Mohon tunggu...
Pitoresmi Pujiningsih
Pitoresmi Pujiningsih Mohon Tunggu... -

In Caffeine We Trust!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluarin di Dalem"

28 September 2011   23:49 Diperbarui: 4 April 2017   17:31 17161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Saya sadar benar bahwa di Indonesia-meskipun bayar pajak tak pernah telat, meskipun hapal UUD dan Perda dan mematuhi setiap butirnya, meskipun mengamalkan semua sila di Pancasila, Dasa Dharma dan Trisatya-kita tak bisa mengharapkan siapapun untuk bisa melindungi kita, tidak juga polisi, aparat pemerintah atau TNI (eh?). Mereka sudah terlampau sibuk mengurusi dan menjaga kepentingan-kepentingan yang mbayar. Jadi, yang bisa kita lakukan adalah melindungi diri sendiri.


Saya punya satu cerita (atau aib, terserah mau disebut apa) lagi:


Saya bertemu orang yang saya kira baik. Dia mengajari saya menulis dan kami janjian ketemuan. Saya ke tempatnya sekalian liburan, dan bukan di Jakarta. Hampir tengah malam, dan dia baru menjemput saya. Tanpa prasangka apapun, saya masuk ke mobilnya. Saya pikir, well, dia nggak bakal ngapa-ngapain saya karena dia abang dari seorang teman yang saya kenal baik. Gap kami terlalu jauh. Dia lelaki keren-matang-mapan sementara saya hanya cewek lusuh-gendut yang sedari kemarin belum mandi. Ternyata saya dibawa ke hotel jam-jaman (yang baru saya tahu kemudian). Saya masih tak punya firasat apapun.


Selesai melakukan pembayaran, pintu dikunci. Saya mengeluarkan Pektay, laptop saya, memunggunginya, sambil cerewet menceritakan tulisan saya. Ketika saya berbalik, ternyata dia sudah meloloskan jinsnya hingga hanya mengenakan kaos dan celana dalam.


Saya kaget, tapi saya nggak mau dia tau. Ini juga show of force dan saya nggak mau kalah. Saya juga nggak mau rugi jauh-jauh datang tapi nggak dapet ilmu. Jadi, saya lemparkan handuk. Begitulah. Selama mengoreksi tulisan saya, dia hanya mengenakan kaos dan berhanduk.


Tulisan kelar diedit, dan saya mulai jiper. Benar saja, dia meraba punggung saya dan melepaskan kaitan bra saya dengan sekali sentuh (padahal saya pakai bra sport yang mantap dan kencang. Edan!). Saya muntap dan berlari masuk kamar mandi untuk kembali mengaitkannya. Sekeluarnya, saya acungkan pisau lipat yang selalu saya simpan di saku belakang. Saya minta dia pergi "secara baik-baik" atau saya tak ragu menancapkan pisau itu di lambungnya. Dan dia pergi sementara saya gemetar sepanjang malam hingga pagi.



Belakangan baru saya tau dari cerita adiknya bahwa abangnya memang selalu "menjebak" perempuan-perempuan yang dia anggap pintar, dingin dan galak (meskipun saya nggak yakin saya masuk dalam tiga kategori itu). Dan apa yang saya alami sebenarnya tak lebih dari politik penguasaan dan penindasan antara lelaki ke perempuan, yang kuat terhadap yang lemah.


Dari kejadian-kejadian tersebut, saya berkesimpulan bahwa selama ini kami, para korban, tak bisa bicara dan membela diri karena semua itu mungkin dianggap wajar dan orang-orang seperti kami dianggap terlalu lebay, reaktif. Tak ada satupun yang mau berkata "elu tuh salah!" pada orang-orang seperti pak penjual stiker atau abangnya teman saya itu. Padahal ketahuilah, saat kita berada dalam posisi dirugikan dan kita tak bisa membalas, kita sedang dilecehkan. Ketika situasi berubah menjadi tindakan memaksa, hal itu sudah menjadi perkosaan. Dan saya pikir perempuan perlu berani (tapi nggak konyol ya) bertindak dan bersuara. Tegur para lelaki-lelaki bajingan itu dengan "elu salah, Njing! Nggak begini cara mainnya!". Mereka, para pelaku itu, adalah mahluk-mahluk menyedihkan yang tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang benar dan bisa dikompromi. Karena itulah, siapapun yang menyaksikan terjadinya pelecehan, di manapun, harus reaktif, harus taktis bertindak. Karena diam adalah kejahatan


Statistik selalu menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih banyak dari lelaki. Jadi, tidak seharusnya kita takut pada mereka. Dan terlepas dari beberapa bajingan yang pernah saya temui, bagi saya lelaki adalah pelengkap saya menjadi manusia seutuhnya.


Dan bagi kalian, para lelaki, berhati-hatilah. Kami sudah paham lho, cara main kalian. Jadi, jangan salahkan kami jika kami terlalu pintar dan menang bermain di lapangan kalian, dengan cara kalian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun