Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Singkat, "Hajar Saja Asal Tidak Jadi Sampah"

12 September 2017   16:28 Diperbarui: 12 September 2017   18:21 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber tulisan Pak Tjipta: http://www.kompasiana.com/tjiptadinataeffendi21may43/59a6208f59b130081b21caf2/tugas-guru-adalah-mengajar-dan-mendidik-bukan-menghajar

Juga sekolah kami tanpa dinding. Atapnya yang berbahan asbes hanya disangga tiang berbahan kayu pinus, berukuran 3 x 3 In dengan panjang 3 meteran. Jadi anda bisa bayangkan suasana belajarnya, kan?

Berbeda sekali cara Guru mengajar kelas satu dengan kelas dua, dan seterusnya sampai kelas enam. Saya tau karena kondisi kelas kami di atas (tidak disekat). Yang mana kelas satu diajar paling kalem, selanjutnya kelas dua lebih kejam, dan yang paling beringas tentu saja kelas enam.

Setahun berlalu. Meski hanya sebatas menghafal Abjad dan menambah pakai bantuan lidi, saya pun berhasil meloncat ke kelas dua. Begitu pula teman lainnya, dan ada beberapa bahkan belum hafal Abjad.

Saya tidak tau sebab apa, Bapak Guru yang sudah tidak asing mengajar kelas dua tidak kelihatan. Menurut keterangan kepala sekolah yang menggantikan kekosongan sementara, akan ada guru baru yang mengajar kami. Orangnya perempuan atau Ibuk Guru. Ibuk Guru pertama di sekolah kami.

Sekira dua minggu, mungkin juga lebih, baru datang Ibuk guru yang kami nanti. Yang menurut saya akan seru, mungkin juga teman lainnya, tapi malah celaka. Ibuk Guru tadi tidak menguasai bahasa daerah dan suka membentak dengan suara khas Batak.

Percampuran antara bahasa yang tidak kami mengerti dengan suara menggelegar  pun sudah kami anggap sebuah kekejaman. Setiap hari kami mengkeret, takut. Lain lagi Ibuk itu suka membawa penggaris kayu besar menambah kegundahan.

Urusan cubit-mencubit dan kontak fisik lainnya saya kira tidak perlu diceritakan disini. Singkatnya tiada hari tanpa penghukuman. Mulai dari periksa kuku, tidak mengerjakan pekerjaan rumah---mate matika melulu---kedisiplian dan siswa kurang tanggap---untuk ini kalau pikiran saya seperti sekarang pasti sudah saya sanggah karena kami tidak paham bahasa.

Tapi, apa? Yang biasanya murid-murid akan fasih membaca setelah kelas tiga atau empat, bahkan ada juga yang sudah kelas lima. Tapi, walau belum lancar kami rata-rata sudah bisa membaca di kelas dua.

Dan iya, evaluasi akhirnya hinggap juga di pengurus sekolah, tidak lama ibuk itu mengajar. Hanya sekitar empat bulan. Selanjutnya Ibuk itu berkelakar di kelas enam, yang mana mungkin lebih mengerti bahasa. Tentu Ibuk itu lebih "wah" di kelas enam, kami semua menyaksikannya.

Walau pun ada nama depannya, sekira tiga tahun Ibuk itu menjadi "eksekutor" di sekolah kami, sampai sekarang saya hanya tahu nama belakangnya yang fenomenal saja yaitu Biring. Jadi kami memanggilnya Ibuk Biring.

Empat tahun saya belajar di sekolah berbentuk aula tersebut. Karena setelahnya pemerintah telah membangun gedung sekolah yang membuat kami berdecak kagum. Ibu Biring sudah pergi entah kemana ketika itu, mungkin dimutasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun