Pun jika di penghujung penampilan sidang kemarin Jessica Kumala Wongso membungkuk ke arah penonton dan melempar air kisses sembari berteriak "Thank you! Thank you!" lalu melangkah dari tengah "panggung" sembari melambai ala Miss Universe, saya tidak pula akan kaget.Â
Karena rasanya sudah sama seperti menonton serial yang memasuki masa endless episodes. Adegan-adegan dan ceritanya dibuat hanya demi memperpanjang masa tayang.Â
Apalagi jika sekali waktu pernah membaca tulisan-tulisan sosiolog Erving Goffman. Manajemen Impresi, Interaksi Simbolik, dan Dramaturgi, terpampang dangkal dan semembosankan slideshow presentasi yang basi di sidang Jessica kemarin.
Basi. Tapi toh televisi tetap menayangkan sidang Jessica.Â
Media ramai-ramai menjejalkan sidang Jessica ke ruang hidang khalayak. Karena sidang Jessica pada satu sisi memang terhitung pula sebagai bisnis. Namun, setiap kali media terlalu mengutamakan sisi bisnis, maka memburamlah sisi-sisinya yang lain. Media jadi abai terhadap tanggung jawabnya, abai terhadap moralnya, abai terhadap batas-batas benar salahnya. Â
Baiknya baca saja rangkaian lengkap selubung gelap yang disingkap @kurawa.Â
1M yang disebut @kurawa itu angka media cetak. Bagaimana dengan televisi?Â
Nah, angkanya duga-dugalah sendiri.
Lebih dari itu, untaian panjang babak demi babak Sidang Jessica adalah sebuah alat pengubah sikap khalayak. Terutama babak-babak terbaru. Setelah penonton dipersiapkan terlebih dahulu oleh si empunya kejutan: Terdakwa Jessica Kumala Wongso. Dengan arahan dari Otto Hasibuan yang terus dampingi Jessica meski tidak sejak sidang perdana, Jessica telah berkomunikasi cukup panjang dengan penontonnya.
Selama nyaris setahun Jessica Sianida dan Tim Otto, dicorongi televisi dan media lain, telah menyuntikkan stimulus ke nadi-nadi kognisi penonton. Simpul-simpul simbol sudah dirajut Jessica atas petunjuk Otto. Kata-demi-kata. Lakuan-demi-lakuan. Dengan bius paparan dan pengulangan dari media, setahap demi setahap Jessica Sianida menuai hasil.Â