Mohon tunggu...
Niko Nababan
Niko Nababan Mohon Tunggu... Guru - Manusia biasa yang berproses menjadi seorang guru

Temukan saya di: http://nikonababan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Wanita yang Tak Pernah Menyatakan Cinta

20 Mei 2019   19:53 Diperbarui: 20 Mei 2019   23:06 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
John Barney Art - Original Abstract Painting/zatista.com

"Mestinya aku kembali lebih awal," pikir Doni. Ia mendapati ibunya menangis di sudut pintu dapur. Ada beberapa pecahan gelas juga di lantai. Dilihatnya rak piring yang tak lagi tegak lurus. Tampak sisinya bengkok akibat pukulan yang keras.

Apa yang dicemaskan Doni terjadi lagi. Semua ini adalah ulah ayahnya. Ini yang ia khawatirkan, ketika sedang tidak berada di rumah. Ia menatap ke arah ibunya. Ada beberapa bekas pukulan di wajah.

"Sial ! Bajingan itu sungguh keterlaluan," umpat doni dalam hati.

Dengan wajah tampak geram, lalu ia bertanya kepada ibunya.

"Masalah apalagi sekarang ? kemana dia pergi ?"

Ibunya tidak membalas pertanyaan Doni, hanya tampak wajahnya yang sedang menahan air mata. Doni mencoba menarik nafas pelan. Ia masih dapat mendengar isak kesedihan yang belum dituntaskan ibunya.

"Icha," seru Doni, namun tidak ada jawaban.

Seharusnya adiknya itu sudah berada di rumah. Adiknya masih duduk di bangku sekolah dasar kelas lima. Icha merupakan adik Doni satu-satunya. Sebenarnya Doni memiliki seorang kakak, namun setelah lulus sekolah dasar kakaknya memilih tinggal dengan nenek.

Doni memanggil adiknya berulang kali, namun tetap tidak ada sahutan. Kemudian, ia pergi mencari kekamar. Di kamar tampak adiknya sedang menangis.

"Kau baik-baik saja kan ?"

"Iya bang, hanya saja aku tidak bisa melerainya, seperti yang abang lakukan" sambung adiknya.

"Sudahlah, yang penting tidak terjadi apa-apa padamu."

Doni bertanya. "Apa masalah hari ini, kenapa lelaki itu kumat lagi ? "

Icha mejelaskan runtutan ceritanya. Saat itu dia baru saja kembali dari sekolah. Dia melihat sebuah mobil pickup tengah parkir di depan rumah. Karena penasaran, dia bertanya kepada ibunya siapa gerangan tamu mereka.

Ternyata sang pemilik mobil pickup adalah pengusaha pupuk. Pengusaha pupuk tersebut mencoba menawarkan produk terbaru kepada ayahnya.

"Cukup," tegas Doni.

Doni memotong cerita adiknya. "Aku sudah tau apa kelanjutannya."

***

Ini adalah hal yang membuat Doni, adiknya dan ibunya was-was. Ketika ada seseorang yang berkunjung ke rumah, pasti sebuah masalah baru akan muncul. Ayah mereka adalah seorang yang luar biasa tempramennya. Jika keinginannya tidak terpenuhi, maka istri dan anaknya yang akan menjadi korban kemarahannya.

Namun kepada orang lain, ayah mereka tidak pernah menunjukkan sikapnya itu. Di mata orang lain ayah mereka adalah sosok yang pandai bergaul dan suka menolong. Pernah ada seorang tetangga meminjam uang sebesar lima juta kepada ayah mereka. Saat itu ayah mereka baru saja menerima uang hasil penjualan sawit. Lantas ia memberikan semua uang yang ia miliki kepada temannya itu. Padahal uang yang dipinjamkan kepada teman-temannya itu jarang ada yang dikembalikan.

Ayah mereka sama sekali tidak perlu meminta izin dari istrinya dalam hal mengambil tindakan. Sekali saja istri maupun anaknya berkomentar, maka dengan sigap ia akan melayangkan tangannya. 

Sehari-hari ayah mereka bekerja mengurus kebun di belakang rumah. Ada sekitar satu hektar sawit yang sudah mulai produktif berbuah di kebun itu. Di kebun juga terdapat beberapa pohon durian namun belum produktif, sebagian masih belajar berbuah. Sedangkan ibu mereka setiap pagi harus pergi berdagang kepasar, ia merasa penghasilan kebun tidak dapat menutupi kebutuhan hidup serta keperluan sekolah Doni dan adiknya.

Pada tengah hari, biasanya ibu mereka sudah kembali ke rumah. Melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan beres-beres. Setelah selesai dengan pekerjaannya itu, barulah ibu mereka pergi ke kebun di belakang rumah, sekedar mencabut rumput atau membantu ayah mereka melakukan aktivitas di kebun.

Doni tahu apa penyebab kedua orang tuanya berkelahi. Sang penjual pupuk itu pasti berhasil membujuk ayahnya untuk membeli produk yang ia tawarkan. Kemudian, karena ibunya tidak menyanggupi, maka kemarahan ayahnya memuncak.

***
Bagi Doni ayahnya adalah seorang yang tidak waras. Ayahnya tega memupuk pohon sawit tiga kali dalam sebulan, sedangkan normalnya hanya dua kali dalam tiga bulan, itu pun dengan  jenis pupuk yang berbeda.

Setiap kali ibunya mengeluh mengenai beratnya pengeluaran perawatan sawit, maka ayahnya akan marah. Ia akan membentak ibunya dan mengatakan.

"kemana hasil penjualan sawit selama ini ?"

Ayahnya tidak pernah memperhitungkan pengeluaran untuk berbagai jenis pupuk, racun hama, kompos dan lain sebagainya. Pun ayahnya tidak menyadari, bahwa dosis yang ia gunakan untuk pemupukan dan perawatan empat kali lebih besar dari batas normal. Hal itu yang membuat penghasilan dari sawit tidak pernah terlihat, juga beberapa pohon sawit mengalami penyakit akibat berganti-ganti jenis pupuk.

Tidak ada keuntungan yang diperoleh dari berkebun sawit. Itulah mengapa ibunya memutuskan berjualan, agar mendapatkan sedikit tambahan uang. Ibunya khawatir kalau tiba-tiba ayahnya meminta uang untuk suatu keperluan. Jika ibunya meniadakan, maka tangan ayahnya akan segera mendarat
kewajah.

Doni teringat, kalau ibunya baru saja membayar tagihan listrik dan bulanan sekolah ia dan adiknya.

"Pantas saja ibu kembali menjadi sasaran amuknya," pikir Doni.

***

Doni mendengar suara sepeda motor di depan rumah. Dia adalah orang yang telah Doni tunggu.

"Bajingan itu harus membayar perbuatannya hari ini," geram Doni.

Ia langsung menuju ke depan rumah, sebuah pukulan dengan cepat dilepaskan Doni diwajah ayahnya. Ayahnya tersungkur di lantai.

"Anak sialan, apa-apaan kau ini," kata ayahnya dengan nada marah.

"Apa ?" balas Doni.

"Kau hajar istrimu, lalu kau tanya apa ?"

Ayahnya bangkit dari lantai. "Sudah ada nyalimu sekarang ya, anak sialan?"

Ayahnya pergi menuju dapur, lalu mengambil sebuah parang panjang. Doni tampak terkejut dan berusaha menjaga jarak dari ayahnya.

"Mau apa kau ?" tanya Doni.

"Sini kau anak sialan," seru ayahnya.

Ayahnya mulai mendekat, ia tidak lagi tampak waras. Doni berusaha menghindar dan berlari ke belakang rumah. Ayahnya yang seperti dirasuk setan mengejarnya. Perasaan Doni mulai cemas. Ia berlari secepatnya untuk menghindari ayahnya.

"Sini kau anak sialan," seru ayahnya kembali.

Doni yang merasa takut, terus berlari melewati pohon-pohon sawit di belakang rumah mereka. Ia takut jika ayahnya benar-benar ingin mencelakainya dengan parang panjang itu. 

Ketika ayahnya marah, ia tidak lagi mengunakan akal pikirannya. Namun baru kali ini ia di hendak dicelakai menggunakan senjata tajam. Biasanya ayahnya menggunakan otot untuk memukulnya.

Doni benar-benar terpojok. Ia tidak memegang benda apapun ditangannya untuk membela diri. Belum lagi sebuah duri sawit menusuk kakinya. Doni berusaha menahan rasa sakit itu dan terus berlari. 

Doni pun berhenti berlari. Sebuah pagar berkawat duri berada dihadapannya. Ia tak mungkin dapat mewati pagar itu. Itu adalah perbatasan kebun mereka dengan kebun tetangga yang memang sengaja dipasang pagar berkawat duri. Sekarang ia pada posisi terpojok.

"Kenapa kau takut ?" Kata ayahnya.

"Aku ngak takut, aku hanya tak ingin mati dengan cara seperti ini," balas Doni.

Doni tampak berusaha tetap tenang, lalu berkata kepada ayahnya.

"Mau sampai kapan kau memperlakukan kami seperti ini, bagian mana dari tubuhku yang belum kau pukul ?"

"Sekarang apa?"

"Kau mau membunuhku ?"

"Apakah kau benar ayahku ?"

"Apakah kau boleh membunuhku ?" seru doni dengan suara lantang.

Ayahnya tampak semakin kesal dan mulai menyerang.

"Aku juga tidak berharap punya anak sepertimu." teriak ayahnya.

***
"Tidak," wanita itu berteriak.

Ia terbangun dari tidurnya. Tampak keringat bercucur deras. Ia mimpi buruk lagi hari ini. Sudah beberapa hari ini wanita itu selalu bermimpi buruk. Itu pula yang membuatnya untuk tidak berjualan beberapa hari ini. Badannya terasa tidak enak dan kurang sehat.

Wanita itu mengambil sebuah bungkusan di dalam lemari. Lalu pergi berjalan ke belakang rumah mereka. Dilihatnya batu itu. Nisan yang beberapa bulan lalu ia layati. Saat itu ia bingung harus menangis ataukah merasa lega. Apakah dengan itu penderitaannya berakhir.

Wanita itu mencoba mengingat kembali, bagaimana ia pertama kali jatuh cinta pada lelaki itu. Tidak, bagaimana ia bisa menikah dengannya. Tetapi, lelaki itu yang memaksanya menikah. Jika tidak, ia akan dibunuh. Wanita itu terlalu lembut hatinya, ia berharap suatu hari lelaki itu dapat berubah secara perlahan.

Padahal mertua perempuannya telah mengingatkan, lelaki itu sangat kasar. "Ia bersikap tidak baik dengan semua saudaranya, pun kami orangtuanya. Aku tidak ingin kau menikahinya nanti kamu tersiksa," pintanya.

Namun wanita itu tetap percaya pria itu dapat berubah. Bukan semata-mata takut karena diancam. Hanya saja hatinya terlalu tulus.

***

Masih jelas di ingatannya, ketika ia beserta anaknya merujuk lelaki itu ke rumah sakit.  Saat itu ia berusaha tetap tenang. Suaminya dibawa oleh tim dokter ke ruang icu. Ia mengalami pendarahan hebat di bagian kepala, akibat tertimpa buah durian. Sebuah durian sebesar buah kelapa jatuh tepat di atas kepalas suaminya, ketika berada di kebun belakang rumah. Suaminya dinyatakan mengalami cidera yang sangat fatal dibagian kepala. Pecahnya pembuluh darah di bagian otak membuat nyawa suaminya tidak dapat tertolong.

Dibukanya bungkusan yang ia bawa. Beberapa kembang segar yang ia beli di pasar pagi tadi. Kemudian ditaburkannya di makam pria itu. Yah, dimakam suaminya.

Selesai menabur bunga wanita itu membacakan sebuah doa. Didalam doanya ia meneteskan air mata. Air mata yang tidak ia tunjukkan saat berada di perkabungan. Selesai membacakan doa ia membisikkan sesuatu ke nisan suaminya, kemudian ia bangkit.

Sebuah kalimat yang belum belum pernah ia ucapkan kepada pria itu. Sebuah kalimat ia pendam atas dasar ketulusan.

dok: kompal
dok: kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun