Mohon tunggu...
Gerardus Kevin Avelino
Gerardus Kevin Avelino Mohon Tunggu... Mahasiswa Akuntansi

Suka memberikan informasi yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

OpenAI dan Pentagon: Ketika Etika Bertemu Realita Bisnis AI

20 Juni 2025   05:20 Diperbarui: 20 Juni 2025   05:20 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh OpenAI

Pada pertengahan Juni 2025, dunia teknologi global dikejutkan oleh kabar bahwa OpenAI---perusahaan di balik ChatGPT telah menandatangani kontrak senilai USD 200 juta (sekitar Rp 3,2 triliun) dengan Departemen Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon). Kontrak ini bukan sekadar proyek teknologi biasa, melainkan kemitraan strategis untuk mengembangkan kemampuan AI di ranah militer dan pertahanan nasional, termasuk sistem "warfighting" dan keamanan siber.

Yang menjadi sorotan bukan hanya besarnya nilai kontrak, tetapi juga fakta bahwa kerja sama ini bertolak belakang dengan kebijakan etika OpenAI sebelumnya. Sejak awal berdiri, OpenAI menegaskan bahwa teknologinya tidak akan digunakan untuk mengembangkan senjata atau aktivitas yang membahayakan manusia. Namun, sejak tahun 2024, kebijakan itu diam-diam diubah dan kini terbukti membuka jalan bagi kolaborasi resmi dengan militer.

Dari Ideal ke Realita: Mengapa OpenAI Berubah?

OpenAI, seperti banyak perusahaan teknologi lainnya, berada di persimpangan antara idealisme dan pragmatisme. Di satu sisi, mereka mengusung visi menciptakan kecerdasan buatan yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Di sisi lain, perkembangan teknologi AI yang begitu cepat membuat pemerintah, khususnya militer, sangat berkepentingan untuk memiliki akses dan kendali atas teknologi ini.

Kolaborasi dengan Pentagon ini adalah bagian dari inisiatif baru OpenAI untuk menerapkan AI di lingkungan pemerintahan. Mereka berencana menunjukkan bagaimana AI dapat digunakan untuk memperbaiki layanan administratif, seperti pelayanan kesehatan bagi personel militer, serta meningkatkan pertahanan siber secara proaktif.

Namun dalam dokumen resmi yang dikeluarkan Departemen Pertahanan AS, proyek ini juga mencakup pengembangan prototipe AI untuk menghadapi tantangan keamanan nasional di bidang "warfighting" (pertempuran). Istilah ini jelas menyiratkan pemanfaatan teknologi untuk kepentingan militer ofensif dan defensif.

Etika AI dalam Bayang-Bayang Militerisme

Perubahan sikap OpenAI ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah perusahaan teknologi harus tetap memegang teguh prinsip etikanya, ataukah harus beradaptasi dengan dinamika geopolitik dan kebutuhan pasar?

Sebagian pihak menilai langkah ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip dasar etika AI, terlebih bagi organisasi yang sempat berstatus nirlaba dan mengusung semangat transparansi serta kehati-hatian dalam pengembangan teknologi.

Namun di sisi lain, ada pula yang melihatnya sebagai keniscayaan dalam lanskap politik global saat ini. Persaingan antara negara-negara besar dalam mengembangkan senjata berbasis AI semakin memanas. Jika bukan OpenAI yang bekerja sama dengan pemerintah AS, maka bisa jadi perusahaan lain yang lebih oportunistik akan mengisi kekosongan tersebut, tanpa mengindahkan prinsip atau batasan etika apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun