Penulisan ulang sejarah Indonesia yang sedang digarap Kementerian Kebudayaan mendapat penolakan. Akankah program yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon itu bakal zonk alias gagal atau tak sesuai harapan?
Adalah Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) yang kemarin (Senin, 19 Mei 2025) beraudiensi dengan Komisi X DPR. AKSI terdiri dari sejarawan, aktivis HAM, tokoh masyarakat, dan akademisi dari berbagai disiplin ilmu.
Ketua AKSI, Marzuki Darusman menjelaskan, penulisan 'sejarah resmi' negara lewat tangan pemerintah bukan hanya tidak lazim dalam sistem demokrasi, tapi juga berpotensi menghilangkan fakta-fakta sejarah masa lalu. Khususnya, pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lalu.
"Yang paling berbahaya adalah, proyek (penulisan ulang sejarah Indonesia) ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba dimana pelanggaran HAM berat masif terjadi," khawatir mantan anggota Komnas HAM itu dikutip amnesty.id.
Penulisan sejarah resmi oleh negara seperti ini hanya lazim terjadi di negara otoriter. Proyek politik pemerintah Indonesia ini mirip dengan langkah Adolf Hitler yang saat itu berupaya menuliskan kembali sejarah Perang Dunia I.
Dalam era demokrasi, contoh teranyar manipulasi sejarah oleh negara terjadi di Korea Selatan. Pada 2015 Presiden Park Geun-hye, yang merupakan anak dari diktator Park Chung-hee, berupaya untuk menulis ulang buku sejarah. Namun, gerakan penolakan yang masif dari masyarakat berhasil menggagalkan upaya manipulasi sejarah tersebut.
"Ini yang sedang kami lakukan di Indonesia, menolak erosi demokrasi lewat penggelapan sejarah yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Hanya rezim berkarakter otoriter yang mencoba menuliskan ulang sejarah dengan label 'sejarah resmi," tegas mantan Jaksa Agung (1999-2001) ini.
Penulisan ulang sejarah oleh pemerintah ini, katanya lagi, seolah menulis memoar tapi sebelum berakhirnya masa kerja.
Manifesto AKSI
AKSI pun merilis manifesto penolakan proyek penulisan sejarah resmi Indonesia. Ada lima pemikiran didalamnya.
Pertama, pernyataan Kementerian Kebudayaan tentang rencana penulisan sejarah Indonesia dinilai sebagai kehendak sadar untuk melaksanakan proyek masif berupa rekayasa masa lalu dengan tafsir tunggal.