Ibu Lyontin selalu menyapa Bintara setiap hari, menanyakan kabar diri, orang tua, dan teman-temannya. Ia rutin mengajak Bintara dan siswa lain berbagi cerita saat jam istirahat atau waktu senggang. Kedekatan ini membuka mata Ibu Lyontin terhadap kesulitan, kemampuan, dan potensi unik setiap siswanya.
Bagi Bintara, yang ternyata unggul dalam mendesain, Ibu Lyontin segera memintanya menggambar siklus air dan menempelkannya sebagai hiasan di kelas. Ia mendukung dan mendorong Bintara mengembangkan potensi ini.
Ibu Lyontin selalu menyelipkan pesan kunci ini kepada semua siswanya: "Kalian semua istimewa, maka belajar dan berlatih itu sangat penting."
Sebulan berlalu. Topik tentang kenakalan Bintara nyaris lenyap dari ruang guru. Dewan guru takjub melihat perubahan Bintara. Meskipun terkadang tingkah lamanya muncul, ia kini mampu mengendalikan diri dengan cepat.
Kisah Ibu Lyontin mengajarkan kita bahwa masalah siswa perlu dikenali melalui komunikasi dan pendekatan yang tulus. Ia tidak sekadar mengajar IPA; ia mendidik karakter dan berhasil menyelamatkan masa depan Bintara dengan mengenal dan mendukung potensinya. Guru sejati harus menjadi sahabat yang diandalkan, yang membuat siswa merasa nyaman dan tidak sendirian.
Tiga Aksi Nyata Guru Penggerak Hati
Guru yang hebat tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga harus mampu mendidik, menginspirasi, dan memahami karakter siswanya. Mengubah nilai menjadi makna memerlukan tindakan yang menggerakkan batin, bukan hanya otak.
Berikut adalah tiga langkah praktis agar kita bisa menjadi guru yang menggerakkan hati, bukan sekadar mengajar:
1. Ciptakan Komunikasi yang Tulus dan Harmonis
Guru harus mau mendengarkan siswanya. Jangan hanya bertindak berdasarkan laporan atau keluhan guru lain. Komunikasi yang tulus membantu siswa berani berbagi masalah dan potensi mereka. Seperti Ibu Lyontin, kita akan lebih mudah mengendalikan perilaku negatif siswa tanpa harus menggunakan sanksi atau kemarahan, karena kita sudah mengetahui akarnya.
2. Berikan Apresiasi dan Hargai Setiap Usaha