Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Soal Kelompok yang "Goreng" Isu Rohingya, Tito Karnavian Benar!

7 September 2017   12:43 Diperbarui: 8 September 2017   16:22 9881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjuk rasa membakar poster bergambar tokoh Myanmar Aung San Suu Kyi di depan Kedutaan Besar (Kedubes) Myanmar di Jalan Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/9/2017). Massa mengecam tindakan kekerasan terhadap umat Islam Rohingya dan menyerukan agar duta besar Myanmar diusir dari Indonesia.(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

"Dari hasil penelitian itu bahwa isu ini lebih banyak dikemas untuk digoreng untuk menyerang pemerintah. Dianggap lemah," kata Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Selasa (5/9/2017) (Sumber: Kompas.com)

Katanya, ada kelompok tertentu yang membelokkan isu Ronghingya untuk menyerang pemerintahan Jokowi, bukan lagi karena  sisi kemanusiaan. Tito mengaku pernyataannya tersebut berdasarkan hasil penelitian.

Entah penelitian mana yang dimaksud oleh Kapolri. Tetapi, sebelum pernyataan Kapolri tersebut diberitakan, sebuah hasil penelitian tentang adanya upaya yang membonceng isu Rohingya untuk menyerang Jokowi beredar di linimasa.

Hasil penelitian itu diunggah oleh Erizeli Jely Bandaro lewat akun media sosialnya. Dalam statusnya, pengusaha yang bersama 13 Kompasianer dijamu makan siang oleh Jokowi di Istana Negara pada 19 Mei 2015 ini menayangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismail Fahmi yang dikenal sebagai pakar IT.

Fahmi, sebagaimana yang dituliskan oleh Erizeli, memantau percakapan Twitter di Indonesia dengan menggunakan fitur Opinion Analisys. Lewat fitur tersebut, opini dan sentimen pengguna Twitter dikelompokkan berdasarkan katagori tertentu.

Hasilnya, 33% percakapan pengaitkan isu Rohingya dengan Pemerintah; 25% dengan Jokowi; 19% dengan Budha; 18% dengan Aung San Suu Kyi; 6% dengan Jenderal Min Aung Hlaing

Dari hasil survei, seperti dalam postingan Erizeli, disimpulkan jika isu Rohingya lebih disasarkan kepada pemerintahan Jokowi. Sementara, isu kemanusian dan agama hanyalah alat untuk menggiring ummat Islam untuk membenci pemerintah Jokowi dan umat Budha di Indonesia, bukan di Myanmar

Sayangnya, hasil penelitian Ismail yang diposting oleh Erizeli masih menyisakan banyak pertanyaan. Setelah klik sana-sini barulah ditemukan sebuah artikel yang memberikan penjelasan yang lebih lengkap.

Artikel yang mengulas hasil penelitian Ismail itu diunggah di Forum.liputan6.com. Dalam penelitiannya Fahmi menggunakan tool ciptaannya yang diberi nama "Drone Emprit".

Sumber Forumliputan6.com
Sumber Forumliputan6.com
Dalam artikel diunggah sebuah diagram yang menunjukkan kicauan bernada positif, negatf, dan netral pengguna Twitter terkait isu Rohingya. Kicauan-kicauan yang berjumlah 10.218 tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa katagori.

Dari hasil pantauan Drone Emprit diketahui 25% kicauan tentang isu Rohingya yang dikaitkan dengan pemerintah bermuatan negatif. Sementara muatan positif hanya 7%.

Tetapi, karena Drone Emprit hanya memantau ujaran positif-negatif-netral untuk setiap katagorinya tanpa melakukan pemilahan atas keberpihakan pengguna Twitter, maka tidak diketahui kelompok mana yang menggoreng isu Rohingya untuk menyerang pemerintah Jokowi. Dengan kata lain, penggoreng isu Rohingya bisa siapa saja, termasuk kelompok pendukung Jokowi sendiri.

Namun demikian, sekalipun tidak diketahui kelompok mana yang memainkan isu Rohingya, pernyataan Kapolri benar. Memang ada kelompok tertentu yang memanfaatkan pembantaian etnis Rohingya untuk kepentingan politiknya. Bukan karena alasan agama, apalagi atas dasar kemanusiaan.

Sikap Kelompok Tertentu ("K" dan "T" ditulis dalam huruf besar) tersebut atas sebuah peristiwa pembantaian bisa terbaca saat terjadinya peristiwa "Rabaa".

Sekitar empat tahun yang lalu, setelah Presiden Mesir Muhamed Mursi digulingkan pada 3 Juli 2013, ratusan pendukungnya melancarkan aksi prores besar-besaran di Alun-alun Rabaa al-Adawiya, Kairo,

Para pendukung Mursi bukan hanya berunjuk rasa, tetapi juga melakukan serangkaian tindakan kekerasan kepada kelompok-kelompok yang dianggap terlibat dalam penggulingan Mursi. Akibatnya, kerusuhan meledak di sejumlah wilayah di Mesir.

Untuk meredakan situasi, Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal As Sisi sekaligus tokoh sentral pelengseran Mursi menerjunkan pasukannya di Alun-alun Rabaa. Upaya pembubaran unjuk rasa pun dilakukan.

Akan tetapi, para pendukung Mursi melakukan perlawanan sengit. Bentrokan berdarah pun terjadi. Ratusan, bahkan ada yang mengatakan 2.500, pendukung Mursi tewas dalam peristiwa tersebut. Media pro-Mursi menyebut tragedi tersebut sebagai pembantaian.

Sontak, jutaan pendukung Mursi di seluruh dunia yang terikat dengan paham Ikhwanul Muslimin meneriakkan protes kerasnya. Mereka, termasuk di Indonesia, melakukan sejumlah aksi. Mulai dari doa bersama sampai memasang foto profi " Empat Jari" sebagai simbol Rabaa.

Pertanyaannya, apakah empati yang diberikan kepada ribuan korban tewas pembantaan tersebut atas dasar rasa kemanusiaan? Atau, apakah ungkapan empati itu berdasarkan atas persamaan agama?

Jika memang benar empati dan simpati itu diberikan karena dasar kemanusiaan atau agama, kenapa Kelompok Tertentu tersebut bungkam saat polisi Mesir (ketika itu Mesir masih dipimpin Mursi) membantai 30 orang di Port Said pada Januari 2013?

Lalu, kemana suara mereka ketika pendukung Mursi melakukan serangan kepada gereja Kristen Koptik dan kaum minoritas lainnya, termasuk penganut Syiah?

Bukankah korban pembantaian pemerintah Mursi dan kelompok Ikhwanul Muslimin juga manusia. Dan, bukankah mayoritas korban kebengisan Mursi dan pendukungnya adalah kaum muslimin, sama seperti korban pembantaian di Myanmar.

Karenanya, timbul pertanyaan, apakah protes keras atas pembantaian terhadp pendukung Mursi dikarenakan rasa kemanusiaan, persamaan agama, ataukah karena persamaan ideologi politik?

Kelompok Tertentu ini pun dikenal garang mentang labelisasi teroris pada Islam. Anehnya, Kelompok Tertentu ini justru mendukung sikap Presiden Turki Recep Tayyip Erdoan yang menstempel ulama kharismatik asal Turki Fethullah Gulen sebagai teroris.

Dan ketika pemerintah Turki mendesak pemerintah Indonesia dan 49 pemerintah negara lainnya untuk menutup sekolah Islam yang didirikan oleh Gulem, Kelompok Tertentu ini lebih memilih untuk bungkam.

Atas dasar apa Kelompok Tertentu tersebut mendukung segala kebijakan yang diambil Erdogan?

Hanya satu benang merah yang menautkan semanagat kebersamaan antara Kelompok Tertentu dengan Mursi dan Erdogan. Benang merah itu tidak lain dan tidak bukan adalah ideologi politik.

Dengan alasan ideologi politik itulah Kelompok Tertentu ini memilih bungkam saat Mursi dan pendukungnya membatai rakyat Mesir. Pun ketika Erdogan melabeli ulama dengan sebutan teroris.

Dalam tragedi pembantaian atas etnis Rohingya, Kelompok Tertentu ini lebih terkesan menikmati ketimbang menunjukkan rasa keprihatinannya. Hal ini terlihat dengan banyaknya informasi hoax yang disebarluaskan oleh Kelompok Tertentu ini. Bahkan, para elit dari Kelompok Tertentu ini pun eolah larut dalam kegembiraa dengan turut menyebarkan sejumlah foto hoax.

Untuk tujuan apa Kelompok Tertentu ini menyebarkan hoax kalau bukan untuk memanasi situasi dengan mendompleng tragedi Rohingya yang ujung-ujungnya menyasar ke arah Jokowi dan pemerintahnya.

Jadi, pernyataan Kapolri 100% benar.

Namun demikian, pekerjan Polri bukan mengurusi hasil penelitian,  tetapi mengantisipasi segala bentuk ancaman yang menunggangi isu ini.

Jangan sampai peristwa serangan teroris seperti yang terjadi di Vihara Ekayana, Jakarta Barat pada 4 Agustus 2013 terulang kembali.

Pada saat itu, sebuah ledakan bom rakitan melukai 3 jamaat. Pelaku peledakan meninggalkan pesan yang bertuliskan 'Kami Menjawab Jeritan Rohingya'.

Muslim Rohingya oleh PBB digambarkan sebagai "salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia." Mereka telah ditolak berkewarganegaraan Myanmar (Burma) sejak undang-undang kewarganegaraan 1982 diundangkan.

Karenanya, jangan biarkan simpati tulus dari bangsa ini ternodai oleh ulah Kelompok Tertentu yang memanfaatkan isu Rohingya untuk kepentingan politik sesaatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun