Jasa dan Barang bukan hanya Penghabisan Anggaran.

Jasa dan Barang mungkin terdengar seperti hal biasa di sebuah instansi atau perusahaan. Namun jauh dari itu jasa dan barang merupakan hal yang seharusnya sangat diperhatikan dalam  proses pengadaannya.

Sering sekali pengadaan jasa dan barang ini akhirnya hanya berfokus pada bagian pemenuhan administratif yang menyebabkan terjadinya banyak penyimpangan-penyimpangan yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang tergiur dengan celah-celah yang bisa dimasuki untuk kepentingan pribadi.

Pemenuhan secara administratif ini mendorong orang-orang untuk memenuhinya dengan kepentingan pribadi dibanding pemenuhan jasa dan barang. Rendahnya integritas dan moralitas dalam pengadaan barang dan jasa membuat tercampurnya kepetingan pribadi, kelompok, dan organisasi.

Salah satu penyebab utama dari kondisi ini adalah tidak tersedianya alat ukur yang jelas dan spesifik untuk menilai integritas dan moralitas pegawai yang terlibat dalam proses pengadaan. Akibatnya, potensi terjadinya konflik kepentingan dan gratifikasi semakin besar. Sistem evaluasi yang seharusnya mengawasi secara objektif justru absen atau hanya terbatas pada aspek formal dan administratif. Tanpa indikator sikap dan nilai antikorupsi, penilaian kinerja cenderung hanya menghargai pencapaian output, bukan proses dan etika pelaksanaannya.

Lebih dari itu, lingkungan kerja yang permisif juga memperparah keadaan. Budaya organisasi yang membiarkan penyimpangan kecil tanpa sanksi tegas menciptakan normalisasi terhadap pelanggaran. Ketika pelanggaran tidak ditindak, dan pimpinan justru menunjukkan perilaku yang sama atau diam terhadap penyimpangan, maka pesan yang tersampaikan kepada bawahan adalah bahwa perilaku tidak etis dapat diterima dan bahkan ditiru.

Kasus-kasus gratifikasi, konflik kepentingan, dan penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan barang dan jasa menjadi cermin nyata lemahnya sistem integritas di dalam birokrasi. Situasi ini makin rumit ketika konflik kepentingan tidak dikenali atau bahkan dianggap wajar, terutama ketika terjadi hubungan personal atau kedekatan tertentu antara pelaksana pengadaan dan penyedia barang/jasa.

Sebagai solusi, reformasi birokrasi tidak cukup hanya pada tataran prosedur teknis atau regulasi administratif. Diperlukan langkah strategis yang menyentuh pembentukan budaya organisasi antikorupsi, termasuk:

• Penguatan sistem pengawasan internal yang berbasis nilai dan etika.
• Penguatan nilai-nilai BerAKHLAK di lingkungan ASN
• Penanaman nilai integritas secara konsisten, mulai dari rekrutmen hingga pembinaan ASN.
• Meningkatkan keberanian ASN untuk menolak dan melaporkan konflik kepentingan.
• Menyediakan indikator kinerja berbasis integritas dan moralitas, bukan sekadar serapan anggaran.

Sebagai CPNS maupun ASN aktif, kita punya peran penting dalam mendorong perubahan ini. Menjaga netralitas, menjauhi konflik kepentingan, memahami regulasi terkait pengadaan, serta bersikap jujur dan transparan dalam pelaksanaan tugas adalah bentuk kontribusi nyata dalam menciptakan birokrasi yang bersih dan akuntabel.