Mohon tunggu...
Gaudensia Gordina
Gaudensia Gordina Mohon Tunggu... Guru

Hobi Berliterasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru yang Bukan Sekadar Mengajar

7 Oktober 2025   02:41 Diperbarui: 7 Oktober 2025   02:56 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bintara, siswa kelas VIII, dikenal sebagai anak hiperaktif. Ia sudah menjadi problem bagi seluruh dewan guru. Wali kelas, guru mata pelajaran, hingga guru BK sudah angkat tangan. Surat panggilan untuk orang tua sudah dilayangkan berkali-kali, tetapi hasilnya nihil. Berbagai sanksi, hukuman, dan nasihat tidak pernah membuat Bintara jera atau berubah.

Di awal tahun ajaran, Ibu Lyontin, guru IPA kelas VIII, baru akan mengenalnya. Ibu Lyontin sudah mendengar reputasi Bintara dari guru-guru tahun lalu.

Bel masuk berbunyi. Ibu Lyontin melangkah mantap menuju kelas Bintara. Tiba di depan pintu, kelas itu sudah riuh. Siswa berlarian, berteriak, dan duduk di lantai tanpa persiapan belajar. Ibu Lyontin memilih berdiri diam. Ia tidak menegur, tidak ada raut marah di wajahnya. Sorot matanya hanya tertuju pada setiap siswa.

Ketua kelas, Jerry, yang menyadari kehadiran guru segera menertibkan teman-temannya. Kelas sempat tenang dan rapi, tetapi Bintara hanya diam, bersandar di kursinya. Ibu Lyontin berjalan pelan menuju meja Bintara. Ia berbisik dengan suara lembut, "Tolong keluarkan perlengkapan belajarmu, Nak." Bintara mengangguk dan mengikuti permintaan itu. "Semangat baru, siap belajar?" tanya Ibu Lyontin dengan senyum. Bintara membalas senyumnya.

Kegiatan belajar pun dimulai. Tidak lama kemudian, suara Tanto mengingatkan Bintara agar tidak mengetuk-ngetuk pulpennya. Bintara berhenti, tetapi kemudian menggoyangkan mejanya. Suara kaki meja mengganggu beberapa siswa. Tanto berbalik, memukul meja Bintara, dan kegiatan belajar terhenti sejenak.

Ibu Lyontin mendekati keduanya, meminta mereka menjelaskan penyebabnya secara bergantian. Saat Tanto berbicara, Bintara terus menyela. Dengan lembut, Ibu Lyontin meletakkan tangan di bahu Bintara, memberi kode agar ia sabar menunggu giliran. Ia meminta Bintara mendengarkan temannya. Dengan bantuan dan sentuhan Ibu Lyontin, Bintara berhasil mengendalikan diri. Kelas kembali tenang.

Momen berikutnya terjadi saat Bintara dipanggil ke depan. Ia berlari kencang. Ibu Lyontin segera menghentikannya dan menuntunnya untuk melangkah pelan sambil terus mengucapkan kata "pelan, pelan". Saat Bintara berhasil, Ibu Lyontin tersenyum dan berkata, "Kamu hebat!"

Usai kelas, bel istirahat berbunyi. Ibu Lyontin meraih Bintara, mengajaknya ke kantin. Sambil menyeruput kopi, Ibu Lyontin mengajak Bintara bercerita santai. Ia tidak menyidang, melainkan berbagi cerita lucu yang membuat mereka tertawa. Ibu Lyontin berhasil menciptakan koneksi personal dan bertanya tentang hobi Bintara. Bintara menjawab dengan semangat bahwa ia suka menggambar. Ibu Lyontin memberinya tugas: "Tolong gambarkan siklus air di kelasmu."

 

Ketika Hati Guru Menyelamatkan Masa Depan

Sejak hari itu, Ibu Lyontin mengubah pendekatannya. Ia membuat catatan tentang Bintara: Mengingatkan dengan pelan, mendengarkan, menghargai usaha, memberikan dukungan, dan mengajaknya berkomunikasi.

Ibu Lyontin selalu menyapa Bintara setiap hari, menanyakan kabar diri, orang tua, dan teman-temannya. Ia rutin mengajak Bintara dan siswa lain berbagi cerita saat jam istirahat atau waktu senggang. Kedekatan ini membuka mata Ibu Lyontin terhadap kesulitan, kemampuan, dan potensi unik setiap siswanya.

Bagi Bintara, yang ternyata unggul dalam mendesain, Ibu Lyontin segera memintanya menggambar siklus air dan menempelkannya sebagai hiasan di kelas. Ia mendukung dan mendorong Bintara mengembangkan potensi ini.

Ibu Lyontin selalu menyelipkan pesan kunci ini kepada semua siswanya: "Kalian semua istimewa, maka belajar dan berlatih itu sangat penting."

Sebulan berlalu. Topik tentang kenakalan Bintara nyaris lenyap dari ruang guru. Dewan guru takjub melihat perubahan Bintara. Meskipun terkadang tingkah lamanya muncul, ia kini mampu mengendalikan diri dengan cepat.

Kisah Ibu Lyontin mengajarkan kita bahwa masalah siswa perlu dikenali melalui komunikasi dan pendekatan yang tulus. Ia tidak sekadar mengajar IPA; ia mendidik karakter dan berhasil menyelamatkan masa depan Bintara dengan mengenal dan mendukung potensinya. Guru sejati harus menjadi sahabat yang diandalkan, yang membuat siswa merasa nyaman dan tidak sendirian.

Tiga Aksi Nyata Guru Penggerak Hati

Guru yang hebat tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga harus mampu mendidik, menginspirasi, dan memahami karakter siswanya. Mengubah nilai menjadi makna memerlukan tindakan yang menggerakkan batin, bukan hanya otak.

Berikut adalah tiga langkah praktis agar kita bisa menjadi guru yang menggerakkan hati, bukan sekadar mengajar:

1. Ciptakan Komunikasi yang Tulus dan Harmonis

Guru harus mau mendengarkan siswanya. Jangan hanya bertindak berdasarkan laporan atau keluhan guru lain. Komunikasi yang tulus membantu siswa berani berbagi masalah dan potensi mereka. Seperti Ibu Lyontin, kita akan lebih mudah mengendalikan perilaku negatif siswa tanpa harus menggunakan sanksi atau kemarahan, karena kita sudah mengetahui akarnya.

2. Berikan Apresiasi dan Hargai Setiap Usaha

Pujian dan pengakuan adalah bahan bakar emosional terpenting bagi seorang siswa. Hargai setiap usaha kecil yang mereka lakukan, bukan hanya hasil akhirnya. Ketika Ibu Lyontin memuji Bintara ("Kamu hebat!") saat ia berhasil melangkah pelan, ia menanamkan rasa percaya diri dan validasi. Siswa yang dihargai merasa lebih termotivasi untuk mempertahankan perubahan positif.

3. Jadilah Teladan Aktif (Personal Branding)

Seorang guru adalah model utama di sekolah. Sikap dan tutur bahasa adalah kurikulum yang berjalan. Untuk menjadi teladan aktif, perhatikan dua hal ini:

  • Upgrade Diri

Jangan berhenti belajar ilmu baru. Wawasan yang luas membuat komunikasi kita dengan siswa relevan dan menarik, terutama di era perkembangan zaman yang cepat.

  • Sikap dan Kesopanan

Tunjukkan sikap kesopanan, keramahan, dan respek kepada semua orang. Guru yang memiliki personal branding positif dan karisma akan lebih mudah mengendalikan siswa bermasalah, karena siswa secara alamiah menghargai dan ingin meniru keteladanan yang kuat.

Guru harus memiliki kemampuan untuk mengenal karakter siswa melalui komunikasi yang baik. Dengan membangun koneksi ini, kita tidak hanya mengajarkan mata pelajaran, tetapi juga membantu menyadarkan siswa bermasalah dan mengarahkan mereka pada potensi terbaik mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun