perjalanan turun lebih sulit ketimbang perjalanan saat naik karena medan yang mudah ambrol dapat membahayakan aku dan teman-teman.Perjalanan naik yang membutuhkan waktu sekitar 3 jam ternyata sangat berbeda ketika melakukan perjalanan turun, karena hanya dibutuhkan waktu sekitar satu setengah jam untuk kami sampai ke camp. Diperjalan turun dari puncak kami dikejutkan dengan datangnya kabut disertai angin kencang dari arah barat.Dingin langsung menusuk tubuh yang terbungkus jaket.Karena takut hujan malah datang kami percepat langkah kaki menuju camp. Kawan-kawan sempat tergelincir licinnya medan rumput dan ilalang. Bahkan Si Jigok kakinya mengalami cidera kecil terluka di bagian jari kaki. Mungkin karena sepatu yang ia pakai terlalu sempit. Di depan sudah menunggu pohon sahabat yang memberikan kami perlindungan dari terik matahri pada perjalanan naik tadi. Itu tandanya jarak menuju camp udah dekat.

Akhrinya kami sampai juga di camp.Bersyukur barang-barang yang kami tinggal masih utuh ditenda.Sembari menunggu hari larut malam kami kembali berkumpul, berbincang-bincang dan menghangatkan badan dengan segelas kopi.

Malam pun datang dengan pasukan bintangnya. Jam tanganku menunjukkan pukul 19.00. mbahne mengistruksikan kepada kawan-kawan untuk berkumpul di tenda. Disitu kami akan membahas mengenai perjalanan pulang. Banyak dari kawan-kawan yang menginginkan untuk turun gunung pada malam itu juga. Namun mbahne dan abduh menyarankan untuk pulang pada esok hari dikarenakan kondisi medan pada malam hari yang dapat membahayakan diri dan juga angin gunung yang berhembus kencang pada malam itu. Akhirnya kami ambil keputusan untuk turun pada esok hari.

Minggu, 16 September 2012

Dinginnya pagi di hari kedua masih setia menemani kami dan nampaknya aku juga sudah terbiasa dengan hal itu. Hari itu adalah hari Minggu yang sesuai rencana kami akan melakukan perjalanan pulang. Potret kebesaran Yang Maha Kuasa termpampang luas di sebelah barat tenda kami. Lautan awan putih bersama deretan Gunung Sindoro, Gunung Kembang dan Gunung Slamet yang terlihat samar-samar dibalik gumpalan awan. Sesekali kami mengabadikan moment luar biasa itu sebelum melakukan perjalanan pulang.

Setelah mengisi perut kami langsung membongkar tenda dan mem-packing barang-barang yang akan kami bawa pulang. Kantong plastic yang berisi sampah juga ikut dalam perjalanan pulang kami.

Akhirnya semua tim sudah selesai packing, kami berkumpul lalu memanjatkan doa sebelum melakukan perjalanan turun.

Mbahne memberikan instruksi kepadaku dan teman-teman agar tetap waspada dan berhati-hati saat perjalanan nanti. Karena pada perjalanan turun biasanya para pendaki banyak yang terjatuh ataupun tergelincir medan yang mudah longsor.

Akhirnya pada pukul 08.00 pagi dan dengan bacaan Basmallah aku melangkah kaki pertama untuk melakukan perjalanan menuruni pos 3.

Kami kembali melewati jalur yang kemarin kami tapaki saat melakukan perjalanan naik. Perjalanan turun tidak memakan waktu yang lama, hanya sekitar 3 jam kami hamper sampai di pos 1. Di tanjakan cinta kami berhenti sejenak. Ketika kami sedang beristirahat samar-samar terdengar teringakan dari bawah, suara itu seperti memanggil kami.

Karena penasaran dengan suara tersebut akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya jalur tanjakan cinta adalah pos 1. Dari kejauhan terlihat beberapa orang ada di pos 1. Setelah kami mendekat ternyata mereka adalah kawan-kawan kami dari basecamp skydoors. Ternyata Kang Rohan dan kawan-kawan yang lain sudah menunggu kami di pos 1. Mereka benar-benar menyambutkan kedatangan kami dengan hangat.

Kami beristirahat di pos 1 sambil berbincang-bincang dengan kawan-kawan skydoors. Sampah yang kami bawa dari tempat camp dikumpulkan dan dipilah, dipisahkan antara botol dengan plastic bekas. Botol-botol bekas itu nantinya akan kami bawa pulang kembali untuk dijual, hasil penjualan akan masuk ke kas mapala. Sedangkan plastic bekas dan sampah-sampah yang lain kami bakar di tempat sampah yang ada disitu.

Kami berkumpul dan berbincang-bincang sambil menikmati sekoteng yang sudah disediakan. Kang Rohan dan temannya yang berambut gimbal bercerita tentang mitos yang ada di Gunung Kembang. Mitosnya disana masih hidup sekelompok manusia kerdil yang sering jail kepada para pendaki. Banyak warga sekitar maupun para pendaki yang melihat manusia kerdil itu. Diceritakan juga tentang telatak kaki misterius yang menyerupai telapak sapi namun dengan diameter yang lebih besar. Belum ada informasi tentang telapak misterius tersebut. Obrolan santai itu semakin menghangatkan suasana.

Karena hari sudah semakin siang kamipun melanjutkan perjalanan menuju basecamp. Baru sebentar kami berjalan, hamparan ladang tembakau dan sayuran milik warga sudah menyapa kami. Itu berarti kami sudah sampai dibatas hutan. Di jalan depan kami kembali menuju basecamp mengendarai sepeda motor.

Pengalaman “bersetubuh” dengan alam Gunung Sumbing kali ini sangat berkesan bagiku. Selain keindahan panorama dan kelembutan alamnya, aku juga mendapatkan pelajaran tentang kebersamaan, kerja tim, dan pelajaran untuk selalu bersyukur atas apa yang telah aku dapatkan sampai saat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Balap Selengkapnya
Lihat Balap Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun