Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dissa dan Café Tunarungu "Jari Berbicara"

8 Januari 2016   07:30 Diperbarui: 10 Januari 2016   10:57 2594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pucuk dicinta ulam tiba. Dissa kemudian diterima bekerja di salah satu bank dengan jaringan dan reputasi internasional yang beroperasi di Singapura. Persis di bulan yang Bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini, yakni April 2014, mulailah Dissa bekerja.

(ATAS: Dissa Syakina Ahdanisa memperlihatkan berbagai karya kreatif yang dihasilkan para deaf. BAWAH: Sejumlah karya kreatif tersebut yang ada di Deaf Cafe Fingertalk. || Foto: Gapey Sandy)

“Sambil bekerja di bank, aku terus mencari-cari sekolah atau lembaga kursus yang mengajarkan Bahasa Isyarat. Alhamdulillah, saya menemukannya di Singapura. Namanya, Singapore Asssociation for The Deaf. Kursusnya tidak singkat, aku harus menuntaskan sekitar tujuh level mulai dari beginner, intermediate sampai advance. Lama belajar untuk tiap level, bisa sampai 1,5 bulan. Aku lulus pada Oktober 2015 kemarin,” bangga Dissa yang kini harus rela bolak balik “Pamulang - Singapura” untuk mengurus karir profesional dan kerja sosialnya.

Sewaktu mengikuti pendidikan Bahasa Isyarat di “Negeri Singa” itu, Dissa yang seringkali menyatakan hasratnya untuk membuka café yang dikelola oleh para deaf, mendapat banyak dukungan. Tapi sayang, dukungan itu justru bujuk rayu agar Dissa bersedia membuka café–nya di Singapura. “Kalau aku buka café di Singapura, pasti cost-nya akan jauh lebih besar. Sementara kalau buka di Indonesia, pasti akan bermanfaat karena teman-teman deaf lebih banyak yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Selain itu, aku tahu sendiri, para deaf di Singapura sebenarnya sudah memperoleh cukup perhatian dari Pemerintah. Cukup berbeda nasibnya, dengan teman-teman deaf di Indonesia,” ungkap Dissa yang tercatat sebagai warga Perumahan Pamulang Permai I di Tangerang Selatan.

Sejak itulah Dissa makin menguatkan keyakinan untuk membuka café yang dikelola teman-teman deaf. Meskipun sekali lagi, banyak proses yang harus dilaluinya terlebih dahulu. “Aku harus menemukan support yang tepat dari komunitas deaf di Indonesia. Syukurlah, pada satu kesempatan, seorang adik kelasnya yang menjadi jurnalis di The Jakarta Post, memperkenalkan dirinya kepada seorang penerjemah Bahasa Isyarat. Ternyata, si penerjemah ini adalah salah seorang murid dari Ibu Pat. Dari situlah kemudian aku diperkenalkan lagi kepada Ibu Pat, yang memang concern ingin membantu anak-anak muda deaf untuk menjalankan usaha mandiri. Aku kemudian memaparkan rencana pembuatan Deaf Café Fingertalk kepada Ibu Pat. Beliau setuju untuk membantu, dan mulailah aku menyewa tempat yang awalnya gudang untuk dijadikan café lengkap dengan workshop-nya. Sementara Ibu Pat, turut sibuk membantu mencarikan deaf yang sesuai untuk bekerja di café,” tuturnya.

(ATAS: Delegasi deaf Amerika Serikat yang datang ke Fingertalk. Mereka adalah pemimpin muda tuli yang sukses pada bidangnya masing-masing. TENGAH: Asisten Presiden Barrack Obama yaitu Leah Katz-Hernandez. BAWAH: Eric Paul Setzer, kapten dan pemain sepakbola untuk tim nasional U-21 Amerika Serikat. || Foto: Facebook Dr Mason Global, FB Leah Katz-Hernandez (photo: greg kahn/grain), FB Eric Paul Setzer).


KEDATANGAN TAMU, ASISTEN PRESIDEN BARRACK OBAMA

Pada Rabu sore, 5 Januari 2016 kemarin, Deaf Café Fingertalk kehadiran tamu kehormatan. Mereka adalah para deaf yang berasal dari Amerika Serikat dengan didampingi para deaf asal Indonesia juga. Delegasi deaf kedua negara ini memang tengah berkumpul di Jakarta untuk menyukseskan Program Pertukaran Pemimpin Muda Tuli tentang Budaya dan Hak Asasi Manusia. Salah satu agendanya adalah mengadakan Talks and Sharing Session bersama Dr Asiah Mason selaku pimpinan lembaga ‘Dr Mason Global’ di Washington DC, sebuah perusahaan konsultan internasional yang khusus bergerak pada bidang pendidikan aksesibilitas, tanggung jawab sosial perusahaan, inisiasi dan solusi inklusi sosial.

Dari Amerika Serikat, para tunarungu yang hadir dan sudah terbukti sukses dibidangnya, seperti Michael Steven Stein yang sukses sebagai pengacara dan lulusan dari Sekolah Hukum Harvard. Lalu, Leah Katz-Hernandez yang kini menjabat sebagai asisten Presiden Barrack Obama di Gedung Putih. Ada juga Allie Rice yang merupakan aktivis kepemudaan organisasi tunarungu Amerika Serikat. Sedangkan Dr Shazia Siddiqi tak lain adalah seorang Dokter, dan Direktur Organisasi Advokasi untuk Perempuan Korban Kekerasan Seksual. Sementara Eric Paul Setzer adalah seorang pemain sekaligus kapten tim nasional sepakbola tunarungu U-21 Amerika Serikat.

Sementara para deaf delegasi Indonesia yang hadir di Deaf Café Fingertalk diantaranya adalah Surya Sahetapy yang merupakan anak dari pasangan artis Ray Sahetapy dan Dewi Yull, Annissa Rahmania, Adhi Bharotorres, Phieter Angdhika, Yuliana, Ade Wirawan dan lainnya.

(ATAS: Surya Sahetapy, salah seorang anggota delegasi deaf Indonesia yang datang ke Fingertalk. BAWAH: Anggota delegasi deaf Indonesia. || Foto Atas: Gapey Sandy. Bawah sumber: Facebook Dr Mason Global).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun