Contoh lain, sebut saja Adi, seorang pegawai swasta yang juga seorang Youtuber memiliki hobi trail adventure bersama kelab motor trail-nya. Ia gemar membagikan kegiatannya di Youtube. Ia menggunakan action camera di helmnya. Sehari-hari ia tinggal sendiri di rumah warisan orang tuanya.
Untuk mendukung hobinya ini, Adi menyisihkan gaji bulanannya untuk membayar cicilan kredit motor trail, membeli action camera, membayar cicilan kredit laptop dengan spesifikasi yang mumpuni untuk keperluan video editing, membayar langgaan broadband internet dan lain-lain.
Adi menganggap barang-barang yang ia beli adalah investasi. Hampir setiap bulan ia mengikuti kegiatan petualangan atau trekking bersama kelabnya. Ia juga penghobi kuliner yang gemar berburu hingga pelosok. Video dokumentasi kegiatan berburu kulinernya juga ia bagikan di YouTube dan beberapa media sosialnya.
Ia secara berkala mengunggah videonya ke YouTube. Subcriber-nya secara bertahap meningkat dan video-videonya sudah ditonton jutaan kali. Karena akun Youtube-nya ia monetisasi, reward rupiah pun berhasil ia dulang meski tidak sebesar penghasilan rutinnya.
Adi merasa puas dapat memenuhi kualitas hidupnya. Ia bisa bekerja kantoran seperti biasa, tetapi hobi berpetualang dengan motor trail tetap tersalurkan. Demikian pula kegemarannya berburu kuliner. Ketrampilannya dalam membuat konten video juga semakin terasah.
Baik Fandi dan Adi adalah contoh yang dapat memenuhi kualitas hidupnya. Masing-masing memiliki gaya hidup mereka sendiri. Tetapi jika Fandi menilai gaya hidup Adi dan Adi menilai gaya hidup Fandi, maka bisa jadi Fandi akan merasa Adi memiliki gaya hidup yang boros. Ngapain beli motor trail kalau uangnya bisa dipakai untuk membeli sebidang tanah di desa?
Begitu pula Adi akan menilai membeli mobil pribadi itu pemborosan karena toh ada taksi atau transportasi online yang siap 24 jam mengantar penumpang. Membeli mobil artinya harus siap dengan konsekuensi biaya pemeliharaan atau servis rutin, pajak kendaraan tahunan, BBM dan lain-lain. Membeli rumah? Mungkin Adi akan menganggap pemborosan pula karena ia sudah punya rumah walaupun warisan dari kedua orang tuanya.
Coba Anda menilai gaya hidup teman dekat Anda dan teman dekat Anda menilai gaya hidup Anda, pasti akan ada minimal satu hal yang akan dinilai sebagai pemborosan. Hal ini karena setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda mengenai gaya hidup, termasuk cara pandang terhadap uang.
Ada tulisan tentang kualitas hidup atau quality of life dari Calman (1984) yang mengutarakan bahwa kualitas hidup hanya dapat dijelaskan dan diukur dalam konteks individual, dan tergantung pada gaya hidup saat ini, pengalaman masa lalu, harapan untuk masa depan, impian dan ambisi.
Jelas bahwa individu adalah yang paling tahu apa yang ia butuhkan dalam hidupnya, termasuk bagaimana gaya hidupnya hingga bagaimana ia dapat memenuhi kualitas hidupnya. Begitu juga dengan perilaku boros hanya bisa disadari oleh individu itu sendiri.
Yang penting jika memang sadar akan perilaku borosnya, ia tidak lantas merepotkan orang lain dengan, misalnya, meminjam sejumlah uang untuk membayar cicilan kartu kreditnya atau cicilan KPR atau KPA-nya. Benar-benar repot kalau sampai pada level ini.