Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Antara Mengejar Kualitas Hidup dan Perilaku Boros

8 Februari 2019   19:21 Diperbarui: 9 Februari 2019   05:13 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menghitung jumlah pengeluaran dan pemasukan. (sumber gambar: allamericanhc.com)

Ada sebuah artikel menarik dari BBC.com berjudul "Do money apps make us better or worse with our finances?" . Artikel ini mengenai pengendalian keuangan melalui aplikasi. Tujuannya adalah agar kita bisa mengetahui sekaligus mengendalikan pengeluaran kita.

Beberapa aplikasi yang diulas nampaknya menarik untuk dipakai. Ada satu fitur menarik dari salah satu aplikasi dimana aplikasi itu akan memberikan peringatan jika perilaku konsumtif kita tidak biasa. Perilaku konsumtif yang tidak biasa ini sepertinya sebelas dua belas dengan perilaku boros.

Berbicara mengenai perilaku boros biasanya berbanding lurus dengan gaya hidup konsumtif. Gaya hidup ini di sisi lain dapat memuaskan seseorang, namun di sisi lain dapat menjerumuskan kehidupan seseorang.

Ini terjadi apabila seseorang memaksakan gaya hidup konsumtif yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Bisa jadi karena gaya hidup, seseorang memiliki hutang kartu kredit yang besar. Bahkan membayar tagihan minimal saja tidak mampu.

Kondisi finansial masing-masing individu tidaklah sama. Mungkin ada diantara Anda yang setelah menerima gaji atau pendapatan langsung terpakai untuk membayar cicilan kartu kredit atau tagihan rutin yang menyisakan sekian nominal yang mepet untuk hidup sehari-hari. Banyak yang demikian, termasuk saya.

Atau mungkin Anda adalah seorang yang habis gajian langsung bersiap buat pelesir ke luar kota di akhir pekan. Tidak masalah karena toh masih lajang dan tinggal di rumah orang tua.

Atau mungkin ada yang bisa pelesir saban akhir pekan dan sama sekali tidak menjadi masalah. Gaji bulanannya habis tetap tenang. Bisa jadi ia memiliki bisnis sampingan yang omzetnya sudah lumayan stabil.

Sebagian lainnya hobi ngopi di kafe premium tujuh hari dalam seminggu untuk sekadar melepas penat sepulang kerja atau chit chat dengan kawan. Bagi fashionista mungkin ada yang selalu membeli barang-barang branded terbaru walau penghasilan bulanannya pas-pasan.

Wah kalau begitu, jangan-jangan Anda adalah pengikut aliran BPJS alias Bujet Pas-pasan Jiwa Sosialita. Hehe..

Menilai diri kita boros memang relatif. Pada dasarnya tidak ada standar tertentu yang mengkategorikan kita boros atau tidak boros. Bagi orang gajian, bila uang sudah menipis di pertengahan bulan, mungkin saja ada pemborosan di awal bulan. Tapi tidak bisa juga digeneralisasi bahwa ketika uang menipis tanda adanya pemborosan.

Kadang kita baru menyadari bahwa kita boros ketika gaji bulanan kita sudah menipis sebelum tanggal gajian berikutnya. Bila sudah begitu, kita mungkin akan mengingat-ingat atau mencatat barang atau jasa apa saja yang kita beli dalam beberapa hari terakhir yang membuat gajian seperti numpang lewat saja.

Tetapi kadang kita terlalu cepat menilai kita boros walau hanya membeli sebuah bantal baru untuk menggantikan bantal lama di rumah yang sudah kempis dan bau apek. Perasaan menyesal pun hinggap, mengapa membeli bantal baru sementara bantal lama meskipun apek masih bisa dipakai (padahal bisa jadi bakteri dan tungau sudah berkoloni dengan mapan di bantal lama).

Begini, barang atau jasa apapun yang kita belanjakan dengan uang kita (baca: income atau penghasilan kita) pada dasarnya adalah hak kita guna memenuhi kualitas hidup yang kita inginkan. Cara menebusnya bisa secara tunai atau kredit sepanjang sesuai dengan kemampuan.

Kualitas hidup antara individu satu dengan lainnya tidaklah sama karena setiap individu memiliki pandangan berbeda mengenai pemenuhan kualitas hidupnya sehingga sifatnya relatif. Uang, saat ini adalah alat tukar suatu kualitas hidup yang diinginkan oleh individu dimana kemampuan finansial masing-masing individu juga pasti berbeda.

Oleh karena itu, pemenuhan kualitas hidup seseorang seharusnya berangkat dari kebutuhan. Jika kebutuhan seseorang terpenuhi artinya ia telah mencapai kualitas hidup menurut versinya.

Jika keinginan untuk mencapai kualitas hidup belum tercapai karena, misalnya, belum memiliki cukup uang untuk mewujudkannya, tidak serta merta kualitas hidup tidak tercapai. Bisa dibilang, statusnya masih dalam proses.

Tetapi pemenuhan kualitas hidup seseorang juga mestinya realistis. Dari nilai gaji atau penghasilan rutin, seseorang dapat mengukur kemampuan finansialnya untuk mencapai kualitas hidup yang ia inginkan. Lalu bagaimana bersikap realistis?

Contoh, ada seseorang sebut saja Fandi, yang membeli rumah tipe 21 secara kredit di sebuah kompleks perumahan sederhana di pinggiran kota. Keputusannya membeli rumah tersebut berdasarkan alasan sederhana saja, ia membutuhkan tempat tinggal untuk keluarga kecilnya. Fandi memilih rumah tipe 21 karena profil keuangannya sesuai dengan harga rumah tipe 21.

Biasanya rumah tipe 21 hanya memiliki satu kamar. Tetapi secara bertahap, Fandi mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membangun satu kamar tambahan untuk sang buah hati yang kian tumbuh. Sekian tahun berlalu, rumah tinggalnya kini menjadi dua lantai.

Di rumahnya kini tersedia carport untuk satu unit mobil minivan yang ia beli secara kredit pula untuk keperluan ke kantor, mengantar anak-anak ke sekolah dan rekreasi keluarga.

Di rumahnya tersedia pula sebuah teras mini dan taman vertikal yang cukup indah, satu ruang tamu, satu ruang makan yang menjadi satu dengan dapur kecil, tiga kamar tidur dan dua kamar mandi di lantai satu dan dua, sebuah gudang kecil dan dak jemuran.

Secara bertahap selama sekian tahun lamanya Fandi membangun kualitas hidupnya dan ia merasa puas dengan pencapaiannya. Dulu ia bersama kedua orang tuanya kerap berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain lantaran orang tuanya tidak mampu membeli rumah tinggal. Ia bersikap realistis, secara bertahap ia berupaya memenuhi kualitas hidupnya dengan acuan penghasilan bulanannya.

Contoh lain, sebut saja Adi, seorang pegawai swasta yang juga seorang Youtuber memiliki hobi trail adventure bersama kelab motor trail-nya. Ia gemar membagikan kegiatannya di Youtube. Ia menggunakan action camera di helmnya. Sehari-hari ia tinggal sendiri di rumah warisan orang tuanya.

Untuk mendukung hobinya ini, Adi menyisihkan gaji bulanannya untuk membayar cicilan kredit motor trail, membeli action camera, membayar cicilan kredit laptop dengan spesifikasi yang mumpuni untuk keperluan video editing, membayar langgaan broadband internet dan lain-lain.

Adi menganggap barang-barang yang ia beli adalah investasi. Hampir setiap bulan ia mengikuti kegiatan petualangan atau trekking bersama kelabnya. Ia juga penghobi kuliner yang gemar berburu hingga pelosok. Video dokumentasi kegiatan berburu kulinernya juga ia bagikan di YouTube dan beberapa media sosialnya.

Ia secara berkala mengunggah videonya ke YouTube. Subcriber-nya secara bertahap meningkat dan video-videonya sudah ditonton jutaan kali. Karena akun Youtube-nya ia monetisasi, reward rupiah pun berhasil ia dulang meski tidak sebesar penghasilan rutinnya.

Adi merasa puas dapat memenuhi kualitas hidupnya. Ia bisa bekerja kantoran seperti biasa, tetapi hobi berpetualang dengan motor trail tetap tersalurkan. Demikian pula kegemarannya berburu kuliner. Ketrampilannya dalam membuat konten video juga semakin terasah.

Baik Fandi dan Adi adalah contoh yang dapat memenuhi kualitas hidupnya. Masing-masing memiliki gaya hidup mereka sendiri. Tetapi jika Fandi menilai gaya hidup Adi dan Adi menilai gaya hidup Fandi, maka bisa jadi Fandi akan merasa Adi memiliki gaya hidup yang boros. Ngapain beli motor trail kalau uangnya bisa dipakai untuk membeli sebidang tanah di desa?

Begitu pula Adi akan menilai membeli mobil pribadi itu pemborosan karena toh ada taksi atau transportasi online yang siap 24 jam mengantar penumpang. Membeli mobil artinya harus siap dengan konsekuensi biaya pemeliharaan atau servis rutin, pajak kendaraan tahunan, BBM dan lain-lain. Membeli rumah? Mungkin Adi akan menganggap pemborosan pula karena ia sudah punya rumah walaupun warisan dari kedua orang tuanya.

Coba Anda menilai gaya hidup teman dekat Anda dan teman dekat Anda menilai gaya hidup Anda, pasti akan ada minimal satu hal yang akan dinilai sebagai pemborosan. Hal ini karena setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda mengenai gaya hidup, termasuk cara pandang terhadap uang.

Ada tulisan tentang kualitas hidup atau quality of life dari Calman (1984) yang mengutarakan bahwa kualitas hidup hanya dapat dijelaskan dan diukur dalam konteks individual, dan tergantung pada gaya hidup saat ini, pengalaman masa lalu, harapan untuk masa depan, impian dan ambisi.

Jelas bahwa individu adalah yang paling tahu apa yang ia butuhkan dalam hidupnya, termasuk bagaimana gaya hidupnya hingga bagaimana ia dapat memenuhi kualitas hidupnya. Begitu juga dengan perilaku boros hanya bisa disadari oleh individu itu sendiri.

Yang penting jika memang sadar akan perilaku borosnya, ia tidak lantas merepotkan orang lain dengan, misalnya, meminjam sejumlah uang untuk membayar cicilan kartu kreditnya atau cicilan KPR atau KPA-nya. Benar-benar repot kalau sampai pada level ini.

Pendapat Calman lainnya kerap dikutip berbagai tulisan yang membahas tentang kualitas hidup yang disebut dengan Calman's Gap. Istilah ini pertama kali diutarakan oleh Calman pada tahun 1984 lewat artikelnya yang berjudul "Quality of life in cancer patients - an hypothesis"

Calman's Gap merupakan suatu pendekatan yang menunjukkan bahwa kualitas hidup mengukur perbedaan, atau gap / kesenjangan, pada periode waktu tertentu antara harapan dan keinginan individu dan pengalaman individu saat itu.

Istilah tersebut meskipun berangkat dari bidang kedokteran, kerap menjadi referensi artikel-ilmiah maupun populer di bidang kesehatan, ekonomi dan sosial. Hal ini karena pernyataannya bersifat universal.

Mengenai kualitas hidup sendiri, Cella & Tulsky dalam Dimsdale dalam Mahmudah (2015) memaparkan bahwa beberapa pendekatan fenomenologi dari kualitas hidup menekankan tentang pentingnya persepsi subyektif seseorang dalam memfungsikan kemampuan mereka sendiri dan membandingkannya dengan standar kemampuan internal yang mereka miliki agar dapat mewujudkan sesuatu menjadi lebih ideal dan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Baik sosok Fandi dan Adi yang merupakan contoh di atas adalah sosok individu yang mengenali apa saja hal ideal yang akan mereka capai untuk memenuhi kuaitas hidup yang mereka inginkan. Tentu saja disesuaikan dengan standar kemampuan internal mereka. Misalnya dalam membeli rumah, Fandi memilih rumah tipe 21 dan pembelian dilakukan secara KPR. Fandi juga membeli mobil dengan cara kredit. Begitu pula dengan Adi yang membeli motor trail-nya secara kredit.

Bila Fandi memasukkan elemen motor trail dalam kehidupannya, maka Fandi bisa menyebutnya sebagai pemborosan karena ia tidak membutuhkannya. Ia tidak memiliki hobi berpetualang memakai motor trail sebagaimana yang dilakukan oleh Adi.

Bila Fandi harus membelinya, anggap saja suatu hari ia mengenal Adi dengan baik dan ingin mencoba gaya hidup Adi, mungkin akan membeli sebuah motor trail secara kredit. Tindakan Fandi membeli motor trail ini memiliki sejumlah konsekuensi yaitu yang utama ada tambahan cicilan.

Lalu ia melakukan hal yang belum tentu ia suka. Mungkin pertama-tama ia menikmati namun karena bukan hobinya, ia tidak rutin berberpetualang. Hal ini karena jadwal akhir pekannya sering terkunci dengan jadwal rekreasi bersama keluarga kecilnya.

Pada akhirnya bisa jadi motor trail Fandi teronggok di gudang dan karena lama tidak dipakai akhirnya menjadi rusak. Benar-benar sebuah pemborosan yang hakiki yang pasti akan membuat murka sang istri.

Ini mirip dengan kebiasaan sebagian wanita yang kalap ketika ada diskon tas atau sepatu besar-besaran dimana mereka juga sebenarnya belum tentu memerlukan barang-barang tersebut.

Jadi agar tidak boros dalam mengejar kualitas hidup sebenarnya sederhana, yaitu dengan melihat kebutuhan. Rasanya irasional dan menyedihkan bila seseorang memutuskan memenuhi kualitas hidup tertentu namun secara tidak realistis. Sebenarnya ia tidak mampu karena tidak sesuai dengan penghasilannya.

Tetapi keputusan finansial terkait pemenuhan kualitas hidup adalah ranah individu karena kembali ke pendapat Calman tadi bahwa kualitas hidup hanya dapat dijelaskan dan diukur dalam konteks individual. Senang (baca: tercapai kualitas hidup) atau susah (baca: pemborosan di sana-sini, terlilit hutang) toh individu sendiri yang menikmati.

Jadi sebaiknya hindari kondisi perekonomian keluarga yang tambal sulam karena perilaku boros demi mengejar kualitas hidup yang tidak realistis. Apalagi sampai besar pasak daripada tiang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun