Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Benarkah Ada Agenda Depopulasi untuk Mengurangi Jumlah Manusia?

25 Mei 2022   21:29 Diperbarui: 26 Mei 2022   08:09 2906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar data kematian di dunia menurut Worldometers per 25 Mei 2022, pukul 12.03 WIB. (sumber: Worldometers.info)

Beberapa waktu lalu tersiar kabar bahwa penyakit hepatitis misterius itu tidak terkait dengan virus hepatitis "konvensional" seperti A, B, C, D dan E, melainkan dari adenovirus. Nah, informasi berkaitan dengan adenovirus pun meluas seraya mengaitkannya dengan vaksin COVID-19.

Alhasil, orang-orang yang telah disuntik dengan vaksin COVID-19 berbasis adenovirus pun menjadi cemas. Mereka yang belum mendapatkan vaksinasi atau pun booster jadi berpikir dua kali, atau mencari vaksin lain selain vaksin yang berbasis adenovirus.

Begitu kompleks dan masifnya pandemi COVID-19 ini, yang selain harus menghadapi dampak virus dan program vaksinasi yang penuh lika-liku, juga menghadapi tantangan misinformasi dan disinformasi di dunia maya yang beredar liar tak terkendali.

Hal ini semakin runyam ketika warganet justru memercayai informasi yang tidak jelas sumbernya itu. Bahkan terjadi perdebatan tak berarti yang tiada henti, yang membuat mereka saling membenci. Pandemi oh pandemi...

Kembali ke ide mengenai depopulasi, sebetulnya kalau memang ada rencana demikian mengapa rencana itu harus merepotkan banyak orang? Mengapa tim medis di rumah sakit harus repot merawat begitu banyak pasien COVID-19 sampai-sampai dibangun rumah sakit darurat? Mengapa orang harus repot memakai masker setiap hari? Mengapa orang harus repot memakai hand sanitizer kemana-mana?

Kalau memang rencana depopulasi itu eksis, mengapa pihak yang dituding itu justru membuat penyakit menular yang merepotkan banyak orang? Mengapa mereka tidak membuat suatu zat yang, misalnya, dapat mencegah kelahiran? Misal zat itu dimasukkan dalam kapsul suplemen atau obat-obatan tertentu, atau produk makanan minuman tertentu, dan sebagainya. Lebih praktis, kan?


Dengan demikian tim medis di rumah sakit tidak perlu repot membungkus jenazah yang terinfeksi virus COVID-19, pemerintah tidak perlu membuka lahan khusus untuk menguburkan jenazah dengan layak, menggali puluhan hingga ratusan liang kubur per hari agar semua jenazah bisa dimakamkan sesegera mungkin, dan seterusnya.

Kita ingat ketika varian Delta merebak pertengahan tahun 2021 lalu, kasus positif COVID-19 meroket. Kasus meninggal karena COVID-19 juga meningkat tajam, bahkan Indonesia sempat menjadi yang tertinggi di dunia.

Ide rencana depopulasi dengan metode penyebaran virus penyakit itu sebetulnya mengandung tanda tanya besar. Biaya dan resikonya begitu maha besar dan yang pasti bakal merepotkan pemerintah-pemerintah di dunia dan milyaran warga.

Bila rencana depopulasi itu ada, harus ada orkestrasi cantik yang sempurna agar rencana itu dapat berjalan lancar tanpa diketahui oleh orang-orang atau pun tercium media massa. Padahal sekarang ini semuanya serba terbuka dan transparan. Tidak ada yang bisa menyembunyikan agenda tersebut, yang bila memang ada pasti akan segera dideteksi.

Rasanya terlalu masif bila rencana itu eksis. Terlalu banyak sumber daya yang akan terkuras. Selama pandemi terjadi, biaya perawatan pasien yang bisa mencapai ratusan juta rupiah per pasien saja ditanggung oleh pemerintah. Bila memang ada agenda depopulasi, mengapa pemerintah rela menyediakan anggaran sangat besar untuk merawat warga yang sakit hingga mayoritas sembuh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun