Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cerita Ceu Popong, Dari KAA 1955, Bohongi Presiden Mesir sampai Kekurangan Jokowi

20 April 2018   20:28 Diperbarui: 23 April 2018   20:57 4203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sketsa pensil Popong Otje Djundjunan. (Sumber foto asli: liputan6.com)

Salah seorang "Kartini" yang trengginas dan menjadi teladan di Gedung Bundar Senayan adalah Popong Otje Djundjunan. Duduk di Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ceu Popong - begitu ia akrab disapa - selalu memperlihatkan rasa nasionalisme yang tinggi terhadap budaya bangsa. Penggunaan Bahasa Indonesia misalnya, Ceu Popong selalu berkomitmen mengingatkan semua koleganya di legislatif untuk menggunakan Bahasa Indonesia dalam setiap diplomasi formal dengan siapa saja, sekalipun misalnya, anggota dewan tersebut begitu cas cis cus berbahasa asing.

Ya, acapkali mendengar nama Ceu Popong, pasti mengingatkan kita dengan kejadian menggelikan. Yaitu, ketika Ceu Popong memimpin sidang perdana DPR dan sempat mencari-cari palu untuk diketok sebagai simbol pemutus keputusan. "Paluna mana euweuh (palunya tidak ada)," begitu kalimat Ceu Popong yang masih terngiang-ngiang oleh kita sampai sekarang.

Sidang DPR yang dimaksud digelar pada 1 Oktober 2015. Inilah sidang pertama anggota dewan periode 2014-2019. Politisi senior Fraksi Partai Golkar Dapil Jawa Barat I Ceu Popong yang merupakan anggota dewan tertua diberi amanah sekaligus kehormatan untuk memimpin sidang sementara. Bersama dengan anggota dewan termuda yaitu Ade Rezki Pratama dari Fraksi Partai Gerindra Dapil Sumatera Barat.

Popong Otje Djundjunan dalam ilustrasi bingkai. (Sumber foto asli: ANTARA)
Popong Otje Djundjunan dalam ilustrasi bingkai. (Sumber foto asli: ANTARA)
Di usianya yang kini sudah genap 80 tahun, Ceu Popong bahkan  sudah menjabat sebanyak lima periode sebagai anggota DPR, atau sejak  1987. Perempuan kelahiran Bandung, 30 Desember 1938 ini tak lain adalah  istri dari almarhum Raden Otje Djundjunan yang tak lain adalah Walikota Bandung masa jabatan 1971-1976. Kini, Ceu Popong duduk di Komisi X yang membidangi masalah Pendidikan, Kebudayaan, Pariwisata, Ekonomi Kreatif, Pemuda, Olahraga, dan Perpustakaan.

Ceu Popong menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat Tomo (1945-1951), SMPN Sumedang (1951-1954), SMAN 5 Bandung (1954-1957), Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran (1957-1959), dan FKIP Universitas Pendidikan Indonesia (1959-1963).

Ketika lulus SMP, nilai pelajaran Bahasa Inggris Ceu Popong adalah 10. Maklum, selain di sekolah, ia juga belajar Bahasa Inggris di rumah dengan ayahnya yang merupakan guru Bahasa Inggris. "Selain itu, saya juga senang dengan pelajaran Bahasa Inggris," ujarnya kepada penulis.


Gong Perdamaian Asia Afrika yang ada di Museum KAA, Gedung Merdeka, Bandung. (Foto: Gapey Sandy)
Gong Perdamaian Asia Afrika yang ada di Museum KAA, Gedung Merdeka, Bandung. (Foto: Gapey Sandy)
Selain cerdas, Ceu Popong juga gemar berorganisasi. Misalnya, ia menjabat Ketua Pasundan Istri (1983-2005), Ketua BKOW Jawa Barat (1977-1983), Ketua Dharma Wanita Kotamadya Bandung (1974-1976), Ketua BKOW Subang (1964-1967) dan masih banyak lagi. Malahan ada yang menyebut, Ceu Popong sudah mengikuti sekitar 62 organisasi. 

Ya ampun, banyak amat atuh Eceu?! Tapi, jumlah ini masih kalah banyak. Lho, apanya lagi? Ya, karena pada Februari 2017 lalu, Ceu Popong menerima piagam penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai anggota DPR yang terbanyak memperoleh jumlah penghargaan. Berapa banyaknya? Wowww ... 506 penghargaan sejak tahun 1957.

Oh ya, dengan kemampuan fluently Bahasa Inggrisnya dan keluwesan serta kegemarannya berbusana kebaya, berkain wiron juga bersanggul, Ceu Popong pernah terpilih menjadi relawan dalam perhelatan bersejarah Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung. Ketika itu, Ceu Popong diberi tugas menerangkan tentang kuliner tradisional kepada para delegasi tamu yang menginap di Hotel Savoy Homann. Satu peristiwa yang tak akan pernah ia lupakan kala itu adalah, bicara bohong kepada Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser.

Berikut cuplikan wawancara dengan ibu dari empat anak sekaligus nenek dari delapan cucu ini melalui sambungan telepon, pada Jumat pagi, 13 April 2018:

o o o O o o o

Popong Otje Djundjunan. (Sumber foto asli: detiknews.com)
Popong Otje Djundjunan. (Sumber foto asli: detiknews.com)
Waktu itu bagaimana keterlibatan Ceu Popong dalam KAA 1955?  

Tugas Ceu Popong waktu itu adalah untuk menemani si delegasi-delegasi itu sambil menjelaskan makanan ini dibuat dari apa. Waktu itu kegiatannya di Hotel Homann malam (hari). Jadi peserta-peserta konferensi, semua kepala-kepala negara kumpul di sana. Untuk itu ada semacam silaturahmi dan diantaranya ada makanan-makanan tradisional, nah itu harus dijelaskan oleh kita, seperti bajigur misalnya, dibuatnya dari apa.

Nah, sekarang kenapa Ceu Popong terpilih? Panitia KAA 1955 waktu itu mencari anak gadis yang - rada sombonglah Ceu Popong teh - rada bahasa Inggrisnya bagus, bisa ngomong. Kan kalau berbahasa (asing) itu ada dua macam, ada pasif dan ada aktif. Nah ini harus aktif bahasa Inggrisnya. Harus bisa ngomong, kan kalau yang pasif itu mengerti tapi ngomong kurang begitu lancar. 

Nah, dari 10 orang itu, Ceu Popong kapilih, ceritana. Dan syaratnya harus yang mau berkain kebaya. Ari Ceu Popong mah sudah suka dari gadis oge berkain kebaya teh. Jadi tidak sulit berkain kebaya. Kadang-kadang kalau yang tidak pernah (berkain kebaya) kan sulit.

Terus dijemput sama panitia pake bus. Dibawa ke Homann. Beberapa lama sebelum mulai acaranya. Itu yang di Homann tuh, yang menjajakan makanannya atau yang membawa makanannya tetap petugas dari Homann yang laki-laki. Dibawa berkeliling kepada para kepala-kepala negara itu. Nah, kemudian kan misalnya ada yang mengambil bajigur. Nah, kita harus bisa menerangkan bajigur itu dibuatnya dari apa. Dari santan, cangkaleng kolang-kaleng, seperti itu.

Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser (tengah) dan Pangeran Yaman, Hassan bin Yahya (kiri), nampak tengah mencicipi hidangan dalam KAA 1955 di Bandung. (Foto: Howard Sochurek/The LIFE Picture Collection/Getty Images)
Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser (tengah) dan Pangeran Yaman, Hassan bin Yahya (kiri), nampak tengah mencicipi hidangan dalam KAA 1955 di Bandung. (Foto: Howard Sochurek/The LIFE Picture Collection/Getty Images)
Apa saja pengalaman yang tak bisa terlupakan ketika itu, Ceu?

Ada peristiwa yang Ceu Popong tidak akan bisa lupakan. Waktu berhadapan dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser yang tingginya dua meter. Bayangkeun, tingginya dua meter, Ceu Popong gadis kecil atuh, satu meter setengah aja belum meureunan, baru satu meter lebih meureunan. Kebayang henteu? Ceu Popong kan harus tengadah. 

Tengadah melihat wajahnya (Nasser). Masak kita ngomong bari wajahnya tidak dilihat. Kan pasti wajahnya harus kita lihat. Nah, jadi beliau menanyakan, ini makanannya enak, terdiri dari apa? Kan makanannya rupa-rupa, ada colenak, bajigur, bandrek, bika ambon, ah macem-macem ari Bandung kan juaranya kan soal makanan.

Waktu itu, Nasser menanyakan salah satu makanan yaitu bajigur, kan enak sekali. Jadi Nasser coba bajigurnya, dan bilang waaahhh, wonderful! Ngenah meureunan enak. Jadi Nasser tanyakan, dari bahan-bahan apa dibikinnya? Kan kolang-kaleng aneh, henteu euweuh di Mesir meureun nyak, jadi kan Ceu Popong harus menjelaskan. Menjelaskan itu sambil tengadah. Nah, lama-lama, pundak kita kan pegel karena menengadahnya terlalu tinggi, atuh dah dua meter. 

Terus secara spontan Ceu Popong ngomong dalam Bahasa Sunda: "Aduh meuni cangkeul (aduh, sangat pegal)." Tapi kanari bahasa Inggrisnya pegal, Ceu Popong belum tahu. Kalaupun tahu juga pasti tidak akan ngomong, nanti Nasser ngerti. Terus Nasser tanya: "What do you say?" Masak Ceu Popong harus bilang "Aduh meuni cangkeul", itu kan henteu sopan.

Jadi Ceu Popong langsung aja spontan mengatakan, "Oh, it's Sundanese language. The meaning is i am so proud of you." Sambil dalam hati teh ngomong, "Aduh hampura Nasser, urang ngabohong." Dalam hati tapi. Jadi dia senang sekali kan. Nasser tepuk-tepuk punggung Ceu Popong, karena Ceu Popong mengatakan "I am so proud of you".

Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Republik Indonesia Ir Soekarno, dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru di KAA 1955, Bandung. (Sumber: via penasoekarno.wordpress.com)
Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Republik Indonesia Ir Soekarno, dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru di KAA 1955, Bandung. (Sumber: via penasoekarno.wordpress.com)

Waktu itu dapat honor uang enggak Ceu Popong dari Panitia KAA 1955?

Oh, tidak. Tidak. Jadi artinya itu betul-betul kita mah bukan panitia yang digaji apa, henteu. Karena kita kan masih anak kecil atuh. Jadi tidak termasuk formal panitia. Tidak. Hanya untuk acara itu panitia memerlukan, pan meureun kudu gadis-gadis, atuh lucu kalau nenek-nenek mah. Tidak dilihat cantik atau tidaknya. Cantik oge ari bodoh mah keur naon meureunan. Jadi yang menguasai bahasa Inggris secara aktif - karena kalau kita menguasai secara aktif pasti secara pasif kita kuasai, dan yang sudah biasa berkain kebaya.

Kain kebaya disiapkan panitia atau bawa sendiri, Ceu?

Ehhh, ya tidak mau disiapin mah, atuh geuleuh lurut batur meureunan. Makanya yang sudah biasa berkain kebaya. Artinya yang sudah biasa, kita punya (sendiri). Pakai sanggul, pakai wiron, pakai kebaya. Tapi memang harus gadis. Jangan yang sudah punya suami yang kolot, ari mah teh lucu.

Lima tokoh pelopor KAA 1955 di Bandung. (Foto sumber: indonesia-zaman-doeloe.blogspot.id | Hak cipta: Bettmann/Corbis)
Lima tokoh pelopor KAA 1955 di Bandung. (Foto sumber: indonesia-zaman-doeloe.blogspot.id | Hak cipta: Bettmann/Corbis)
Kelas berapa Ceu Popong waktu itu?

Ceu Popong waktu itu sekolah di SMA Negeri 5 Bandung, kelas I. Waktu itu kelas I, tahun 1955. Tahun 1954 pan lulus dari SMP. Lulus dari SMP, Bahasa Inggris nilainya 10. Jadi kan tentu meureunan jadi pilihan.

Ceu Popong kok bisa pintar Bahasa Inggris?                        

Eh, atuh kan anak guru. Anak guru atuh saya mah. Dan memang Ceu Popong suka kepada (pelajaran) bahasa. Bener. Dari mulai SMP kelas I kan diajar bahasa Inggris, seneng memang seneng. Ayah Ceu Popong teh guru di SMP teh, guru bahasa Inggris. Kemudian setelah naik ke kelas II, guru bahasanya lain.

Waktu tugas di Hotel Savoy Homann itu sempat ketemu Presiden Soekarno enggak, Ceu?

Oh tidak. Tidak. Karena di Homann tidak ada Soekarno. Yang ada Soekarno adalah di Pakuan, di rumah dinas gubernur. Kita tidak diundang itu mah.

Jadi selain sama Nasser, ketemu siapa lagi?

Ya banyak. Lha ya ngobrol ya sama Nasser. Ada Nehru dan lainnya. Cuma yang Ceu Popong sangat nyesel, harusnya tanda tangan-tanda tangan (para delegasi) itu disimpen hati-hati. Aduh, enggak tahu dimana tuh nyimpennya, padahal setiap berhadapan sama mereka, Ceu Popong minta tanda tangan urang teh. Ceu Popong nyesel sekali. Meuni nyesel pisan. Betul. Padahal waktu itu kan, kalau tanda tangan itu disimpen pasti akan sangat bersejarah.

Suasana ketika KAA 1955 digelar. (Foto: China Daily)
Suasana ketika KAA 1955 digelar. (Foto: China Daily)
Waktu itu, bagaimana keramaian wartawan-wartawan di Homann?

Ah tidak terlalu rame. Wartawan tidak terlalu ramai di sana (Hotel Savoy Homann - red) mah. Enggak tahu kenapa. Apakah memang tidak diperbolehkan, atau hanya terbatas. Kurang tahu. Tapi Ceu Popong tidak ngobrol sama wartawan waktu itu. Tidak. Tidak ada yang nanya dari pihak wartawan. Tidak ramai. Tidak ngagunduk (berkumpul, berkerumun - red). Enggak ada kok, sepertinya biasa-biasa aja gitu. Apa mungkin karena Ceu Popong tidak memperhatikan. Tapi kalo ngagunduk kan pasti kelihatan kan. Tidak ada yang ngagunduk.

Suasana Gedung Merdeka, Bandung masa kekinian. Disinilah KAA 1955 digelar. (Foto: Gapey Sandy)
Suasana Gedung Merdeka, Bandung masa kekinian. Disinilah KAA 1955 digelar. (Foto: Gapey Sandy)
Jadi menurut Ceu Popong, kita harus bagaimana dengan semangat KAA 1955 ini?

Eh, menurut Ceu Popong, kita harus bangga, tapi tidak boleh sombong, dengan adanya peristiwa KAA (1955), berapa puluh negara yang merdeka. Itu aja yang penting mah. Setelah peristiwa KAA, kan termotivasi itu orang-orang untuk merdeka. Kemudian yang menjajahnya juga kan jadi malu sendiri atuh. Akhirnya berapa negara yang jadi merdeka, apalagi di Afrika. Mangga.

Kita harus bisa bangga, bahwa dengan adanya KAA yang notabene adalah - nah Ceu Popong rek sombong ieu - di kota kelahiran Ceu Popong. Ya pan, Ceu Popong mah kelahiran Bandung. Dari mulai dilahirkan sampai melahirkan atuh di Bandung. Jadi ada kebanggaan tersendiri. Ceu Popong sebagai anggota DPR tugas keliling kemana-mana, kalau dalam memperkenalkan diri, kan harus memperkenalkan diri sebagai anggota delegasi, namanya siapa, partai apa, fraksi apa dan Dapilnya mana. Nah, Ceu Popong kan selalu mengatakan Dapil Bandung. Mereka bilang: "Waahhh .., Bandung."   

Kan itu satu kebanggaan. Jadi karena, Bandung sudah merupakan kota yang sangat dikenal di seluruh dunia terutama setelah KAA, gitu. Nah ini harus jadi kebanggaan atuh untuk orang Indonesia teh. Tapi dengan catatan, buktikan bahwa Indonesia itu ada dan baik! Nah eta anu kududicekelna teh, baik itu oleh anak-anak muda, ABG, baik itu oleh bonus demografi sampai nenek-nenek termasuk Ceu Popong yang 'baru' berusia 80 tahun.

Popong Otje Djundjunan dalam ilustrasi foto. (Sumber foto: teropongsenayan.com)
Popong Otje Djundjunan dalam ilustrasi foto. (Sumber foto: teropongsenayan.com)
Ada penulis dari dalam dan luar negeri yang menulis, bahwa sewaktu delegasi-delegasi KAA 1955 itu istirahat, santai, konon ada perempuan-perempuan untuk menemani mereka. Ini disebut layanan Hospitality Committee (HC). Memang benar ya?  

(Suara Ceu Popong meninggi - red) Untuk itu saya no comment! Terlalu kecil waktu itu untuk tahu itu. No comment, daripada saya salah. Saya tidak pernah bicara sembarangan. Yang saya akan sampaikan hanya yang saya tahu. Peun! Daripada salah ya kan. Ya pan saya atuh budak umur 17 tahun, nyaho naon atuh. Jadi, no comment! No comment!

Jadi semangat KAA yang anti penjajahan itu yang harus dilestarikan ya, Ceu?

Semangat KAA itu adalah sampai kiamat juga tidak akan terhapus, karena semua negara yang tadinya dijajah menjadi negara merdeka. Subhanallah. Eta kudu harus dicekel ku urangna mah. Kemudian ada satu lagi dari Ceu Popong tambahannya untuk Kids Jaman Now. Yaitu bahwa Indonesia adalah Indonesia, bukan Jepang, bukan Cina, bukan Arab, bukan Amerika. Temangkeun. Perlihatkan, buktikan bahwa kita itu Indonesia. 

Dengan cara apa? Dengan cara, ini budaya kita! Ini ideologi kita, kan begitu Mana budaya kita? Apakah budaya kita itu secara nasional ada? Ya henteu aya atuh. Budaya mah adalah adanya budaya daerah. Untuk membuktikan bahwa kita Indonesia, salah satu cara adalah pelihara budaya masing-masing daerah untuk membuktikan bahwa kita adalah Indonesia, lain Amerika. Oleh karena itu, Komisi X DPR membuat UU tentang Kebudayaan.

Sekarang begini (kalau ditanya), Popong, kamu orang mana? Suku Sunda, Bangsa Indonesia. Kan begitu jawabannya. Tidak ada bangsa Sunda. Apakah suku Sunda masih ada? Ada. Dibuktikannya dengan apa, ya dengan budayanya dong. Bahasanya masih ada. Kebayanya masih ada. Karedoknya masih ada. Seni jaipongannya masih ada. Dengan itu kita bisa membuktikan bahwa Suku Sunda masih ada. Sama seperti suku-suku yang lain. 

Kalau itu sudah tidak ada, bagaimana kita membuktikan bahwa Suku Sunda masih ada? Dibuktikan mau dengan apa? Misalnya jawaban lainnya adalah, Oh saya Darah Sunda mengalir di badan. Sok buktikeun di laboratorium. Hasilnya, tidak ada Darah Sunda. Darah Ceu Popong itu A. Darah itu kan adanya cuma golongan darah A, B, AB, dan O. Tidak ada Darah Sunda.

Popong Otje Djundjunan dalam ilustrasi foto. (Sumber foto asli: teropongsenayan.com)
Popong Otje Djundjunan dalam ilustrasi foto. (Sumber foto asli: teropongsenayan.com)
Satu lagi, saya serius, sebuah bangsa yang berkarakter sangat menghargainya bahasanya. Bahasa negara kita adalah Bahasa Indonesia! Itu adalah tingkatan pertama. Tingkatan bahasa didalam dunia politik adalah bahasa nasional, bahasa daerah, baru kemudian bahasa asing. Catat itu! 

Walaupun saya itu juara bahasa Inggris tea, kalau sedang resmi sebagai anggota DPR, kita pertemuan dengan parlemen bangsa lain, walaupun kita pintar bahasa Inggris, pakai bahasa Indonesia. Sudah ada UU-nya. Bahasa Indonesia kita pakai. Kemudian kita excuse dulu, "I'm so sorry, I love English language, but I must speak in my languge."

Kalau pertemuan resmi itu sudah selesai, kemudian ada pertemuan yang santai-santai, boleh menggunakan bahasa Inggris oge. Tapi kalau sedang dalam pertemuan resmi berdialog, harus pakai bahasa kita. Dulu, sebelum ada peraturannya, waktu zaman Bung Karno jadi Presiden, belum ada aturannya, jadi walaupun beliau pidato di negara lain pidato langsung pakai Bahasa Inggris, ya tidak salah karena belum ada UU-nya. Kalian harus tahu itu.

Waktu KAA 1955 itu, Ceu Popong dan teman-teman dijemput atau disediakan penginapan?

Ya iya atuh dijemput meureunan. Kan panitia bertanggung jawab.

Hotel Savoy Homann tempo doeloe. (Foto: klikhotel.com)
Hotel Savoy Homann tempo doeloe. (Foto: klikhotel.com)
Grand Hotel Preanger masa lalu. (Foto: klikhotel.com)
Grand Hotel Preanger masa lalu. (Foto: klikhotel.com)
Dimana tinggalnya Ceu Popong waktu itu?

Saya tinggal di Jalan Balong Gede. Saya tinggal di asrama putri. Kan dulu asrama putri itu bagus atuh, bukan kayak kost-kostan zaman sekarang. Dulu asrama putri, aduh itu, disiplin bukan main. Kalau kita mau keluar, itu harus bilang dulu. Untuk keluar hanya boleh pada Hari Minggu dari jam sekian sampai jam sekian. 

Menerima tamu, harus sepengetahuan ibu asrama. Tidak bisa sebebas seperti sekarang. Bukan kost-kostan itu jelek, bukan. Tapi kalau sekarang, kost-kostan, yang punya bangunannya sendiri tidak turut campur. Kalau dulu asrama putri, wah jangan gegabah, ketat itu.

Waktu itu, selesai kerja di Homann jam berapa, Ceu?

Ah, tidak terlalu malam. Tidak terlalu malam kok. Ya biasa aja, ari makan malam, apa sampe jam 12 malam kan juga henteu atuh. Paling malem juga jam 8, jam 10 malam. Sesudah makan malam, barulah dijajakan (kepada para tamu delegasi-delegasi) apa yang tadi disebutkan (kuliner tradisional).

Jadi, sekalian menyampaikan apa yang saya sampaikan tadi supaya menjadi pegangan untuk anak-anak muda. Karena yang paling sulit adalah menyamakan persepsi. Persepsi kita harus sama dulu. Karakter bangsa itu seperti apa. Itu dulu samakan. Kalau persepsi kita sudah sama, insya Allah sikap kita akan sama, insya Allah langkah kita akan sama. Yang paling sulit adalah menyamakan persepsi.

MODIS. Popong Otje Djundjunan pada tahun 1975. (Foto: Pikiran Rakyat)
MODIS. Popong Otje Djundjunan pada tahun 1975. (Foto: Pikiran Rakyat)
Kalau persepsi Ceu Popong terhadap Jokowi, keberhasilannya, kekurangannya, apa?

Saya mah orangnya objektif. Walaupun (Partai) Golkar sudah resmi mendukung Jokowi, bukan berarti kita tidak boleh kritis atuh. Kan negara demokrasi. Tetap saja kekurangannya harus kita dorong untuk menjadi lebih baik, kan begitu. Harus objektif. Yang penting harus objektif. Kalau objektif, logika kita itu akan jalan. 

Yang bagus, ya kita katakan bagus. Jangan karena ada kepentingan politik kemudian yang bagus itu kemudian disebut jelek! Sekarang sebaliknya, hal yang memang masih kurang ya harus kita katakan masih kurang. Ulah dipuji karena ingin kepake. Ini yang harus dipegang oleh politisi-politisi, termasuk politisi-politisi muda yang nanti akan menggantikan Ceu Popong. Jadi yang penting adalah berpikiran jernih dan objektif. Jangan ada kepentingan pribadi!

Jadi kelebihannya Jokowi apa Ceu?

Kelebihannya dia mau bekerja, kan begitu. Mau bekerja. Nomer hiji kan kudu eta heula. Sok ayeuna kalo orangnya males, kan begitu. Kan bisa kabeja orangnya jadi presiden, jadi menteri mah orangnya bisa males gitu.

Popong Otje Djundjunan dalam ilustrasi foto. (Sumber foto: teropongsenayan.com)
Popong Otje Djundjunan dalam ilustrasi foto. (Sumber foto: teropongsenayan.com)
Selain itu kelebihan Jokowi apa lagi?

Ada. Ada satu peristiwa Ceu Popong dengan Jokowi. Pada satu waktu ada satu acara di DPR yaitu Pembukaan Konferensi Asia Afrika Parlemen. Pembukaannya dilakukan oleh Jokowi sebagai Presiden. Setelah meresmikan, beliau turun. Beliau turun, kita semua berdiri. Ceu Popong juga berdiri, persis di pinggir karpet merah yang akan kelewatan (dilintasi) Jokowi. Ceu Popong belum pernah bertemu Jokowi, salaman juga belum pernah, karena Ceu Popong pada saat Pilpres pendukung Prabowo. 

Jadi, kampanye dan sebagainya bukan dengan Jokowi, tapi dengan Prabowo. Jadi Ceu Popong tidak kenal secara personal sama beliau (Jokowi). Beliau lewat, beliau berdiri sejenak di depan Ceu Popong. Sumpah, boleh tanya, yang lain lihat. Kemudian sambil ketawa, sambil senyum beliau bilang: "Ceu Popong ya?" Dengan tenang, dengan senyum sambil telunjuknya menunjuk ke Ceu Popong: "Ceu Popong ya?", tapi beliau berdiri dulu, berhenti beberapa detik. Kaget kan Ceu Popong.

Terus Ceu Popong bilang spontan, "Dari mana tahu nama saya?". Beliau menjawab, "Dari televisi." Coba, kan sulit mencari Presiden seperti begitu. Coba, tahu ke Ceu Popong dari televisi, berarti beliau seneng menonton televisi, berarti beliau mengikuti perkembangan-perkembangan politik. Betul tidak? Istimewa kalo menurut Ceu Popong. Dari jutaan jeleumakan, sampai beliau mengenal Ceu Popong hanya dari televisi. Sok ayeunamah nilai sendiri, personalianya (Jokowi) seperti apa? Jarang orang yang seperti itu.

Nah, satu-satunya orang yang seperti (Jokowi) itu, yang Ceu Popong tahu, yaitu cepat mengenal wajah orang tidak akan lupa kalau sudah melihat wajah orang adalah Harmoko (mantan Ketua DPR - red). Tah, Harmoko teh juga kitu, kalau satu kali sudah ketemu, dia pasti akan inget. Itu kebalikan dengan Ceu Popong. 

Ceu Popong kalau mengenali jeulema mah bleguk. Ceu Popong mah suka lupa aja kepada orang teh, kitu. Apalagi, namanya. Tapi kalau kepada wajah, kalau sudah sering ketemu baru bisa inget. Kalau baru satu-dua kali mah, poho wae. Itu kelemahan Ceu Popong. Sangat on the contrary dengan presiden kita, Pak Jokowi.

Salut Ceu Popong mah. Masak dia sebagai Presiden, orang ratusan juta, rakyatnya kan, sampai inget dengan orang yang belum pernah ketemu, hanya lihat di televisi. Nah, berarti beliau sering meureun lihat Ceu Popong di televisi. Kalau baru satu kali melihat di televisi masak inget. Berarti beliau mengikuti jalannya politik.

Diorama Presiden Soekarno sedang berpidato di KAA 1955 bisa dilihat di Museum KAA, Bandung. (Foto: Gapey Sandy)
Diorama Presiden Soekarno sedang berpidato di KAA 1955 bisa dilihat di Museum KAA, Bandung. (Foto: Gapey Sandy)
Presiden Jokowi menyampaikan Pidato Puncak Peringatan KAA ke-60, di Gedung Merdeka, Bandung. (Foto: setkab.go.id)
Presiden Jokowi menyampaikan Pidato Puncak Peringatan KAA ke-60, di Gedung Merdeka, Bandung. (Foto: setkab.go.id)
Kalau kekurangan Jokowi apa?

Kekurangannya? Mana saya tahu. Kan ketemunya juga baru satu kali. Kalau menanyakan kekurangannya kudu ka istrina. Eh .., bener henteu? Apa yang saya tahu tentang kekurangannya, dakudu bergaul berhari-hari atuh. Pertanyaannya jangan begitu dong, ah. Moal kapancing saya mah. Moal! Ngartos kan? Kalau nanya kekurangannya, apa kekurangannya? Kan ketemu yang face to face mah, baru kali itu. Naon atuh kalau kudu disebutkan kekurangannya. Masak harus menyebut (Jokowi) malas, pan tadi Ceu Popong menyebut (Jokowi) rajin.

o o o O o o o

Baca juga tulisan sebelumnya:

Serba-serbi Konferensi Asia-Afrika Pertama, Mulai dari Kamera "Jadul" hingga Bajigur

Warisan "Semangat Bandung" dan Isu Tabu pada KAA 1955

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun