Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lewat Presidential Threshold, Jokowi Coba Matikan Prabowo

22 Oktober 2016   10:50 Diperbarui: 22 Oktober 2016   12:15 5172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada 23 Januari 2014 Mahkamah Kostitusi mengabulkan judicial review UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Effendi Gazali. Dengan dikabulkannya gugatan tersebut, Pileg dan Pilpres 2019 dan seterusnya akan digelar serentak.

Karena pemilu digelar serentak dan pada hari itu jumlah raihan suara legislatif belum diketahui, maka logikanya sejak Pemilu 2019 presidential threshold tidak diberlakukan lagi. Ternyata logika itu salah. MK masih memberi ruang untuk diberlakukannya presidential threshold. Lantas, dari mana angka presidential threshold dihitung, bukankah hasil pileg belum keluar?

Ternyata, pemerintah mengusulkan presidential threshold dihitung menurut hasil pileg 5 tahun sebelumnya. Jadi, presidential threshold untuk Pilpres 2019 menggunakan hasil Pileg 2014. Sebelumnya, pada Pilpres 2009 dan 2014, pasangan capres-cawapres hanya bisa diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki sedikitnya 20 % jumlah kursi DPR RI atau minimal 25 % suara.  

Kalau usulan pemerintah itu diterima, konsekuensinya parpol baru tidak berhak mengusung capres-cawapres, bahkan untuk bergabung dengan parpol lama pun tidak bisa. Tetapi, bukan berarti tokoh yang berasal dari parpol baru tidak dapat dicapreskan atau dicawapreskan. Perindo, misalnya, tidak bisa mencalonkan atau turut mencalonkan Hary Tanoesudibyo. Tetapi, Hary bisa dicapreskan oleh parpol lawas atau gabungan parpol lawas yang memenuhi syarat presidential threshold.  

Kalau dipikir, usulan pemerintah ini tidak hanya berdampak pada parpol baru, tetapi juga parpol lawas. Saat ini, peta politik sudah bergeser jauh dari peta politik 2014. Koalisi Merah Putih yang pada 2014 lalu begitu menakutkan bagai macan yang siap menerkam Presiden Jokowi saat ini sudah loyo. Bisa dikatakan, saat ini KMP tinggal menyisakan Gerindra dan PKS. Sebaliknya, kekuatan Jokowi semakin hari semakin menguat.

Memang KMP bukan lagi kekuatan politik yang menakutkan bagi kubu Jokowi. Tetapi, bagaimana pun juga, sampai saat ini Prabowo Subianto masih menjadi pesaing terkuat bagi Jokowi pada Pilpres 2019 nanti. Dan, kalau pada Pilpres 2019 nanti keduanya kembali bertarung, tidak mustahil Prabowo yang akan keluar sebagai pemenangnya.

Hitung-hitungannya sederhana saja. Pada Pilpres 2014 Jokowi hanya menang atas Prabowo dengan selisih tipis: 53,15%-46,85%. Dengan situasi yang terjadi selama 2 tahun masa pemerintahannya, diperkirakan elektabilitas Jokowi tidak sekuat pada 2014. Apalagi kalau ditembah dengan rumor-rumor yang selama ini berkembang dan terus berkembang. Bisa diperkirakan tingkat keterpilihan Jokowi saat ini sudah merosot jauh. Dengan kondisinya ini, jika head to head dengan Prabowo, Jokowi akan kalah. Inilah yang tidak diharapkan oleh kubu Jokowi. Untuk itu, kubu Jokowi menyiapkan dua skenario penjegalan Prabowo.

Skenario pertama dengan mengusulkan pemberlakuan presidential threshold yang merujuk pada hasil Pileg 2019. Skenario kedua dengan menggembosi kekuatan Prabowo. Skenario kedua ini dilancarkan dengan memecah pendukung Prabowo dengan membentuk poros baru.

Kalau berkaca pada peta kekuatan parpol dalam kontestasi Pilgub DKI 2017, jelas saat ni Prabowo hanya didukung oleh Gerindra dan PKS. Kalau perolehan suara kedua parpol tersebut pada Pileg 2014 digabung hasilnya hanya 18,6%. Jauh di bawah presidential threshold yang ditetapkan yaitu 25%. Dengan demikian, dipastikan Prabowo tidak bisa maju sebagai capres pada Pilpres 2019.

Di lain pihak, dua poros lainnya, Teuku Umar dan Cikeas, akan melenggang menuju Pilpres 2019. Jokowi akan kembali dicapreskan oleh PDIP, Golkar, Hanura, dan Nasdem. Sementara, kubu Cikeas yang dimotori oleh SBY akan mengajukan figur penantang bagi Jokowi. Siapa yang akan dijagokan kubu Cikeas, itulah pertanyaan yang paling menarik.

Apakah Prabowo sudah habis? Belum tentu. Dengan peta politik sekarang ini, tentu saja nilai tawar poros Kertanegara yang dikomandani Prabowo lebih redah dari poros Cikeas. Meski kekuatan porosnya lemah, tetapi Prabowo masih memiliki tingkat keterpilihan yang menjanjikan untuk memenangi Pilpres 2019. Tingkat elektabilitas Prabowo inilah yang akan ditawarkan kepada poros Cikeas untuk menggalang satu koalisi. Tentu saja, poros Cikeas pun akan menyodorkan jagoannya untuk mendampingi Prabowo. Siapa pun sosok yang dijagokan oleh Cikeas, Prabowo tidak mungkin menampiknya. Siapa yang akan dijagokan kubu Cikeas, itulah pertanyaan yang paling menarik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun