“Kau tahu apa yang menyenangkan ketika menikmati sore berpijak pada langit yang mulai merona di ujung barat?”
“Ya menikmati sebuah kata-kata yang baru saja aku tulis dengan secangkir teh atau kopi kemudian lembaran-lembaran puisi membuktikan ada yang indah dalam ruang pikiranku. Sesaat aku merasakan hidup disebuah dongeng yang kutulis.
Matanya, seperti langit malam yang dipenuhi kunang-kunang. Aku melihat hamparan kesenduan dalam mata itu. Mata yang terlalu melankolis untuk seorang wanita yang selalu membisu dan tergesa-gesa ketika bercerita.
Sisa hujan masih terasa dingin. Aku tak tahu bagaimana persisnya aku mulai mengajaknya bicara. Tetapi ketika ia bercerita, aku seperti mendengar denting genta, bergemerincing dalam hatiku.
”Dan yang ini?”
Seperti kukatakan sebelumnya, aku suka matanya yang selalu mengingatkanku pada langit malam yang dipenuhi kunang-kunang. Menatap matanya menjadi kehangatan tersendiri, persis seperti ketika kau merasa rindu pada masa kanak-kanakmu yang paling menenteramkan. Itulah yang membuatku betah berada di dekatnya.
Aku suka ketika mendengar ia berbicara. Terdengar seperti lagu melankolia yang tak terlalu merdu tetapi dinyanyikan dengan sentimentil…Sampai saat ini aku sendiri masih heran. Kadang aku menganggap semua ini tiada lebih dari kisah cinta yang ganjil dan bermasalah. Tapi, bukankah cinta memang ganjil dan penuh masalah?!
Kau tak perlu cemas. Walau aku jauh kau akan lebih memperhatikan bintang bersama malam dari selembar doa yang aku titipkan. Aku tak ingin melewatkan keindahannya. Tak akan kubiarkan mereka mengambilnya, saat dia di depanku. Dari setiap nafas, setiap langkah dan setiap jam yang ku lalui
Jika kau adalah kata-kata yang dikirimkan hujan untuknya,
serupa petir, merdu dan hanya berlalu di depan kaca jendelanya
Jika kau adalah kata-kata kirimkan pagi yang tak juga mau beranjak
karena kita saling menuai doa diantara jarak
Jka kau adalah kata-kata rangkailah kami dari sebuah cerita
sebab kita akan bertemu dalam satu titik yang sama