Tiga, proses penulisan ulang sejarah Indonesia saat ini dilakukan tidak transparan. Publik tak tahu bagaimana proses itu dilakukan, dan sejauh mana penyelesaiannya.
Empat, salah satu yang akan ditulis ulang adalah terkait peristiwa sejarah, khususnya durasi waktu penjajahan Belanda di Indonesia. Penulisan ulang ini ada yang mencurigai hanyalah upaya de-soekarnoisasi, atau semata hendak mengoreksi pernyataan Proklamator Bung Karno saja.
Meskipun, pemerintah punya alasan tersendiri sekaligus berharap terbentuk narasi sejarah yang lebih akurat dan inklusif, serta mencerminkan semangat perlawanan dan keberagaman pengalaman masyarakat Indonesia selama masa penjajahan.
Perhatikan istilah yang digunakan, yaitu "lebih akurat". Apakah ini klaim pembenaran bahwa sejarah Indonesia ada yang "kurang akurat", sehingga menjadi dasar alasan untuk penulisan ulang sejarah bangsa?
Lima, target penyelesaian penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan itu terlalu ambisius, bahkan disebutkan sebelum 17 Agustus 2025 atau jelang Dirgahayu HUT ke-80 Republik Indonesia.
Mengapa harus terburu-buru, sementara publik juga tidak pernah diberitahu, bagaimana mekanisme proyek penulisan ulang sejarah itu dikerjakan.
Memperbarui Narasi Sejarah Nasional
Sebelumnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan, proyek besar penulisan ulang sejarah Indonesia bertujuan memperbarui narasi sejarah nasional.
Ada dua fokus penulisan ulang sejarah yang mengemuka sejauh ini. Yaitu, pertama, narasi Penjajahan dan Perlawanan. Fokus utama revisi ini adalah mengkaji ulang klaim bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun.
Fadli menyatakan, narasi tersebut terlalu menyederhanakan kenyataan sejarah, karena tidak semua wilayah di Indonesia berada dibawah kekuasaan Belanda secara serentak dan terus-menerus selama periode tersebut. Sebaliknya, banyak daerah yang melakukan perlawanan aktif terhadap penjajahan, seperti Aceh, Sumatera Barat, dan dalam Perang Diponegoro di Jawa.
Pendekatan baru ini didukung Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), Agus Mulyana, yang menekankan bahwa kolonisasi oleh Belanda terjadi secara bertahap dan tidak seragam di seluruh wilayah nusantara. Oleh karena itu, narasi sejarah perlu direvisi untuk mencerminkan kompleksitas dan keberagaman pengalaman penjajahan di berbagai daerah.
Menteri Kebudayan mengatakan penulisan ulang sejarah yang sedang digodok akan turut mengubah terkait sejarah penjajahan Indonesia oleh Belanda yang kerap disebut selama 350 tahun.