Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Selamat, "Gimme Five" Koran Kompas!

24 Mei 2020   15:24 Diperbarui: 25 Mei 2020   05:48 1522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arsip Koran Kompas edisi Minggu, 11 Januari 1987. (Foto: Gapey Sandy)

Kepiting! Satu kakinya di penguasa. Kaki lain di rakyat. Begitu "nyinyiran" terhadap pilihan sikap redaksi Kompas. Kalau aman, kaki kepiting terus maju. Tapi kalau sudah "lampu kuning" maka kepiting jalannya mundur.

Anett Keller (2009) menulis "Tantangan Dari Dalam, Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika" yang diterbitkan Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia Office.

Hasil penelitian Keller tentang Kompas, dibuka dengan kutipan David T. Hill. Seorang pakar kajian Asia dengan spesialisasi tentang kajian Media di Indonesia.

Kompas dibaca terutama oleh kalangan elite Indonesia dan memelihara (seperti dulu) gaya bahasa yang seimbang dan hati-hati. Gaya seperti ini pernah dikatakan Benedict Anderson sebagai “kebosanan yang terawat” (Hill 1995:84).

Pemilik Kompas Jakob Oetama menggambarkan kehatihatian khas Kompas sebagai berikut: “Mau tidak mau kita melaksanakan semacam sensor, semacam rem, ya apa boleh buat. Sehingga kita diejek: ‘Jurnalisme Kepiting’. Saya memang bilang sama teman-teman (wartawan) ‘kita tulis, tulis, tulis, makin naik dan naik, dan makin berani, ada sinyal kuning (bahaya), kita mundur. Kita diejek seperti seekor kepiting, maju dan mundur. Cuma bagi saya, mundur itu untuk maju lagi. Itu soal pilihan. Saya kalau dikritik juga tidak apa-apa. Memang itu kenyataannya.”

Begitulah "Kepiting", yang akhirnya sanggup menempati posisi mentereng, lima besar surat kabar papan atas dunia!

Sebagian aktivis UKM Pers Mahasiswa ASPIRASI UPN Veteran Jakarta era 80-90'an. (Foto: ASP/Catur Prasetyo)
Sebagian aktivis UKM Pers Mahasiswa ASPIRASI UPN Veteran Jakarta era 80-90'an. (Foto: ASP/Catur Prasetyo)

Filosofi "kepiting" yang maju mundur, akhirnya tak jauh beda dengan sebagian strategi Pers Mahasiswa era '80-an akhir. Lembaga Pers Mahasiswa ASPIRASI di UPN Veteran Jakarta yang saya geluti juga sempat menerapkan jurnalisme maju-mundur, mirip "Kepiting ala Kompas" itu.

Tapi waktu itu kita lebih suka menyebut "Jurnalisme Roti dan Besi". Artinya, saat aktivis Pers Mahasiswa ingin "menjewer" (mengoreksi) kebijakan rektor dan jajarannya maka diterapkan "Jurnalisme Kasih Besi"

Besi berkonotasi sebagai "alat pemukul", media/majalah kampus menjadi besi untuk mengkritik berbagai kebijakan pimpinan kampus. Beresiko? Pasti! Bolak-balik ditegur Purek III bidang Kemahasiswaan itu sudah biasa.

Tapi, tidak selamanya Pers Mahasiswa menerapkan "Jurnalisme Kasih Besi". Sesekali mundur seperti gaya kepiting, dan menerapkan "Jurnalisme Kasih Roti". Artinya, berdamai dengan pihak pimpinan kampus. Sama seperti Jakob Oetama yang berdamai dengan penguasa Orde Baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun