Mohon tunggu...
christian Andre Tuwo
christian Andre Tuwo Mohon Tunggu... -

Guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meniru Budaya Baca Orang Jepang

1 Desember 2012   03:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:23 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh Andre Tuwo

Jika ingin mengetahui negara mana yang penduduknya paling gemar membaca tentu kita tidak bisa melupakan Jepang.Menurut data, rata-rata pembaca koran di Jepang adalah 1:2 sampai 1:3, artinya tiap dua atau tiga penduduk Jepang satu diantaranya membaca koran.(Ben S Galus,2011). Kegemaran membaca orang Jepang dapat dibuktikan dengan melihat apa yang dilakukan orang Jepang di kereta api, taman, ruang tunggu bahkan di jalanan, tidak jarang kita akan melihat orang yang lagi asyik membaca entah buku, koran, komik, atau majalah tanpa memedulikan orang disekitarnya. Ya itulah keunikan orang Jepang yang telah menjadikan membaca sebagai budaya.Kegemaran membaca merupakan salah satu kunci sukses orang Jepang.

Bagaimana dengan Indonesia?Jika dilihat dari perspektif historis kita perlu berbangga karena pengenalan kita akan tulisan kesusasteraan bisa dikatakan berbarengan dengan  Jepang yakni abad 11 masehi. Pada periode Jepang klasik (794-1185) di zaman Heian merupakan puncak kejayaan istana kekaisaran dibidang puisi dan sastra.Awal abad 11 Murasaki Shikibu menulis novel hikayat genji yang konon merupakan novel tertua di dunia. (sumber Wikipedia).

Di Nusantara sebutan Indonesia pada masa itu juga telah berdiri kerajaan Kediri yang terkenal dengan rajanya yang bernama Jayabaya dengan ramalannya dalam kitab Jongko Joyoboyo tentang ratu adil yang akan memerintah Indonesia. Pada masa kerajaan inilah kebudayaan berkembang pesat terutama dalam bidang sastra.Sebut saja Krisnayana, Bharatayuda karya empuh Sedah dan empuh Panuluh tahun 1157, ArjunaWiwaha karya empuh Kanwa, dan Hariwangsa karya empuh Panuluh.(I WayanBadrika 2006:35) jika pada waktu itu dua wilayah tersebut sudah ada karya sastra hebat untuk zamannya, berarti bisa disimpulkan bahwa kedua masyarakat tersebut sudah memiliki kebiasaan membaca.

Menulis dan membaca bagaikan dua sisi uang logam yang tidak mungkin dipisahkan.Membaca menghasilkan imajinasi untuk selanjutnya dituangkan dalam tulisan.Jadi membaca merupakan amunisi dari seorang penulis.Jepang sendiri setelah restorasi Meiji (1868) telah mengalami kemajuan dalam berbagai bidang termasuk bidang pendidikan.Itulah titik tolak kemajuan Jepang sampai sekarang yang juga dipengaruhi oleh kegemaran membaca dari masyarakatnya.

Perlu diketahui bahwa tingkat melek huruf di Jepang mencapai 99 % sedangkan Indonesia 65,5 % (UNDP, Human Report 2000). Memang data ini mungkin sudah tidak valid lagi karena diambil dua belas tahun lalu.Namun yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah kita harus lebih banyak belajar dari Jepang mengenai budaya membaca. Kita sebenarnya bisa melakukan itu dengan cara mulai mengembangkan perpustakaan di desa-desa. Mengapa di desa?Karena akses anak-anak desa untuk mendapatkan buku bisa dikatakan kurang atau tidak ada sama sekali. Jangankan akses ke perpustakaan, ke sekolah saja sudah merupakan hal yang sulit bagi kebanyakan anak-anak kita, masih kita melihat di layar televisi anak-anak kita harus menyeberangi sungai dan jembatan rusak sehingga mempertaruhkan nyawa mereka.

Tidaklah heran media asing beberapa waktu lalu menjuluki anak-anak kita yang hendak ke sekolah sebagai “Indiana Jones” sebuah film petualangan yang miripdengan anak-anak kita menyeberangi sungai dan jembatan untuk mencapai sekolah.Sesampainya di sekolah belum tentu mereka bisa membaca buku di perpustakaan, dengan alasan tidak ada buku berkualitas untuk anak, atau perpustakaannya tidak dikelola dengan baik sehingga terkesan menyeramkan bagi anak-anak, atau di sekolah tersebut samasekali tidak memiliki perpustakaan.

Menurut data Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengungkapkan bahwa hanya 1 % dari 260.000 SD Negeri yang memiliki perpustakaan.Padahal UU no 2 pasal 35 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap sekolah diwajibkan memiliki perpustakaan.(Narotama Library, July 2012). Itulah sebabnya perlu dibuat perpustakaan desa yang didanai oleh pemerintahatau LSM yang peduli dengan pendidikan.

Kalau pemerintah memiliki program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) pedesaan yang banyak berfokus pada sarana fisik desa, bagaimana kalau dibuat juga program miripseperti itu yang berfokus pada pembuatan perpustakaan di setiapdesa? Sejarawan Inggris Thomas Carlyle pernah berkata bahwa universitas sejati adalah kumpulan buku-buku.Bayangkan apabila seluruh anak  Indonesia bisa mengakses buku melalui perpustakaan di desa mereka, tak menutup kemungkinan 50 tahun lagi ramalan Jayabaya tentang akan datangnya ratu adil yang akan mensejahterakan Indonesia bisa terwujud.

Kemajuan sebuah bangsa seperti Jepang salah satunya ditentukan oleh budaya baca yang sangat tinggi oleh masyarakatnya.Jepang yang sempat terpuruk pada Perang Dunia II berhasil bangkit menjadi salah satu raksasa Asia dan Dunia. Kita pun bisa berharap yang sama di mana “ratuadil” yang akan memajukan Indonesia nanti akan berasal dari generasi yang gemar membaca mulai dari sekarang. Jadi ayo membaca karena anda adalah apa yang anda baca.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun