Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dissa dan Café Tunarungu "Jari Berbicara"

8 Januari 2016   07:30 Diperbarui: 10 Januari 2016   10:57 2594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Aku suka Bahasa Spanyol karena kedengarannya ‘enak’. Dari situlah aku terpacu untuk menjadi relawan sekaligus belajar Bahasa Spanyol. Caranya? Aku memilih lokasi kerja sosial, mengajarkan anak-anak berbahasa Inggris, di negara yang secara umum menggunakan Bahasa Spanyol sebagai bahasa kesehariannya. Alhamdulillah, aku kemudian diberangkatkan menuju Nikaragua, sebuah negara di Amerika Tengah yang berbatasan dengan Honduras dan Kosta Rika. Bahasa keseharian di Nikaragua adalah Bahasa Spanyol,” jelas Dissa penuh syukur.

Selama tiga bulan (September – November 2013), Dissa bekerja sukarela di Kota Granada yang ada di pusat Nikaragua. “Pada pagi hari, aku mengajar Bahasa Inggris dengan menjadi Asisten Guru. Lalu malam harinya, aku membantu pekerjaan accounting pada NGO tempat aku bekerja. Semua itu tidak dibayar, hanya memperoleh uang transport saja,” tuturnya dengan nada ikhlas.

Di Nikaragua, lanjut Dissa, dirinya bekerja dari Senin sampai Jumat. Sedangkan Sabtu dan Minggu, dimanfaatkan untuk mengeksplorasi Kota Granada yang banyak memiliki bangunan-bangunan fisik dengan ciri kolonial, seperti dalam tayangan sinetron telenovela.

(Dissa Syakina Ahdanisa ketika menjadi relawan dengan mengajarkan Bahasa Inggris kepada anak-anak di Kota Granada, Republik Nikaragua. || Foto: Dokpri. Dissa Syakina Ahdanisa)

“Di Granada, aku mungkin menjadi satu-satunya orang Indonesia, sekaligus satu-satunya orang yang mengenakan jilbab. Banyak orang memanggil aku dengan sebutan ‘Chinita’. Mereka pikir, aku berasal dari China. Padahal aku sudah jelaskan kepada anak-anak itu, bahwa aku berasal dari Indonesia. Tapi sayangnya, mereka enggak tahu, dimana letak Indonesia. Maklum, dalam bola dunia sekalipun, posisi Nikaragua dan Indonesia itu saling berjauhan jaraknya bahkan ada dibaliknya,” urai Dissa yang mengeluhkan perbedaan jam mencolok antara Nikaragua dengan Indonesia atau Asia. “Sewaktu di Nikaragua, aku seolah tidak memiliki teman sama sekali. Aku tidak bisa fesbukan, whatsapp dengan teman-teman. Karena, perbedaan waktunya terlalu jauh. Kalau di Nikaragua aku baru bekerja pada siang hari, tapi teman-teman di Indonesia dan di Asia, justru baru beristirahat pada malam hari”.

Semakin banyak mengeksplorasi Kota Granada, Dissa kian memahami bahwa kota ini memang terkenal dengan pariwisatanya. Terutama karena di sini juga banyak berdiri macam-macam café yang punya ciri khas masing-masing. Bahkan, asal tahu saja, kopi produksi Nikaragua itu termasuk yang memiliki citarasa nikmat di dunia. “Café-café di Nikaragua itu unik dan khas. Ada café buku, café taman, café musik, dan akhirnya saya ketemu dengan Café de las Sonrisas, yang dalam bahasa Inggrisnya berarti smile atau senyum.


Sewaktu di Café de las Sonrisas ini aku memperhatikan betapa unik café yang dikelola oleh mereka yang tunarungu. Di café ini, juga ada tempat pelatihan untuk para deaf membuat tempat tidur ayun atau hammock. Segala yang terjadi dan berlangsung di café ini kemudian menginspirasi Dissa untuk membuat café sejenis di Indonesia. Tapi, waktu itu keinginan tersebut masih menjadi resolusi awal tahun, karena Dissa sendiri belum menguasai Bahasa Isyarat, apalagi memiliki jaringan dengan komunitas para deaf.

(Cafe de las Sonrisas di Republik Nikaragua yang memberdayakan para tunarungu atau deaf. Para deaf juga menghasilkan hammock atau anyaman tempat tidur ayun. || Foto: Dokpri. Dissa Syakina Ahdanisa)

BEKERJA SAMBIL BELAJAR BAHASA ISYARAT

Selesai mendarmabaktikan kemampuanya berbahasa Inggris di Nikaragua, pada November 2013, Dissa kembali ke Indonesia. Keinginannya untuk mendirikan café yang mempekerjakan para deaf seperti di Kota Granada, akhirnya dikemukakan kepada sang ibunda. Demi memahami keinginan putri sulungnya, sang ibu mengizinkan, meskipun untuk melaksanakannya ia menasehati sang buah hati bahwa hal itu tidak dapat langsung diwujudkan dengan sekejap mata.

Mengantongi restu ibunda ini, Dissa kemudian mencari-cari lembaga kursus atau sekolah yang mengajarkan Bahasa Isyarat di Indonesia. Hasilnya? Lumayan nihil. Dissa hanya mendapatkan informasi, Bahasa Isyarat dipelajari di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pembelajarannya di kelas perkuliahan, karena memang dimaksudkan untuk mendulang nilai SKS. “Artinya, kalau kita bukan mahasiswa UI, ya sayang sekali tidak bisa ikut belajar Bahasa Isyarat itu,” prihatinnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun