Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Malaysia, Lokasi Empuk Membunuh Target Intelijen?

26 April 2018   01:16 Diperbarui: 26 April 2018   01:55 1565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polis Diraja Malaysia (PDRM) pada Senin, 23 April 2018, merilis dua sketsa wajah pelaku pembunuh cendekiawan muda Palestina, Fadi al-Baths di Kuala Lumpur. (Foto: AP)

"Kalau seminggu pasca kejadian pembunuhan Kim Jong Nam, para duta besar Malaysia ditarik dari Korea Utara, saya pikir hal ini cuma langkah pencitraan saja. Kebijakan penarikan dubes Malaysia dari Korea Utara ini 'kan ada pada level formal, sementara pembunuhan Kim Jong Nam justru berada di level informal atau level di belakang layar. Malah kalau Malaysia enggak menarik dubesnya dari Korea Utara, bisa jadi tambah muncul pertanyaan, kenapa enggak menarik dubesnya? Begitulah. Kalau saya bilang, ini politik konspiratif yang pada akhirnya membutuhkan a cover-up yakni dalam bentuk kebijakan penarikan dubes. Ini sekadar untuk menutup-nutupi bahwa seolah-olah Malaysia itu kecewa terhadap Korea Utara. Buktinya sekarang, Malaysia dan Korea Utara berbaik-baik lagi 'kan," urainya.

Menurut Jerry, kasus pembunuhan target man di negara lain, sebenarnya sudah dilakukan sejak peperangan tipe 3GW (generation warfare). Tetapi lebih masif lagi dilakukan dalam perang 5GW. Sederhananya, saya menyebut pola-pola demikian sebagai perang asimetris dengan segi ancaman berupa non-konvensional. Bukan konvensional. Karena kalau konvensional berarti ancaman militer. Ingat ya, secara umum ancaman itu tidak selalu melulu perang.

Polis Diraja Malaysia memeriksa TKP pembunuhan cendekiawan muda Palestina, Fadi al-Baths dengan cara diberondong tembakan usai shalat Subuh di Kuala Lumpur. (Foto: AlJazeera)
Polis Diraja Malaysia memeriksa TKP pembunuhan cendekiawan muda Palestina, Fadi al-Baths dengan cara diberondong tembakan usai shalat Subuh di Kuala Lumpur. (Foto: AlJazeera)
Dalam bukunya "Studi Strategis dan Keamanan" (Maret 2016), Jerry Indrawan mengartikan peperangan generasi ketiga (3GW) dengan menggunakan taktik manuver yang didukung mobilitas, bantuan tembakan massif dengan tahapan serangan yang tidak terlau jelas (non-linear), dan banyak mengandalkan keunggulan teknologi persenjataan, serta teknologi informatika.

Sedangkan peperangan 5GW, Jerry mengutip pernyataan Antoine Bousqet bahwa, periode peperangan ini bisa disebut sebagai perang cybernetic. Dalam perang ini diaplikasikan sistem sibernetika, yaitu sistem dengan memanfaatkan perangkat computer yang diintegrasikan dengan saluran komunikasi elektronika. Gabungan kedua komponen ini dimanfaatkan untuk mendukung sistem komando dan kendali pertempuran yang biasa disebut C2(Command and Control) kemudian berkembang menjadi C4I(Command, Control, Coordination, Communication, and Information).

"Untuk pembunuhan Kim Jong Nam dan Fadi al-Baths saya enggak yakin kalau yang melakukannya adalah termasuk tim khusus dari Malaysia sendiri. Saya enggak yakin sepenuhnya akan hal itu. Tetapi, kalau kejadian-kejadian pembunuhan ini dibiarkan atau sebenarnya diketahui oleh Malaysia, saya justru dominan untuk yakin. Tapi yang melakukan, karena ini saya anggap sebagai kerja intelijen, maka biasanya tidak menggunakan pola yang sama. Tiap kerja intelijen punya pola-pola yang berbeda. Untuk pembunuhan Kim Jong Nam itu misalnya, seolah-olah ada acara televisi reality show dan justru orang lain yang melakukannya. Sedangkan dalam kasus pembunuhan Fadi al-Baths justru dilakukan dengan cara penembakan langsung," katanya.

KIDON yaitu Unit Pembunuh MOSSAD, dinas rahasia Israel. (Sumber: special-ops.org)
KIDON yaitu Unit Pembunuh MOSSAD, dinas rahasia Israel. (Sumber: special-ops.org)
Jerry mengatakan, untuk melawan perang intelijen maka harus menerapkan kontra intelijen. "Upaya mengantisipasi kejadian pembunuhan transnasional seperti ini terjadi di Indonesia, maupun negara ASEAN lain di luar Malaysia, saya pikir agak sulit. Karena yang namanya operasi intelijen ya harus diantisipasi dengan operasi kontra intelijen. Ini terkait dengan ancaman konvensional (ancaman militer) dan non-konvensional (seperti ancaman ekonomi terhadap keamanan, kemiskinan; ancaman identitas sosial; ancaman lingkungan hidup; ancaman bencana alam; ancaman kesehatan; ancaman kriminalitas; dan, ancaman migrasi). Untuk mengantisipasinya ya kita harus memperkuat dinas intelijen yang dimiliki, apalagi peristiwa-peristiwa pembunuhan transnasional berarti juga mengancam keamanan nasional. Memang sudah ada UU No.17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, tapi itu sepertinya hanya mengatur soal lembaganya saja, belum mengatur tentang bagaimana caranya bekerja yang terkait dengan keamanan negara. Malaysia misalnya, punya UU seperti yang dimaksud, yaitu The Internal Security Act 1960. Begitu juga dengan Amerika Serikat yang punya The National Security Act of 1947. Dengan UU tersebut, intelijen bisa masuk kemana-mana karena menganggap bahwa semua aspek dalam kehidupan manusia adalah ancaman bagi keamanan negara. Indonesia belum punya UU seperti ini, karena pasti akan dianggap melanggar HAM dan lainnya," urai Jerry yang menamatkan S1 Ilmu Politik di IISIP, Jakarta (2010), dan S2 Universitas Pertahanan Indonesia program studi Peace and Conflict Resolution (2013).

Saatnya, Tingkatkan Lagi Kerjasama Intelijen

Sementara itu, pengamat masalah intelijen Prayitno Ramelan dalam tulisannya berjudul "CIA dan DFAT Pernah Memperingatkan Ancaman Teror di Indonesia dan Malaysia, khususnya Abu Sayyaf" menulis, bahwa dalam kegiatan intelijen, jaringan atau 'indra' merupakan salah satu elemen strategis yang harus terkoordinasi hingga menghasilkan manfaat yang optimal, dimana pola-polanya harus juga teratur dan terstruktur. Untuk menjaga dan memberi rasa aman dan nyaman ke masyarakat, intelijen bahkan harus lebih pro-aktif. Ini berarti intelijen harus terus bergerak dalam Pulbaket (Pengumpulan Bahan Keterangan) dan kerjasama intelijen perlu dijaga dan diaktifkan agar intelijen bisa membuat perkiraan ancaman.

Dalam tulisan lain berjudul "Indonesia Harus Tegas Menghadapi Malaysia", Pray - sapaan akrabnya - mengingatkan bahwa, Malaysia merasa sebagai negara Islam yang kental, tetapi tetap saja masuk dalam persatuan Negara-Negara Persemakmuran Inggris (Commonwealth of Nations), bergabung pada 16 September 1963, Singapura (15 Oktober 1965). Kelompok ini adalah suatu persatuan yang secara sukarela melibatkan negara-negara berdaulat yang didirikan atau pernah dijajah oleh pihak Britania Raya (Inggris) dalam sebuah persatuan.

Pertemuan FPDA pada 2 Juni 2017 di Singapura. (Foto: nst.com.my)
Pertemuan FPDA pada 2 Juni 2017 di Singapura. (Foto: nst.com.my)
Karena itu, kata Pray, Malaysia masih dilindungi dalam Pakta Pertahanan FPDA. Apabila Malaysia dan Singapura diserang, maka Inggris, Australia dan Selandia Baru akan membela dengan kekuatan militer, itulah inti Pakta FPDA. Oleh karena itu tidak heran apabila Malaysia selalu tampil gagah berani menantang Indonesia pada kasus-kasus perbatasan dan kasus-kasus lainnya. Secara politis dan diplomatis dia akan didukung negara-negara persemakmuran lainnya.

o o o O o o o

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun