Keempat, masih tentang teknologi yang aplikatif untuk kebencanaan. Karhutla misalnya.
Citra satelit pemantau Hotspot di Indonesia adalah citra satelit NOAA-18 yang diwakili oleh ASMC (ASEAN Specialised Meteorological Centre), dan TERRA/AQUA (NASA) Satellit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer).
Kedua citra satelit itu bisa mendeteksi titik panas (Hotspot) karena kedua Satellit tersebut memiliki band Inframerah Dekat (NIR). Sehingga Hotspot digambarkan dalam warna piksel Merah. Akurat pastinya.
Tapi publik tak perlu bingung bagaimana ikut memantau Hotspot di setiap provinsi. Apalagi ini berkaitan dengan hasil citra satelit and so on, and so on.
Cukup buka saja situs SiPongi yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Di situs ini bisa kok melihat piksel merah untuk mewakili Hotspot di daerah. Berapa titik Hotspot terlihat di Indonesia, SiPongi pasti tahu. Ia memantau melalui citra satelit, dan CCTV sensor panas (thermal).
Nah, data Hotspot yang real time itu seharusnya bisa dipantau juga oleh setiap kepala daerah. Sehingga tak perlu menunggu polusi asap bisa mencapai wilayah tetangga, pemadaman Hotspot bisa langsung diatasi cepat. Siaga, sigap. Entah menggunakan water bombing, atau pemadaman melalui cara manual di lokasi.
Hotspot yang semakin banyak, atau titik panas yang lama tak kunjung padam mengindikasikan kepala daerah kurang cekatan berkoordinasi dengan instansi terkait guna melakukan pemadaman. Gitu aja kok repot.
Inti tulisan ini sederhana saja. Mengajak untuk sama-sama hidup aman ditengah ancaman bencana. Literasi mitigasi bencana menjadi keharusan. Tak bisa ditawar-tawar lagi. Semua sumber daya juga harus dimaksimalkan perannya.