Mohon tunggu...
Gabriel Bayu
Gabriel Bayu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Bullying" Berakhir dengan Bunuh Diri, "Think Twice Before You Said #StopBullying"

4 Desember 2017   09:18 Diperbarui: 4 Desember 2017   10:09 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada studi kelompok AS, anak-anak korban bully berisiko lima kali lipat menderita anxiety disorder daripada anak-anak korban aniaya.

Studi kelompok Inggris menyatakan, anak-anak korban bully lebih rentan menderita depresi dan usaha menyakiti diri sendiri dibandingkan kelompok anak yang mengalami kekerasan rumah tangga.

Studi AS menunjukkan bahwa kelompok anak korban kekerasan orang dewasa tetapi tidak menjadi korban bully empat kali lipat lebih rentan terhadap depresi pada masa dewasa jika dibandingkan dengan kelompok anak yang tidak teraniaya atau di-bully.

Pada studi kelompok Inggris, anak-anak korban kekerasan orang dewasa tetapi bukan korban bully tidak menunjukkan adanya peningkatan risiko terhadap gangguan mental daripada anak-anak yang tidak teraniaya atau di-bully.

Hasil dari kedua kelompok studi membuktikan, anak-anak yang masa kecilnya menjadi korban kekerasan orangtua dan juga menjadi target bullying di sekolahnya menunjukkan peningkatan risiko menderita gangguan mental, anxiety disorder, dan depresi jika dibandingkan dengan mereka yang tidak di-bully atau dianiaya. Pada anak-anak Inggris, khususnya, terdapat risiko menyakiti diri sendiri.

Lebih lanjut, kedua kelompok studi ini membuktikan bahwa anak-anak korban bullying tetapi tidak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga lebih rentan memiliki gangguan mental daripada anak-anak korban aniaya tetapi bukan target bullying.


Para peneliti mengatakan, korban bullying dari teman sebaya umumnya memiliki efek jangka panjang yang lebih buruk pada kesehatan mental mereka pada saat dewasa dibandingkan dengan anak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Penemuan ini memiliki peran penting untuk rancangan kesehatan masyarakat dan pengembangan layanan untuk menangani bullying, menurut para peneliti. Sudah terdapat banyak kasus korban bullying yang memilih mengakhiri hidupnya karena depresi tidak tahan menerima tekanan dan hujatan dari orang-orang disekitarnya.

Kasus bunuh diri yang diakibatkan bullying di media sosial sempat meramai. Salah satunya adalah kasus yang dialami oleh Amanda Todd.

Kasus yang sempat menggemparkan Kanada ini berawal dari foto topless Amanda yang tersebar di jejaring sosial. Foto tersebut diambil saat ia masih berada di kelas 7. Saat itu Amanda berkenalan dengan seorang pria tak dikenal di internet, melalui layanan videocam pria tersebut membujuk Amanda agar mau memperlihatkan payudaranya. 

Setahun setelahnya, pria tersebut kemudian mengancam Amanda akan menyebarkan rekaman video itu jika Amanda tidak mau mempertontonkan daerah pribadinya kepada pria itu. Puncaknya, sebuah akun di facebook menggunakan foto bugil Amanda sebagai foto profil lalu mengontak teman-teman sekolah Amanda. Pada 10 Oktober 2012, Amanda ditemukan tewas di rumahnya. Sebelumnya Amanda ternyata juga telah beberapa kali melakukan usaha bunuh diri mulai dari meminum pemutih hingga menyayat nadinya.

Kasus Amanda Todd kemudian menjadi perhatian dunia karena sebelum Amanda meninggal ia sempat mengunggah sebuah video di youtube. Di video berjudul My Story: Struggling, bullying, suicide and self-harm itu Amanda tampak terdiam dan membolak-balik kartu yang berisi isi hatinya. Hingga hari ini sudah lebih dari 18 juta orang yang telah melihat video Amanda Todd.

Rahtaeh Parson, gadis asal Nova Scotia, Kanada ini mengalami nasib nahas. Di usianya yang ke-15, ia menjadi korban pemerkosaan. Malangnya, sebuah foto yang menunjukkan kejadian perkosaan tersebut beredar di sekolah. Sejak itu Rahtaeh menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahnya. 

Akibat foto yang beredar, Rahtaeh dianggap sebagai seorang pelacur. Selain dipermalukan secara verbal, selama berbulan-bulan ia menjadi target bullying di facebook. Dua tahun kemudian, karena tidak tahan menahan ejekan, Rahtaeh memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri tepatnya di April 2013.

Kasus cyberbullying juga dialami oleh Yoga Cahyadi. Pada Sabtu 26 Mei 2013, pria asal Yogyakarta ini melakukan tindakan nekat dengan menabrakkan diri ke kereta api yang tengah melintas. Diduga kuat Yoga yang akrab dipanggil Kebo, memilih mengakhiri hidupnya karena tekanan dan hujatan akibat gagalnya acara hiburan Lockstock Fest#2. Sebagai ketua penyelenggara, ia dianggap orang yang paling bertanggung jawab atas kegagalan acara tersebut.

Sesaat sebelum memutuskan untuk bunuh diri, Yoga sempat berkicau di twitter pribadinya "Terimakasih atas segala caci maki @lockstockfest2, ini gerakan.. gerakan menuju Tuhan.. salam"

Sumber: 

https://hellosehat.com/parenting/tips-parenting/tahukan-anda-efek-bullying-ternyata-lebih-berbahaya-dari-kekerasan-pada-anak/

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20140910112008-255-2906/ketika-bullying-berujung-maut/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun