Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Selamat, "Gimme Five" Koran Kompas!

24 Mei 2020   15:24 Diperbarui: 25 Mei 2020   05:48 1522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arsip Koran Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987. (Foto: Gapey Sandy)

Kasih selamat dulu buat Harian Kompas. Di usianya yang ke-55 pada tahun ini, Kompas berhasil masuk dalam jajaran 200 surat kabar elite atau papan atas dunia. Peringkat itu dirilis oleh portal "4 International Media & Newspapers" atau "4imn.com".

Kompas yang dirintis oleh duo maestro pers, P.K. Ojong (1920-1980) dan Jakob Oetama, terbit perdana pada 28 Juni 1965. Itulah mengapa tanggal itu dipilih sebagai hari ulang tahunnya.

Angka 5, bermakna sekali bagi Kompas tahun ini. Ulang tahun yang ke-55. Lalu, menempati peringkat ke-5 dari Top 200 surat kabar sedunia. Luar biasa! Mungkin slogan ulang tahunnya untuk tahun ini kalau boleh saya usul: "Gimme Five, Kompas!" Bahasa slang Amerika ini maksudnya, "Tos, Kompas!"

Yup, nangkring di urutan ke-5 dunia. Tos atau "gimme five" buat Kompas. Keren.

Oh ya, Kompas meninggalkan jauuuuhhhhh banget dua surat kabar nasional lainnya, yang juga masuk dalam jajaran Top 200 tadi. Yaitu Koran Tempo (peringkat ke-131) dan The Jakarta Post (peringkat ke-180).

Koran Tempo lahir pada 2001, sedangkan The Jakarta Post terbit perdana pada 25 April 1983. Kalau dilihat hasil peringkat, tentu cukup mengejutkan bila Koran Tempo sanggup "melipat" The Jakarta Post yang usianya lebih tua.

Tapi, secara apple-to-apple tentu tak bisa dibandingkan dua surat kabar ini, karena produknya beda sejak lahir. Yang satu berbahasa Indonesia, satu lagi berbahasa Inggris. Artinya, tetap prestasi membanggakanlah buat Koran Tempo dan The Jakarta Post. Selamat!

Arsip Koran Kompas edisi Minggu (11 Januari 1987) memuat foto di halaman muka Pangab/Pangkopkamtib Jenderal LB Moerdani. (Foto: Gapey Sandy)
Arsip Koran Kompas edisi Minggu (11 Januari 1987) memuat foto di halaman muka Pangab/Pangkopkamtib Jenderal LB Moerdani. (Foto: Gapey Sandy)

Bagaimana portal 4imn.com menempatkan Kompas di ranking ke-5 itu? Portal direktori internasional dan mesin pencari surat kabar di seluruh dunia ini memang rutin melakukan pemeringkatan berdasarkan popularitas website terhadap 7.000 surat kabar di 200 negara.

Pemeringkatan ini didasarkan pada algoritma dari empat web metrik yang netral dan independen. Apalagi kalau bukan Google Page Rank, Alexa Traffic Rank, Majestic Seo Referring Subnets, dan Mejestic Seo Trust Flow.

Dari empat web metrik itulah, 4imn.com melakukan penyaringan dan peninjauan -- filtered (outliers) and reviewed (subdomains) --, penilaian berdasarkan algoritma, dan kemudian pemeringkatan.

Terus, apa tujuan pemeringkatan surat kabar ini? Menurut 4imn.com, tujuannya memberikan perkiraan-perkiraan popularitas surat kabar di seluruh dunia berdasarkan popularitas situs web mereka. Hal itu, diyakini bisa membantu pembaca internasional dan profesional media atau Public Relation untuk memahami seberapa populer surat kabar tertentu di mancanegara.

Arsip Koran Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987. Tayangan Si Unyil tiap Minggu jam 8 pagi di TVRI. (Foto: Gapey Sandy)
Arsip Koran Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987. Tayangan Si Unyil tiap Minggu jam 8 pagi di TVRI. (Foto: Gapey Sandy)
Tapi tunggu dulu. Ada yang perlu diperhatikan dari klaim 4imn.com. Yaitu, "mereka tidak -- dengan cara apa pun -- mengklaim peringkat surat kabar berdasarkan kualitas upaya atau reputasi jurnalistik surat kabar-surat kabar tadi."

Artinya, urusan kualitas dan reputasi jurnalistik, masih boleh diadu-gengsi. Misalnya, antara Kompas versus Koran Tempo. Atau, Kompas versus The Jakarta Post. Juga, The Jakarta Post versus Koran Tempo.

Hanya saja, orang masih tetap bisa memperdebatkan: "Tidak mungkin popularitas level dunia diraih, tanpa didasari pada kualitas upaya atau reputasi jurnalistik surat kabar yang bersangkutan".

Makanya, tetap amazing-lah bila Kompas berada di posisi ke-5, sesudah The Daily Mail (ranking ke-4), The Washington Post (ranking ke-3), The Guardian (ranking ke-2), dan The New York Times (ranking ke-1).

Susunan Redaksi Koran Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987. (Foto: Gapey Sandy) 
Susunan Redaksi Koran Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987. (Foto: Gapey Sandy) 

Saya enggak tahu surat kabar Jawa Pos berada di peringkat berapa pada rilis 4imn.com itu. Saya juga tak mau membanding-bandingkan koran. Apalagi tahun ini, Jawa Pos berusia 71 tahun. Koran ini didirikan The Chung Sen pada 1 Juli 1949. Tempo doeloe, namanya "Djava-Post".

Dahlan Iskan, menjadi pengendalinya pada 1982. Kata wikipedia, Dahlan mampu menaikkan tiras dari koran hampir mati dengan 6.000 eksemplar, menjadi 300.000 eksemplar hanya dalam lima tahun. Salut!

Lalu, 38 tahun kemudian, Dahlan Iskan mulai menjadikan Jakob Oetama sebagai pesaing. Kompetitor.

Melalui blog-nya, Dahlan sempat menulis "kegerahannya" terhadap Jakob Oetama. Dan, sudah tentu, Kompas. Sampai-sampai ia tak mau, wartawan-wartawan baru Jawa Pos mencontoh gaya penulisan Kompas.

"Tentu saya tidak suka semua itu. Kalau hanya mengikuti Kompas, selamanya hanya akan menjadi ekornya. Tidak akan bisa menjajarinya. Karena itu, saya mengambil jalan yang sangat berbeda. Bukan dari ibu kota menguasai nusantara, tapi dari nusantara menguasai Indonesia. Di bidang jurnalistik juga harus berbeda. Jawa Pos memilih jurnalistik bertutur. Untuk wartawan baru saya langsung mencekokkan doktrin “jangan ketularan penyakit Kompas.”

Fitria Elvy Sukaesih dimuat di Koran Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987. (Foto: Gapey Sandy)
Fitria Elvy Sukaesih dimuat di Koran Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987. (Foto: Gapey Sandy)

Seirama Zaman
Mengomentari raihan prestasi "The Best Five in The World" itu, Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, selama lebih dari setengah abad, Kompas terus berupaya mengikuti perkembangan zaman. Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama berkali-kali mengungkapkan perlunya mengantisipasi perkembangan digital.

Kompas mengikuti dengan saksama perkembangan digital dan bahkan mengikuti perkembangan digital dengan melahirkan portal Kompas.com pada 14 September 1995 dan Kompas.id pada 2017.

”Keduanya merupakan ekstensa dari harian Kompas. Di tengah merebaknya hoaks atau berita palsu, Kompas menawarkan jurnalisme berkedalaman,” katanya di sini.

Sah-sah saja Budiman menyebut keberhasilan Kompas (baca: Jakob Oetama) mengikuti perkembangan zaman dengan mengantisipasi perkembangan digital. 

Kompasiana.com, yang sedang sidang pembaca buka saat ini merupakan salah satu buah antisipasi perkembangan digital itu. Salah satu saksi hidupnya masih ada, Pepih Nugraha. Ngopi-ngopilah sana sama "Kang Peps", suruh "sang begawan" itu bertutur tentang Kompasiana ketika itu. Termasuk, bagaimana ia membesarkannya.

By the way, klik ya akun saya di Kompasiana.

Aktris Ninik L. Karim dimuat di Koran Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987.  (Foto: Gapey Sandy) 
Aktris Ninik L. Karim dimuat di Koran Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987.  (Foto: Gapey Sandy) 

Jurnalisme Kepiting
Salah satu strategi Kompas bisa bertahan dari berbagai tekanan dan kepentingan penguasa, karena menerapkan jurnalisme maju-mundur. Alias, jurnalisme kepiting.

Istilah itu diperkenalkan wartawan senior - jurnalis tiga zaman Rosihan Anwar. Bukan pujian. Tapi justru "ejekan" karena sikap Kompas yang terlalu berhati-hati dalam menulis berita terkait Orde Baru.

Kepiting! Satu kakinya di penguasa. Kaki lain di rakyat. Begitu "nyinyiran" terhadap pilihan sikap redaksi Kompas. Kalau aman, kaki kepiting terus maju. Tapi kalau sudah "lampu kuning" maka kepiting jalannya mundur.

Anett Keller (2009) menulis "Tantangan Dari Dalam, Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika" yang diterbitkan Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia Office.

Hasil penelitian Keller tentang Kompas, dibuka dengan kutipan David T. Hill. Seorang pakar kajian Asia dengan spesialisasi tentang kajian Media di Indonesia.

Kompas dibaca terutama oleh kalangan elite Indonesia dan memelihara (seperti dulu) gaya bahasa yang seimbang dan hati-hati. Gaya seperti ini pernah dikatakan Benedict Anderson sebagai “kebosanan yang terawat” (Hill 1995:84).

Pemilik Kompas Jakob Oetama menggambarkan kehatihatian khas Kompas sebagai berikut: “Mau tidak mau kita melaksanakan semacam sensor, semacam rem, ya apa boleh buat. Sehingga kita diejek: ‘Jurnalisme Kepiting’. Saya memang bilang sama teman-teman (wartawan) ‘kita tulis, tulis, tulis, makin naik dan naik, dan makin berani, ada sinyal kuning (bahaya), kita mundur. Kita diejek seperti seekor kepiting, maju dan mundur. Cuma bagi saya, mundur itu untuk maju lagi. Itu soal pilihan. Saya kalau dikritik juga tidak apa-apa. Memang itu kenyataannya.”

Begitulah "Kepiting", yang akhirnya sanggup menempati posisi mentereng, lima besar surat kabar papan atas dunia!

Sebagian aktivis UKM Pers Mahasiswa ASPIRASI UPN Veteran Jakarta era 80-90'an. (Foto: ASP/Catur Prasetyo)
Sebagian aktivis UKM Pers Mahasiswa ASPIRASI UPN Veteran Jakarta era 80-90'an. (Foto: ASP/Catur Prasetyo)

Filosofi "kepiting" yang maju mundur, akhirnya tak jauh beda dengan sebagian strategi Pers Mahasiswa era '80-an akhir. Lembaga Pers Mahasiswa ASPIRASI di UPN Veteran Jakarta yang saya geluti juga sempat menerapkan jurnalisme maju-mundur, mirip "Kepiting ala Kompas" itu.

Tapi waktu itu kita lebih suka menyebut "Jurnalisme Roti dan Besi". Artinya, saat aktivis Pers Mahasiswa ingin "menjewer" (mengoreksi) kebijakan rektor dan jajarannya maka diterapkan "Jurnalisme Kasih Besi"

Besi berkonotasi sebagai "alat pemukul", media/majalah kampus menjadi besi untuk mengkritik berbagai kebijakan pimpinan kampus. Beresiko? Pasti! Bolak-balik ditegur Purek III bidang Kemahasiswaan itu sudah biasa.

Tapi, tidak selamanya Pers Mahasiswa menerapkan "Jurnalisme Kasih Besi". Sesekali mundur seperti gaya kepiting, dan menerapkan "Jurnalisme Kasih Roti". Artinya, berdamai dengan pihak pimpinan kampus. Sama seperti Jakob Oetama yang berdamai dengan penguasa Orde Baru.

Berdamai itu, cuma sekadar strategi. Bagi Jakob Oetama, karena ia tak mau Kompas mati dan "menyengsarakan" ribuan karyawannya. Kalau Kompas mati, tak ada lagi alat perjuangan itu. Sedangkan bagi kami di Pers Mahasiswa, ya karena dana penerbitan media/majalah kampus masih disubsidi oleh pihak kampus. 

Galak sedikit terhadap pimpinan kampus, sudah pasti risikonya berujung pada sumber anggaran Unit Kegiatan Mahasiswa Pers Mahasiswa itu. Sama sebenarnya, kalau majalah kampus mati, tak ada lagi alat perjuangan membela idealisme mahasiswa itu.
Sekali lagi, SELAMAT. "Gimme Five, Kompas!"

PEMILU 1987 Daftar Nama Caleg dari Tiga Partai. Arsip Koran Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987. (Foto: Gapey Sandy)
PEMILU 1987 Daftar Nama Caleg dari Tiga Partai. Arsip Koran Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987. (Foto: Gapey Sandy)
Oh ya, foto-foto di artikel ini saya sertakan foto arsip milik saya, Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987. Bahkan sosok dan wajah artis Ninik L. Karim pun masih muda banget. Begitu juga Fitria Elvy Sukaesih di rubrik NAMA & PERISTIWA halaman VII.  (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun