Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Pak Jokowi, Kapan Kenakan Batik Cerbonannya (Karena Sekarang Saya Pengeber Batik)?

28 Oktober 2015   19:19 Diperbarui: 20 April 2017   12:21 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konon, ketrampilan membatik warga desa diturunkan oleh Ki Gede Trusmi. Di sela-sela kegiatan dakwahnya, santri Sunan Gunung Jati ini menularkan teknik membatik kepada warga sekitar. Untuk menghargai jasa-jasa Ki Gede Trusmi, setiap tahunnya  masyarakat mengadakan upacara Ganti Welit (atap rumput) pada makamnya, dan setiap empat tahun sekali diadakan upacara Ganti Sirap untuk mengganti atap sirap pada makam. Di tangan generasi penerusnya, kain batik dibuat semenarik mungkin tanpa meninggalkan nilai budaya yang dikandungnya.

Soal harga. Sebelum membicarakan soal harga, saya mau mengaku dulu. Saya menayangkan artikel ini karena saya sekarang sudah jadi pengeber batik. Secara tradisional, sistem penjualan batik di Cirebon, mungkin juga di daerah lainnya, menggunakan jasa pengeber. Pengeber datang ke pengrajin pengusaha batik untuk mengambil beberapa helai batik. Kain batik yang dibawa tersebut kemudian dijajakan oleh pengeber ke berbagai daerah, toko, rumah, dan lainnya. Uang yang didapat dari hasil penjualan kemudian dibayarkan oleh pengeber kepada pengrajin atau pengusaha batik sesuai kesepakatan sebelumnya.

Nah, kembali ke soal harga. Batik Cerbonan yang ditawarkan dengan harga bervariasi, tergantung motif, cara pembuatan, lama pengerjaan, dan bahan pewarnanya, tingkat kehalusan, dan lainnya. Untuk batik tulis motif Nagasebo dengan bahan pewarna alami, yang diselesaikan selama 3 bulan, misalnya, ditawarkan dengan harga mulai Rp 850.000. Untuk bahan perwarna alamaminya sendiri didapat dari batang pohon mangga yang dikunci dengan tunjung.

Harga yang ditawarkan sangat wajar, selain karena tingkat kesulitan dan lamanya proses pembuatan, batik tulis berbahan pewarna alami juga tidak akan ada kembarannya. Pertama, karena batik tulis tidak memiliki pola yang tercetak yang membuat pengrajinnya tinggal mengikuti pola yang sudah jadi. Kedua, Warna yang dihasilkan oleh bahan perwarna alami tergantung banyak faktor, contohya, bahan baku pewarna itu sendiri, proses pembuatan bahan pewarnanya, banyak sedikitnya proses pencelupan, dan yang tidak kalah menentukan adalah intensitas terik matahari.

Selain faktor-faktor di atas, faktor pengrajin pun menentukan kualitas dan warna batik. Menurut salah seorang pengrajin batik di Desa Kalitengah Sri Agustina, pikiran dan hati yang tidak tenang ketika membuat batik dapat mempengaruhi kualitas batik. Misalnya, bahan pewarna yang tidak meresap pada kain. Lantas, apa jadinya batik kalau pengrajinnya cengar-cengir setelah membaca status saya di FB ini, “Keturunan Isac Newton hari ini mengungkapkan surat wasiat yang ditulis moyangnya. Di dalam surat wasiatnya, Newton mengaku kalau apel jatuh ke bumi bukan karena gravitasi, tetapi karena kesalahan Jokowi.”

Harga yang ditawarkan di atas tentu saja sangat bersaing. Makanya, belum lama saya promosikan, sudah ada teman yang memesan. Itu karena karena strategi dagang yang saya terapkan berbeda dengan penjual batik lainnya. Kalau di Sentra Batik Trusmi banyak didapati toko yang memajang papan bertuliskan “Langsung dari Pengrajin”. Maka saya membuat perbedaan dengan memasang papan bertuliskan “Langsung dari Jemuran Pengrajin”.

Berhubung dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, sebenarnya batik pun mewakili kesatuan dalam kebhinekaan bangsa Indonesia. Orang Sumatera mempunyai batik dengan motifnya sendiri. Begitu pula dengan orang Sunda, orang Jawa, orang Cirebon, orang Bali. Bahkan, orang Papua pun mempunyai batik khasnya sendiri dengan motif burung cendrawasihnya. Jadi sangat tepat jika kita mengatakan batik sebagai salah satu Pesona Indonesia.  Atau lebih tegasnya lagi batik adalah Indonesia.

Yang tidak kalah penting, jangan sampai batik kembali diklaim oleh bangsa lain. Seperti beberapa bulan yang lalu di mana ramai dibicarakan tentang batik motif Megemendung diklaim oleh orang Turki. Ini sangat lucu. Memangnya ada foto atau dokumen yang menggambarkan nenek moyang Erdogan duduk di atas dingklik sambil membatik?

Karyawan toko batik di Trusmi menolak batik motif Megamendung diklaim oleh warga Turki. (Foto dari  http://www.cirebontrust.com/karyawan-batik-trusmi-kampanye-save-megamendung-upaya-pertahankan-batik-cirebon.html

Saking khasnya Megamendung sebagai motif batik Cerbonan, sampai-sampai pada poster pengunjuk rasa pun ditulis “dake”. “Dake”, atau biasa juga diucapkan “deke”, ini jangankan orang di luar Cirebon, orang yang tinggal di Cirebon saja belum tentu tahu artinya, sebab kata itu biasa digunakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah Plered, Kabupaten Cirebon. Sementara orang Cirebon biasanya menggunakan kata “duwe” yang dalam bahasa Indonesia berarti punya. Sedang dalam bahasa Jerman, “dake” berarti terima kasih.

Nah, terakhir, kalau Pak Jokowi mau menggenakan batik motif Keratonan, maka skor antara Pak Jokowi dengan Pak SBY jadi satu sama. Tetapi, kalau Pak Jokowi memesan batik dari saya, skor nya jadi 2-1 untuk Pak Jokowi.

*) Keterangan Gambar Utama: Batik Cirebonan: Ragam batik tulis motif Keratonan (Foto Dok. Penulis)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun