Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ketika "Environmental Quotient" Bisa Selamatkan Lingkungan

11 Juli 2018   13:30 Diperbarui: 12 Juli 2018   19:41 2439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto ilustrasi: zeenews.india.com

Faktor kecerdasan manusia selama ini bisa diketahui lewat metode penaksiran Intelligent Quotient atau IQ berdasarkan standar yang pertama kali dibuat oleh psikolog Jerman William Stern. Terdapat serangkaian tes terstandar dimana nilai setiap tes dihitung untuk mengetahui angka IQ-nya. Ada level jenius (di atas angka 140), sangat superior, superior hingga paling bawah adalah kelompok definite feeble-mindedness (di bawah angka 70) -- termasuk di sini moron dan idiot.

Mengikuti IQ, sejumlah quotient atau kecerdasan lainnya muncul. Berbeda dengan IQ yang ilmiah, istilah kecerdasan-kecerdasan yang muncul belakangan tidak memiliki sandaran ilmiah. Pun tidak ada standar baku untuk menilai kecerdasan-kecerdasan itu selain melihat sejumlah aspek atau syarat untuk memenuhinya. 

Kita mengenal misalnya Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosional untuk menakar sisi emosi individu terkait dengan hubungan sosial antar manusia di mana Daniel Goleman menjadi orang yang memperkenalkannya secara luas.

Ada pula Spiritual Quotient (SQ) untuk meraba tingkat kecerdasan spiritual individu dan Financial Quotient (FQ) atau Financial Inteligence untuk mengetahui tingkat kecerdasan mengelola keuangan. Serta sejumlah kecerdasan-kecerdasan lainnya. 

Nah, salah satu kecerdasan yang juga penting bagi manusia adalah kecerdasan lingkungan atau environment quotient. Referensi mengenai kecerdasan ini masih sangat minim. Namun menurut pendapat saya, kecerdasan ini penting karena kehidupan kita sehari-hari berkaitan langsung dengan Bumi yang kita tinggali.

Manusia hidup di Bumi, meyerap segala sumber dayanya untuk keberlangsungan hidupnya. Bumi dan seisinya telah menyejahterakan manusia, namun di sisi lain kondisi Bumi kian hari kian terancam akibat ulah manusia sendiri. Manusia mengeksploitasi alam tetapi secara bersamaan juga mendegradasinya.

Deforestasi hutan misalnya, dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tetapi di sisi lain keragaman hayati dan biodiversitas terancam. Keberlangsungan hidup satwa yang sebelumnya telah lama hidup di sana menjadi terusik bahkan terusir.

Manusia juga berperilaku kurang bersahabat terhadap alam dengan misalnya membuang sampah sembarangan di sungai yang menggerus ekosistem di sana. Penebangan pohon secara tidak terkendali menyebabkan bencana tanah longsor di sejumlah tempat. Udara penuh dengan polutan disebabkan efek samping teknologi temuan manusia.

Berkaca pada sejumlah potret degradasi lingkungan yang nyata terjadi di depan mata kita, apa yang harus dilakukan oleh manusia untuk mengurangi degradasi lingkungan atau bahkan membuatnya menjadi nol?

Jawabannya adalah dengan memiliki environmental quotient atau kecerdasan lingkungan. Lalu, bagaimana kita bisa memilikinya?

Menurut saya, kecerdasan lingkungan bukan tentang bagaimana kita bisa memilikinya. Ini adalah soal kemauan. Ya, sesederhana itu. Kemauan untuk enggan merusak lingkungan, kemauan untuk tidak mencemari atau mengotori alam.

Contoh paling utama adalah tentang sampah plastik. Berton-ton sampah plastik masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dimana-mana. Tidak hanya di TPA, coba Anda amati jalan yang Anda lewati sehari-hari, Anda pasti akan menemukan botol plastik bekas minuman ataupun plastik bekas kemasan makanan.

Bila kita memiliki kecerdasan lingkungan, ketika berbelanja di toko atau supermarket misalnya, kita bisa mengurangi sampah plastik dengan membawa tas belanja sendiri yang bisa dipakai berkali-kali. Jika banyak orang melakukan hal yang sama, volume sampah plastik dapat berkurang secara signifikan.

Gerakan tanpa kantong belanja plastik pernah didengungkan dan lumayan berhasil mengurangi volume sampah plastik. Gerakan itu masih ada hingga kini. Terakhir saya membaca gerakan ini sedang berjalan di propinsi Kalimantan Selatan.

Tentang sampah plastik, saya hendak sedikit menceritakan pengalaman saya. Beberapa waktu lalu saya bersama keluarga mengunjungi sebuah kebun binatang di Jawa Timur. Ada even menarik di sana yaitu naik gajah. Meski tiketnya dibandrol lumayan mahal, animo pengunjung sangat tinggi hingga mereka membentuk antrian yang cukup panjang.

Saya ikut senang menyaksikan anak-anak dan orang tuanya menaiki punggung gajah mengelilingi venue. Ada dua gajah jinak di sana. Namun di sisi lain ada hal yang membuat saya miris. Saya melihat salah satu gajah ketika berjalan belalainya mengais-ngais tanah untuk meraih makanan baik rumput, daun-daun ataupun makanan dari pengunjung.

Namun gajah itu malah mendapat sampah plastik bekas kemasan makanan. Kejadiannya begitu cepat hingga akhirnya selembar sampah plastik itu pun ia lahap. Terlambat, tidak ada yang sempat merebut sampah plastik itu dari belalai gajah. Bahkan meskipun salah satu petugas ada yang mengetahuinya, saat itu posisinya cukup jauh dari gajah sehingga tidak sempat bertindak. 

Saya merasa prihatin melihat itu. Seharusnya venue bersih dari segala sampah, terutama sampah non-organik. Gajah tidak tahu apa yang ia masukkan ke mulutnya. Adanya sampah itu karena perilaku seseorang yang membuang sampah secara sembarangan. Bila orang itu memiliki kecerdasan lingkungan, ia akan membuang sampah pada tempat sampah yang banyak tersedia di sekitar venue.

Masih tentang sampah plastik, baru-baru ini ada berita seekor paus pilot yang ditemukan meregang nyawa hingga akhirnya mati di kanal Na Thap, Thailand. Ketika dibedah, di dalam perutnya terdapat sekira delapan kilogram sampah plastik. Sama dengan gajah di atas, paus mengira itu adalah makanannya.

BBC pernah memproduksi sebuah film dokumenter berjudul Blue Planet 2. Salah seorang kru film itu mengatakan bahwa ia kerap menemukan berbagai bentuk plastik di lautan mulai senar pancing, bungkus permen hingga botol minuman.

Di sepanjang produksi film itu yang dilakukan di berbagai tempat, baik kru film dan ilmuwan melihat sampah-sampah plastik menjerat sejumlah tubuh hewan laut seperti penyu, burung albatros hingga hewan yang lebih besar seperti paus bungkuk, membuat mereka kesulitan bergerak hingga ada yang mati.

Sampah memang berpotensi menimbulkan masalah apapun bentuknya. Apalagi jika sampah tidak terkendali. Setiap hari berbagai macam sampah dihasilkan dari rumah tangga, kantor, industri, pasar, hingga pusat perbelanjaan. Salah satunya adalah sampah makanan.

Mengenai sampah makanan, ada data dari The Economist Intelligence Unit (EIU) yang dirilis tahun 2016 yang menyebutkan bahwa orang Indonesia menghasilkan sampah makanan hingga 300 kilogram per orang per tahun. Luar biasa, bukan? Indonesia ada di peringkat kedua setelah Saudi Arabia dengan volume 427 kilogram per orang per tahun. Amerika Serikat duduk di posisi ketiga dengan volume 277 kilogram per orang per tahun. (sumber data)

Dari kacamata energi, sampah makanan yang volumenya sangat besar itu jelas membuang energi karena sampah makanan itu sebelumnya adalah makanan yang dimasak menggunakan bahan bakar misalnya gas. Bayangkan berapa meter kubik gas yang terbuang percuma?

Lalu penghalusan bumbu dilakukan dengan blender yang memerlukan listrik. Makanan yang direbus memerlukan air. Makanan yang digoreng memerlukan minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit. Dapat Anda bayangkan berapa besar sumber daya yang terbuang sia-sia hanya karena perilaku sebagian orang Indonesia yang membuang makanan.

Sering saya lihat di food court atau restoran, ada suatu keluarga memesan sejumlah makanan dan minuman yang cukup banyak namun tidak mampu menghabiskannya. Bahkan ada item makanan yang masih utuh tak tersentuh.  Makanan itu otomatis menjadi sampah karena tidak mungkin bisa diolah kembali dan oleh karena itu harus dibuang.

Jika kita memiliki kecerdasan lingkungan, ketika membeli makanan di food court misalnya, Anda bisa pesan atau mengambil secukupnya dan menghabiskannya tanpa tersisa. Karena jika ada sisa, lagi-lagi kantong plastik akan digunakan untuk menampung sampah makanan itu. Dua jenis sampah baru tercipta seketika: sampah makanan dan kantong plastik penampung sampah makanan itu.

Ketika berkendara di jalan raya, saya juga tidak satu dua kali melihat pengendara lain membuang sampah dengan seenaknya baik tisu bekas maupun botol plastik bekas minuman. Hal ini selain mengotori jalan, juga berpotensi mengganggu pengendara lainnya.

Saya pernah beberapa kali melihat orang dengan santainya membuang sampah ke sungai. Suatu kali ketika berkendara, saya melihat sepasang suami istri yang mengendarai motor berjalan perlahan di tepi jembatan dan melemparkan sebuah bungkusan plastik lumayan besar ke sungai dengan cepatnya dan segera tancap gas.

Jika Anda mendaki gunung, ada kewajiban untuk memungut kembali sampah-sampah pribadi ke dalam tas. Anda bisa membawa kantong khusus di ransel Anda untuk menampung sampah-sampah pribadi Anda. Tidak mungkin para pendaki naik gunung tanpa perbekalan dan perbekalan mereka pastinya berkemasan plastik atau kertas.

Di Gunung Semeru, misalnya, kalau seseorang kedapatan tidak membawa sampah bisa dihukum kembali ke gunung untuk mengambil sampah-sampahnya. Di sana ada denda sekira 1,4 juta rupiah per 0,9 kilogram bagi pendaki yang tidak membawa sampahnya turun.

Meski begitu, kadang denda itu diprotes oleh sejumlah pendaki yang telah merogoh kocek hingga miliaran rupiah untuk mendaki Everest.

Selain denda, ada sistem pengenaan deposit sebesar 56 juta rupiah  bagi para pendaki yang akan dikembalikan jika pendaki membawa kembali sampah dari perbekalan yang mereka bawa dengan berat sampah setidaknya 8,1 kilogram.

Nampaknya sebagaian orang memandang lingkungan secara sederhana. Padahal perlahan terjadi degradasi lingkungan di sekitar kita jika kita tidak mengurangi atau menghentikan perilaku yang merugikan alam.

Sekali lagi, kecerdasan lingkungan adalah soal kemauan. Ini bisa dimulai dari keluarga. Orang tua memberi teladan kepada anak-anaknya, misalnya mengendalikan penggunaan plastik untuk berbagai keperluan terutama minuman atau makanan, atau melakukan penghijauan di rumah atau di sekolah.

Hemat menggunakan listrik juga salah satu kecerdasan lingkungan dan bisa ditularkan ke setiap anggota keluarga di rumah. Juga hemat dalam menggunakan air untuk mandi atau mencuci pakaian, misalnya. Penggunaan deterjen untuk mencuci pakaian sebenarnya berpotensi mendegradasi kualitas air sungai. Oleh karena itu perlu mengendalikan penggunaannya dan tidak berlebihan.

Jadi menurut saya kecerdasan lingkungan tidak akan tumbuh jika tidak ada kemauan dan tindakan. Masing-masing dari kita dapat mulai bergerak dengan langkah kecil. Misalkan melakukan penghematan penggunaan energi di rumah masing-masing atau membuang sampah hanya di tempat sampah.

Dengan satu langkah kecil yang dilakukan serentak oleh setiap manusia di dunia saja dapat memberi dampak besar, apalagi jika langkah itu semakin meluas ke aspek lainnya. Bumi dapat terselamatkan, hingga anak cucu kita kelak masih dapat melihat indahnya Bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun