Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jadikan Perilaku Jujur sebagai "Personal Branding"

30 Agustus 2018   12:27 Diperbarui: 30 Agustus 2018   17:23 3058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: SHUTTERSTOCK

Beberapa hari lalu ketika menghadiri sebuah undangan, saya bertemu dengan salah seorang pensiunan dari sebuah perusahaan swasta. Kami mengobrol banyak hal, salah satunya tentang pengalamannya ketika masih bekerja di perusahaan itu. Sebagai orang yang lebih muda, saya merasa perlu menimba pengetahuan sebanyak-banyaknya dari para senior, apapun jabatannya.

Seseorang yang berbicara dengan saya itu -- sebut saja Pak A - memiliki posisi di bagian collector atau penagihan yang berada di bawah bagian keuangan. Setahu saya pekerjaan itu membuatnya kerap membawa uang tunai. Saya tahu karena dulu saya juga pernah bertugas menagih pembayaran ke klien.

Bagi sebagian orang pekerjaan itu riskan apalagi membawa uang banyak. Dulu saya merasa was-was ketika membawa uang di tas yang jumlahnya berlipat-lipat dari gaji bulanan saya. Saya merasa beberapa pasang mata menatap tas saya padahal itu hanya perasaan saya saja. Tapi sebenarnya saya.. Tunggu... Kok malah cerita tentang saya. Maaf kebiasaan saya suka ngalor-ngidul, harap maklum. Baiklah, kita kembali ke cerita Pak A.

Pak A punya prinsip bekerja dengan sebaik-baiknya dan profesional. Satu hal yang menjadi pedomannya dalam bekerja adalah kejujuran. Pak A selalu ingat pesan almarhumah sang istri bahwa bekerja itu harus jujur. Pesan sang istri tercinta itu ia resapi dalam-dalam ke hati. Terbukti ia dipercaya memegang tugas itu bertahun-tahun lamanya hingga ia pensiun dari perusahaan tersebut.

Buah dari kejujurannya itu berbuah manis. Perusahaan tempat Pak A bekerja pernah memberikan penghargaan kepadanya sebagai karyawan paling jujur. Untuk itu perusahaan tersebut memberikan hadiah beasiswa bagi putranya sejak SMA hingga lulus Sarjana.

Hadiah tersebut sangat berarti bagi Pak A yang sehari-hari hidup sederhana. Untuk membantu keuangan rumah tangga, almarhumah sang istri dulu pernah berjualan makanan di pasar. Kini kedua putranya telah lulus Sarjana dan telah bekerja di salah satu perusahaan yang produknya dikenal luas di Indonesia. Karir mereka juga terbilang sukses.

Nah, saya melihat kejujuran Pak A tersebut, baik beliau sadari atau tidak, merupakan personal branding dirinya. Perusahaan tempat beliau bekerja memiliki persepsi positif terhadap Pak A lewat kejujurannya. Bahkan mungkin juga puas dengan kinerjanya.

Personal branding pada dasarnya merupakan praktik pemasaran diri dan karir seseorang sebagai sebuah merek (Wikipedia). Meski mengusung kata "branding", personal branding bukan bermaksud memandang manusia sebagai merek.

Personal branding merupakan segala hal baik dan otentik yang nampak dari individu yang menimbulkan persepsi positif di mata orang lain atau institusi, yang mendorong orang lain atau institusi tersebut untuk memberikan respon yang positif pula.  

Perusahaan dan rekan kerja Pak A memiliki persepsi bahwa Pak A sebagai karyawan yang jujur sehingga mendorong perusahaan tempat ia bekerja tetap mempertahankannya bekerja di perusahaan tersebut hingga masa pensiun tiba. Perusahaan juga memberikan pengakuan dalam bentuk penghargaan sebagai karyawan paling jujur serta rewards berupa beasiswa untuk putranya.

Nilai kejujuran yang dianut Pak A ini kerap dipahami sebagai citra atau image. Pengertian mengenai citra sendiri pernah dikumpulkan oleh Kompasianer Armunanto Heri. Dari sejumlah pengertian tentang citra tersebut, saya dapat merangkumnya sebagai kesan yang muncul atau dimunculkan dari suatu individu atau institusi yang tertanam di benak pihak lain, yang menciptakan suatu reputasi individu atau institusi tersebut.

Citra bisa bersifat positif atau negatif. Segala hal yang dilakukan untuk membangun ataupun meruntuhkan citra lazim disebut dengan pencitraan. Pencitraan ini bisa diramu sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kesan positif atau negatif tergantung dari sisi mana memandangnya.

Personal branding dan pencitraan adalah dua hal yang nampaknya sama padahal sebenarnya berbeda. Pak A bekerja dengan jujur bukan karena ingin membentuk pencitraan tentang dirinya agar dinilai jujur, tetapi karena mungkin ia beranggapan bahwa nilai-nilai kejujuran akan membawa kebaikan bagi kehidupannya, kehidupan rekan kerjanya ataupun keberlangsungan perusahaan serta membawa pahala baginya.

Bagaimana jika Pak A termakan godaan dan menggunakan uang perusahaan untuk kesenangan pribadinya? Perusahaan pasti akan tergoncang, arus kas menjadi tidak lancar. Bisa-bisa gaji karyawan juga tersendat. Apalagi jika uang perusahaan yang ia salah gunakan nilainya sangat besar.

Kejujuran Pak A adalah personal branding beliau. Personal branding menitikberatkan pada sisi value atau nilai yang positif yang melekat pada diri seseorang. Nilai kejujuran yang ada pada diri Pak A sehari-hari dikenali dengan jelas oleh perusahaan tempat ia bekerja lewat perilakunya di kantor sehari-hari.

Saya hendak memberikan contoh lain. Dulu pernah punya teman seorang pegawai negeri sipil atau PNS di sebuah institusi pendidikan. Ia ternyata punya keahlian desain grafis. Jadi ia kerap menerima "orderan" dari kantornya untuk merancang poster, banner, apapun yang memerlukan jasanya untuk keperluan kantornya.

Nah, teman saya ini secara tidak sadar menciptakan personal branding keahliannya yaitu desain grafis yang ia kerjakan di sela-sela tugas rutinnya sehari-hari. Awalnya satu-dua rekan kantor yang tahu skill-nya, lama-lama tersebar hingga seluruh kantor. Jadi kalau kantornya hendak membuat sesuatu hal misalnya membuat poster, ia kerap ditunjuk untuk mengerjakannya. 

Nampak jelas perbedaan personal branding dan pencitraan. Pencitraan cenderung merupakan polesan terhadap sesuatu hal, penampilan atau perilaku sehingga menimbulkan kesan agar orang lain memandang seseorang atau institusi secara positif atau negatif. 

Oleh karena cenderung artifisial karena tidak melekat pada individu atau institusi atau tidak otentik, pencitraan sering hanya bersifat sementara hingga suatu tujuan tercapai.

Personal branding Pak A jelas sukses tanpa balutan pencitraan yang dibuat-buat. Bahkan ia juga tidak bilang-bilang ke teman-temannya sebagai orang yang jujur. Saya meyakini nilai kejujuran telah tertanam pada diri Pak A sejak lama meski almarhumah sang istri kerap mengingatkannya agar bekerja dengan penuh kejujuran. 

Akan halnya teman saya yang PNS tapi juga desain grafis itu, ia juga tidak heboh memberi tahu teman-temannya sekantor kalau ia bisa desain grafis. Teman-teman sekantornya tahu karena efek gethok tular alias word of mouth.

Mengenai pencitraan, lagi-lagi saya hendak membagikan cerita lama. Saya ingat beberapa tahun lalu saya pernah mendengar curhatan dari seorang teman yang merupakan petinggi di sebuah perusahaan. Salah seorang karyawannya yang dipercaya mengemban tugas di bagian penagihan ternyata melakukan perbuatan yang sangat merugikan perusahaan.

Karyawan tersebut, sebut saja Pak B, membawa lari uang perusahaan yang nilainya cukup besar hingga membuat perusahaan gusar. Pak B yang telah bekerja beberapa tahun di perusahan tersebut nampaknya tergoda dengan rupiah yang memenuhi tasnya setiap hari. Pak B menghilang tanpa kabar berita membuat perusahaan memberhentikannya.

Kejadian serupa juga pernah saya dengar dari seseorang yang bekerja di sebuah perusahaan berbentuk CV, kira-kira di tahun 2008 atau 2009 silam. Ada salah seorang karyawan, sebut saja Pak C, yang membawa lari uang gaji bulanan beberapa orang karyawan. Padahal Pak C baru beberapa minggu bekerja di perusahaan tersebut.

Pak C punya tugas khusus mengirim kebutuhan perusahaan sehari-hari serta memberikan gaji bulanan kepada karyawan secara tunai. Pemilik perusahaan memang berkantor dari rumah dan menitipkan uang gaji bulanan kepada Pak C untuk disampaikan kepada para karyawan. Waktu itu memang pemilik perusahaan tidak melakukan penggajian kepada karyawannya secara transfer antar bank.

Sebelum Pak C direkrut menjadi karyawan di perusahaan tersebut, pemilik perusahaan sebenarnya sudah cukup lama mengenalnya. Karena mungkin pemilik perusahaan menangkap kesan positif terhadap Pak C, ia menawarkan pekerjaan kepada Pak C untuk menggantikan seorang karyawan yang mengundurkan diri.

Ternyata kesan baik sang pemilik perusahaan terhadap Pak C seketika hancur setelah mengetahui perbuatan Pak C. Setelah kejadian tersebut, Pak C hilang bagai ditelan bumi. Nomor ponselnya mendadak tidak aktif. Sebenarnya mudah saja bagi pemilik perusahaan melacaknya ke daerah asalnya toh ia pasti memiliki KTP Pak C. Tetapi hal itu tidak dilakukan oleh pemilik perusahaan. 

Pemilik perusahaan terpaksa mengalokasikan uang ekstra untuk membayar gaji sejumlah karyawan yang uangnya dibawa lari Pak C. Jelas perusahaan mengalami kerugian cukup besar. Berkaca dari kejadian tersebut, pemilik perusahaan lalu menerapkan metode penggajian secara transfer ke rekening karyawan.

Nah, dari tiga cerita di atas kita dapat memahami perbedaan pencitraan dan personal branding. Citra positif yang nampak baik yang dibentuk Pak B membuatnya dapat bekerja di perusahaan dimana teman saya bekerja. 

Begitu pula citra positif Pak C membuat sang pemilik perusahaan kepincut ingin merekrutnya menjadi karyawannya. Tetapi belakangan terungkap bahwa citra itu sesungguhnya artifisial tanpa ketulusan. Ketika telah diangkat menjadi karyawan malah menunjukkan perilaku tidak jujur yang sangat kontradiktif dengan kesan awal.

Pencitraan cenderung temporer sementara personal branding mengandung value atau nilai yang selalu melekat pada individu. Oleh karena itu personal branding sifatnya lebih konsisten karena tersirat dalam hubungan profesional dan sosial dalam kehidupan pribadi individu. Personal branding menjadi semacam cerminan reputasi atau rekam jejak perilaku seseorang yang tampak jelas dalam kesehariannya.

Apa yang dilakukan Pak B dan Pak C itu merugikan perusahaan dan seluruh karyawan perusahaan yang mereka tinggalkan. Dampaknya bisa internal maupun eksternal. Jika eksternal, maka berpotensi mempengaruhi corporate branding, sebagaimana yang baru-baru ini menimpa Tokopedia dimana sejumlah Nakama (sebutan bagi karyawan Tokopedia) diberhentikan karena tidak dapat menjaga integritas perusahaan. (sumber)

Jadi, kejujuran dalam bekerja sangat penting. Oleh karena itu jika seseorang sudah memiliki nilai kejujuran yang tinggi, karakter itu perlu terekspos dalam personal branding. Ada perusahaan yang mencantumkan persyaratan "jujur" pada iklan lowongan pekerjaan perusahaan tersebut. Hal itu bukan semata-mata formalitas tetapi merupakan salah satu etika bisnis yang diusung oleh perusahaan tersebut dan calon pelamar kerja mesti mencantumkannya dalam CV atau resume-nya.

Walaupun perusahaan lain tidak terang-terangan mencantumkan persyaratan "jujur" dalam iklan lowongan pekerjaannya, saya yakin semua perusahaan pasti menghendaki karyawan yang memiliki nilai kejujuran dalam dirinya. Jika seorang karyawan memiliki skill mumpuni, cerdas, kreatif dan punya pengalaman kerja seabreg tapi ternyata tidak jujur dalam bekerja tentunya akan merugikan perusahaan, seperti yang dilakukan Pak B dan Pak C di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun