Dalam dokumen World Economic Forum (2024), dijelaskan bahwa 71% masyarakat merasa khawatir akan dampak negatif AI dalam pendidikan, termasuk meningkatnya ketimpangan akses. AI berpotensi menciptakan dua kelas pendidikan: satu yang mendapatkan pembelajaran langsung dari manusia, dan satu lagi yang hanya dilayani chatbot.
Fakta ini menegaskan bahwa peran guru sebagai pusat sistem pendidikan tidak boleh tergantikan. Justru AI seharusnya digunakan untuk meringankan beban administratif guru dan memperkuat fungsi kemanusiaan mereka---menjadi pembimbing, motivator, dan penghubung antarmanusia.
Guru dan dosen adalah jiwa pendidikan. Mereka tak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga membentuk karakter, empati, dan nilai-nilai. AI bisa menghitung, menganalisis, bahkan menulis. Tapi AI tidak bisa memahami kekecewaan siswa yang gagal, atau memberikan pelukan ketika mereka butuh dukungan emosional.
Maka, tantangan kita saat ini bukanlah memilih antara AI atau manusia, melainkan membangun sinergi yang tepat antara keduanya. Sekolah dan universitas harus memberikan pelatihan kepada pendidik untuk memahami dan memanfaatkan AI dengan bijak. Pemerintah juga harus menjamin akses merata terhadap teknologi, agar tidak terjadi ketimpangan digital. AI bukanlah ancaman, melainkan peluang. Jika digunakan dengan prinsip etika dan berorientasi pada kemanusiaan, AI bisa menjadi mitra strategis dalam mewujudkan pendidikan yang lebih cerdas, adil, dan manusiawi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI