Beberapa waktu lalu, saya membaca berita tentang kepala desa yang ditangkap karena menyalahgunakan dana desa. Bukan satu atau dua orang---ada puluhan kasus serupa yang mencuat sepanjang tahun 2023. Dana yang semestinya digunakan untuk membangun jalan desa, fasilitas umum, atau memberdayakan masyarakat, justru dijadikan "ladang basah" oleh oknum aparat desa.
Salah satu kasus yang cukup menyita perhatian terjadi di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Beberapa kepala desa terbukti menggelapkan dana desa yang nilainya miliaran rupiah. Akibatnya, pembangunan terhenti, masyarakat kehilangan haknya, dan kepercayaan publik kembali terguncang.
Saya pun bertanya dalam hati: Di mana Pancasila saat itu?
Pancasila: Bukan Hanya Hafalan, Tapi Pedoman Hidup
Sebagai dasar negara, Pancasila bukan hanya dokumen simbolis atau hafalan wajib tiap upacara. Ia seharusnya menjadi pedoman moral dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik. Dalam kasus korupsi dana desa ini, saya melihat ada beberapa nilai Pancasila yang secara terang-terangan dilanggar.
Pertama, sila ke-5: "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia." Dana desa hadir untuk mengurangi kesenjangan dan menciptakan pemerataan pembangunan. Tapi ketika dana itu dikorupsi, keadilan sosial menjadi angan-angan. Yang kuat tetap kuat, yang lemah makin terpinggirkan.
Kedua, sila ke-2: "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab." Menyalahgunakan dana publik sama saja dengan merampas hak masyarakat untuk hidup sejahtera. Di mana letak keadilan dan keberadaban jika pemimpin malah menyengsarakan rakyatnya?
Dan jangan lupakan sila ke-4: "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan." Pemimpin sejati adalah mereka yang bijaksana dan bertanggung jawab. Sayangnya, dalam kasus ini, pemimpin lebih memilih menjadi penguasa rakus ketimbang pelayan rakyat.
Krisis Etika Politik di Tingkat Akar Rumput
Kalau kita bicara etika politik, maka pertanyaannya sederhana: Apakah tindakan ini adil? Apakah bermoral? Apakah bertanggung jawab?
Jawabannya jelas: tidak.