Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mending Menko Luhut Waspadai "Uka-uka" Ketimbang Komentari Celoteh Provokatif

31 Agustus 2015   08:47 Diperbarui: 31 Agustus 2015   08:47 2313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu malam di bulan Maret tahun 2011. Bandara Frankfurt, Jerman mendadak gempar. Pada malam itu dua tentara Amerika tewas tertembus peluru. Sedang sejumlah pengunjung bandara lainnya terluka. Mendapati serangan teroris di bandara internasionalnya, aparat keamanan Jerman bertindak cepat. Tidak butuh waktu lama, pelakunya berhasil ditangkap. Pelakunya bernama Arid Uka. Usianya baru 21 tahun ketika itu.

Uka membunuh untuk menumpahkan kebenciannya kepada tentara Amerika. Lewat sejumlah investigasi, diketahui sebelum menumpahkan amarahnya, Uka menonton sebuah klip video di situs youtube, yang menunjukkan pemerkosaan seorang perempuan muslim yang dilakukan tentara Amerika. Ternyata, tanpa Uka ketahui video yang berhasil mengobarkan amarahnya itu ternyata video hoax hasil rekayasa.

Uka bukanlah anggota dari organisasi teroris. Dia juga tidak pernah direkrut menjadi teroris oleng jaringan mana pun. Seluruh proses radikalisasi yang terjadi pada dirinya disebabkan pengaruh internet, khususnya media sosial seperti Facebook di mana ia aktif mengikuti diskusi dan “pencerahan” radikalisme..

Melahirkan individu radikal seperti Uka memang tidak perlu tatap muka langsung. Kamp pelatihan pun tidak dibutuhkan lagi. Semua itu sudah digantikan oleh internet. Internet sudah dimanfaatkan untuk meluaskan pengaruh dan mendorong pembentukan kelompok-kelompok radikal.Dan, Uka menjadi bukti keberhasilan “program” radikalisasi yang disebut "Jihadisme 2.0“.

Potensi lahirnya Individu radikal seperti Uka di Indonesia bukanlah kemungkinan yang bisa disepelekan. Hampir setiap hari netizen bisa mendapati postingan yang bersifat provokasi dari sejumlah pihak. Karenanya ketimbang menghimbau pengamat dan mantan pejabat untuk tidak mengeluarkan komentar provokatif, lebih baik Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan mewaspadai provokasi sejumlah media online yang berpotensi melahirkan “Uka-uka”.

Sejauh pengamatan saya, saat ini para penggiat radikalisme di Indonesia tidak lagi hanya menyoal NKRI yang dianggapnya sebagai negara thagut yang segala macam aturannya haram untuk ditaati. Sekarang ini penggiat radikalisme tanpa henti mengobarkan kebencian kepada pemerintah, etnis China, penganut Syiah.

Sama dengan metode yang berhasil meradikalkan Uka, radikalis di Indonesia pun gencar menanamkan kebencian dengan cara mengkondisikan umat Islam sebagai pihak yang terdzolimi. Salah satu contohnya bisa dilihat dari puisi  .  “Islam Indonesia Dihancurkan” yang tulis oleh Nandang Burhanudin seperti yang disebarluaskan oleh kader dakwah dan media kesayangannya, PKSpiyungan. http://www.pkspiyungan.org/2015/04/islam-indonesia-dihancurkan.html 

Dalam puisi yang ditulisnya itu, Nandang meluapkan kebenciannya terhadap etnis China “ Oleh kaum minoritas yang sok jagoan. Zaman Gusdur Gong Xi Fa Cai diresmikan. Kini penghancuran Islam ditargetkan. Akankah kita diam saat Islam dimajinalkan? Akankah kita berpangku tangan saat peran umat dipinggirkan? Kita berhadapan dengan mafia dunia yang diprogramkan. Penjajahan baru dan Indonesia akan dihancurkan.

Tidak hanya menanamkan kebencian, puisi itu pun mengajak untuk berperang, “Bangkit kawan segala hal persiapkan. Latihan militer jangan dilupakan. Bangun kembali Hizbul Wathan yang dibanggakan. Penjajahan ekonomi, penindasan minoritas, harus kita singkirkan.” .

Berbeda dengan di negara lainnya, menyebarkan paham radikalisme penuh kebencian di Indonesia ini aman-aman saja. Sebab mereka menggunakan situs berita dan situs dakwah sebagai kedoknya. Kedok itu semakin aman melidungi wajah mereka karena didukung juga oleh sistem politik Indonesia yang demokratis. Sistem yang menjamin kebebasan pers serta kebebasan berekspresi.

(Tapi, jangan pernah berharap situs-situs radikal itu mau tunduk pada kode etik jurnalistik sebab, bagi pengelola situs radikal, kode etik jurnalistik adalah produk zionis yang haram untuk ditaati jurnalis muslim. Bukankah itu yang dikatakan oleh Abu Jibril pengelola Arrahmah.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun