Nasib Muslimah kurang beruntung. Punya Kartu BPJS Kesehatan, tapi tiga rumah sakit yang seharusnya melayani pasien BPJS justru seakan menolaknya. Alasannya, macam-macam. Warga Ciracas, Pasar Rebo, Jakarta Timur ini akhirnya cuma bisa nelangsa. Jangankan menerima layanan medis guna mengobati sakit paru-parunya, melongok ruang perawatan Kelas II rumah sakit sesuai haknya pun Muslimah tidak bisa.
Terombang-ambing penolakan rumah sakit, kondisi Muslimah terus nge-drop! Sampai akhirnya, keluarga memasrahkan Muslimah masuk UGD RS Persahabatan. Mustinya di sini, pasien empunya Kartu BPJS Kesehatan terlayani. Tapi, lantaran alasan ruang ICU penuh, rumah sakit ‘angkat-tangan’. Alhasil keluarga Muslimah harus berjibaku lagi, cari rumah sakit lain. Sementara kondisi Muslimah, kian mencemaskan.
Ujung ceritanya bisa ditebak. Lantaran mempergunakan hak sebagai pemegang Kartu BPJS Kesehatan terus-menerus ‘ditolak’ rumah sakit berkompeten, keluarga Muslimah pun menyerah pada nasib. Muslimah diantar berobat ke ICU RS Medistra, Kuningan, Jakarta Selatan. Terpaksa Muslimah berobat denganSTATUS PASIEN UMUM. Apa lacur? Dalam tempo 10 hari opname di ICU, tagihan yang sampai di tangan keluarga Muslimah mencapai Rp 120 juta! Habis-habisan harta keluarga Muslimah membiayai pengobatan. Voniskanker saluran paru-paru memang bak petir kala siang bolong.
Tak hanya itu, Yuli berusaha selekas mungkin memindahkan Muslimah ke rumah sakit yang melayani pasien BPJS. Karena pasien dalam kondisi darurat, Yuli pun mencoba “jalur khusus”. Ia mengontak jajaran di Kantor Gubernur DKI Jakarta. Pesannya sama. Ada warga DKI Jakarta yang tak terlayani BPJS Kesehatan!
“Alhamdulillah, esok harinya, Ibu Muslimah bisa dipindahkan dan bakal dilakukan tindakan operasi di RS Persahabatan, sesuai haknya sebagai pemegang Kartu BPJS Kesehatan. Bahkan, biaya tagihan rumah sakit sebelumnya sebesar Rp 115 juta juga ditanggung BPJS. Tapi tugas saya belum selesai. Ibu Muslimah masih harus memperoleh hak layanan proses kemoterapi dan perawatan lainnya. Karena memang, aturannya seperti itu,” kata Yuli penuh syukur.
Kisah haru keluarga Muslimah dituliskan Yuli Supriati pda 6 November kemarin di akun fesbuk miliknya. Masih banyak kisah pilu pasien dan keluarga pasien lainnya. Menuliskannya di fesbuk sekaligus menjadi catatan tugas Yuli. Maklum, Yuli menjabat Sekretaris Jenderal Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Provinsi Banten. “Tugas saya, menjadi relawan dan melakukan advokasi terkait pemenuhan hak-hak kesehatan untuk warga masyarakat,” ujar Yuli yang lahir di Jakarta, 21 Juli 1970.
DKR adalah lembaga masyarakat nasional yang berbentuk perkumpulan dan dibentuk untuk mengkoordinasikan serta mengintegrasikan inisiatif rakyat dalam pembangunan kesehatan. DKR mempunyai tugas serta tanggung-jawab untuk mendorong perbaikan, peningkatan kesehatan rakyat serta menyatukan inisiatif masyarakat agar terlibat dalam perbaikan dengan menambah peningkatan kesehatan dan melakukan pendampingan (pelayanan) kesehatan serta pembangunan desa dengan lingkungan yang sehat.
Perkumpulan yang memiliki garis kordinasi pusat, daerah sampai pada tingkat Kabupaten/Kota ini, dibentuk dalam satu Wokrshop dan Training serta Pertemuan Nasionalpada 11 - 12 Maret 2008 di Jakarta, denagn dihadiri individu, perwakilan organisasi, LSM dari tingkatan kabupaten yang terdiri dari 33 provinsi di seluruh Indonesia. DKR telah dilegalformalkan melalui Akte Notaris Nomor 93 tanggal 17 Maret 2008.
DKR berasaskan Pancasila dan didirikan dengan tujuan untuk: Pertama, Memastikan pendirian desa-desa siaga. Kedua, Memastikan ada upaya-upaya untuk mewujudkan Indonesia sehat dan sejahtera. Ketiga, Memastikan rakyat mendapat akses pelayanan kesehatan yang layak. Keempat, Memastikan masyarakat untuk menjalankan pola hidup sehat dan bersih.
Geregetandan Saran untuk BPJS Kesehatan
Kasus-kasus yang mengindikasikan seolah-olah ada penolakan rumah sakit terhadap pasien pemegang Kartu BPJS Kesehatan sudah banyak ditemukan Yuli di lapangan. Alasan paling klasik adalah, karena ruang ICU maupun ruang perawatan sudah terisi penuh, tidak ada peralatan medisnya, dan sebagainya.
“Dari sisi penyelenggara BPJS Kesehatan, mereka jelas tidak mau disalahkan. Mereka berdalih bahwa di lapangan, tidak mungkin terjadi praktik penolakan pihak rumah sakit terhadap pasien pemegang Kartu BPJS. Saya sampai geregetan mendengarnya, dan kepada mereka sempat saya katakan, penyelenggara BPJS boleh mengatakan bahwa mereka sudah menugaskan customer service dan membuka call center di rumah sakit-rumah sakit. Tapi, adanya dimana? Customer service BPJS Kesehatan itu letaknya justru di pojokan yang sedikit terlihat orang. Maka itu, cobalah customer service BPJS Kesehatan itu mau berdiri atau duduk di UGD selama beberapa jam saja, pasti akan menemukan kasus-kasus yang mengindikasikan penolakan pasien pemegang Kartu BPJS. Tapi, tetap penyelenggara BPJS ini tidak mau percaya juga. Padahal, banyak data dan temuan yang membuktikan kebenaran penolakan-penolakan pasien. Saya punya banyak data kasus-kasus seperti itu, semua tersimpan dan komplit,” tutur Yuli ketika dihubungi melalui ponselnya pada 6 November, kemarin.
Di lapangan, ketika pasien dan keluarga pasien yang kebingungan karena tidak memperoleh layanan sesuai hak yang dimiliki sebagai peserta BPJS Kesehatan itu bertemu dengan DKR, maka kemudian muncul solusi sesuai prosedur. Tak salah kalau kemudian banyak yang berkata bahwa pasien dan keluarga pasien lebih membutuhkan kehadiran DKR di rumah sakit-rumah sakit ketimbang berurusan dengan petugas BPJS.
“Padahal kita tidak mau hal seperti ini terjadi. DKR ini bukan Superman yang bisa stand by setiap saat dan menyelesaikan semua urusan masalah layanan hak kesehatan. Hanya kebetulan saja, kami memiliki pengetahuan bagaimana menjalani prosedur memperoleh hak kesehatan, dan nomor kontak para direktur rumah sakit, termasuk instansi serta pejabat terkait,” tegas Yuli yang hobi touring sepeda motor ini.
Yuli sendiri pernah mengantongi Surat Kuasa pembuatan Kartu BPJS Kesehatan milik seorang warga yang dalam kondisi kesusahan. “Meski sudah berbekal Surat Kuasa saya tetap tidak dilayani. Padahal, di kantin kantor pelayanan pembuatan Kartu BPJS di Cikokol itu, calo-calo banyak sekali. Mereka bekerjasama dengan ‘orang dalam’. Karena saya berhubungan dengan kondisi darurat kesehatan seorang warga, sekaligus ingin menemukan fakta tentang praktik percaloan pembuatan Kartu BPJS Kesehatan, maka saya ladeni salah seorang calo. Tarif calo Rp 350.000 untuk yang dua minggu jadi atau Kartu BPJS aktif. Si calo akan ngantongin Rp 100.000, dan untuk ‘orang dalam’ Rp 250.000. Begitu pengakuan si calo. Praktik percaloan seperti begini sudah saya simpan dalam catatan kerja saya,” ujar Yuli yang mengaku baru sekitar enam bulan bergabung dengan DKR Provinsi Banten.
Ketiga, kembali lagi ke prasarana rumah sakit yang belum mencukupi untuk melayani masyarakat pemegang Kartu BPJS Kesehatan. “Secara grafik, jumlah peserta BPJS Kesehatan mengalami kenaikan. Tapi, untuk jumlah dokter, fasilitas kesehatan dan rumah sakit, perkembangannya justru datar atau tidak bertambah. Grafik yang seperti ini jelas tidak seimbang. Bisa dibilang, masyarakat diminta untuk wajib mengurus kepemilikan Kartu BPJS Kesehatan, tapi nyatanya pelayanan belum mampu memenuhi. Ya, kalau cuma untuk ngobati penyakit kepala pusing saja sih, BPJS Kesehatan siap. Tapi coba tengok di area Tangerang. Untuk berobat ke Poli Jantung saja, antrian peserta BPJS Kesehatan bisa sampai satu bulan. Lha, terus bagaimana kalau pasien harus menjalani operasi Jantung yang perlu penanganan segera?” kesal Yuli.
Sejumlah Kasus yang Diadvokasi
Yuli banyak mengadvokasi warga tidak mampu untuk memperoleh hak-hak kesehatan. Semuanya itu dituangkan Yuli dalam akun fesbuk pribadinya. Seperti yang diunggah Yuli, pada 4 November 2015.
“BPJS a/n Siti Nuraini ini nyaris tak dapat digunakan. Awalnya gadis 24 thn warga Pondok Kacang (Tangerang – red) yang bulan depan akan menikah ini berobat ke Puskesmas Pondok Kacang, tetapi tidak mendapat penanganan. Kemudian ia dibawa ke Puskes Perigi (Tangerang) ternyata kamar full. Pasien dibawa lagi ke Puskesmas Pondok Aren (Tangerang Selatan) pun sama. Karena kondisinya makin lemah, maka ia dirujuk ke RS MMC Jombang, masuk UGD dan katanya didiagnosa ada syaraf yang kejepit jadi harus dibawa ke RS yang adaCT scan. Karena panic, dibawa lagi si pasien yang sudah pingsan ini ke RS Bakti Asih, dari sana ditolak lagi sampai keluarga lelah, sehingga akhirnya memutuskan masuk RS Sari Asih dengan status Umum ke UGD.
Ditangani di UGD, Alhamdulillah pasien sadar, harus dirawat inap hanya ada kelas I, itu pun karena pasien mendaftar dengan status umum jadi ada kamar. Yaaahh begitulah nasib pengguna BPJS dari rakyat kecil yang enggak tahu apa-apa. Hati saya betul-betul miris ditengah perjuangan saya untuk perbaikan pelayanan pasien BPJS dengan aksi demo dan sosialisasi tapi di lapangan, di RS-RS, saya terus mendapati kasus-kasus seperti ini. Sampai kapan perjuangan ini berakhir! Demi rasa kemanusiaan walaupun saya baru bertemu di UGD, saya langsung membawa kasus Siti Nuraini ini keDuty Manageryang bertugas, semoga status umumnya bisa dialihkan ke BPJS. Harusnya bisa, karena masih di UGD. Semoga,” tulis Yuli detil.
* * *
Kali lain, Yuli mengadvokasi gadis berusia 16 tahun yang tergolek lemah tak berdaya. Tak lupa, pada 26 Oktober 2015 kemarin itu, ia mengunggah foto si pasien, sekaligus menuliskan status fesbuk yang sekaligus menjadi catatan tugas advokasinya.
“Hari ini, aku diperlihatkan seorang anak yang tersia-sia. Sejak usia 3 tahun, ia ditinggal Sang Ibu yang meninggal dunia karena sakit. Sementara Sang Bapak tidak mau mengurus dan menyerahkannya ke Sang Nenek, ibu dari ibunya. Ketika akhirnya, Sang Nenek juga harus pergi ke alam baka, tinggallah Sang Anak dengan kerabatnya di daerah Gang Makmur, Larangan, Ciledug, Tangerang.
Tadi pagi, tiba-tiba si anak yang bernama Elin Rahmawati ini muntah darah tak henti-henti. Tubuhnya kurus karena menderita paru-paru. Ia tergeletak tak berdaya. Saya sekuat tenaga berupaya agar anak gadis berusia 16 tahun yang sudah putus sekolah dan harus bekerja di pabrik konveksi ini dapat tertangani dengan baik. Semoga lekas sembuh, dan semoga Sang Bapak yang tinggal di Semarang, dan sudah menikah kembali diberi petunjuk untuk dapat segera menengok anak gadisnya yang saat ini kondisinya sangat kritis,” tulis Yuli prihatin.
* * *
Catatan advokasi Yuli masih banyak. Misalnya seperti yang dituliskan pada 24 Oktober 2015 kemarin. Ia mengadvokasi pasien bernama M Nazirdi Tangerang.
“Bapak M Nazir ini warga Jombang, masuk di RS Husada Insani, Tangerang dengan status Umum yang harus bayar uang muka atau DP, dan nebus resep obat setiap harinya. Ketika keluarganya sudah kesulitan biaya, dan sedang berusaha cari uang tiba-tiba saja petugas RS berkata ke keluarga pasien bahwa obat ini harus ditebus dulu, kalau enggak ya terpaksa hari ini pasien enggak dikasih obat. Ada uang ada obat, begitu laporan keluarga pasien. Meluncurlah saya keRS Husada Insani, bertemu dengan perawat dan petugas.
Kata saya, “Maaf suster ini rumah sakit apa pasar? Aturan darimana ada uang ada obat? Pasien ini stroke dan obat adalah yang utama. Kalau ada apa-apa mau tanggung jawab? Padahal aslinya saya tuh orang yang jarang marah, cenderung mending diam. Tapi sejak di DKR jadi gampang marah apalagi ketemu kasus seperti ini, bawaannya emosi ajaaa. Tapi kata suster-suster yang habis saya marah-marah dan ketemu lagi di suasana yang santai, “Coba relawan-relawan kayak ibu”. Lho kenapa Suster? “Kalau marah pakai senyum dan masih berperikemanusiaan”. Jadi adem rasanya hati,” tulis Yuli.
* * *
Pada 13 Oktober 2015, Yuli menulis pengalaman advokasinya membantu pasien bayi laki-laki yang baru saja lahir. Bayi merah itu putra dari Nyonya Kurniati. Sayangnya, tidak disebutkan di rumah sakit mana kejadian ini.
“Malam 1 Muharam yang penuh barokah, sukses, dan berhasil mengadvokasi pasien bayi laki-laki, putra dari Ny Kurniati. Awalnya bayi tidak di-cover BPJS Kesehatan, dengan alasan masa aktif kartu terlambat 1 hari, padahal UU RS mengatur, 3 hari untuk kelengkapan administrasi. Petugas disuruh bikin surat pernyataan buat saya klaim ke BPJS Kesehatan Pusat namun ternyata enggak berani. Ya sudah, terpaksa saya ‘nembusin’ ke Kepala Jaminan. Dan, Alhamdulillah uang muka atau DP yang sudah terlanjur masuk dikembalikan, dan sang bayi pun di-cover BPJS Kesehatan,” urai si penggemar mendaki gunung.
* * *
Yuli sempat pula mengadvokasi pasien atas nama Marlinadi Ciledug yang hendak melakukan Operasi Caesar.
“Pagi ini diawali mengadvokasi pasien Ibu Marlina yang mau Operasi Caesar anak kedua di RS Bhakti Asih, Ciledug, Tangerang, mempergunakan BPJS Kesehatan kelas 3. Alhamdulillah di-cover. Cuma sayangnya, si (calon) bayi enggak dibuatkan BPJS Kesehatan, jadi buat bayi kenacash, harus bayar. Nah, buat ibu-ibu yang punya BPJS Kesehatan dan lagi hamil, tolong kalau si calon baby sudah di USG, segera buru-buru dibuatkan BPJS Kesehatan, dengan jenis kelamin dari hasil USG, buat jaga-jaga seandainya bayi yang lahir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” saran Yuli paten.
* * *
Yuli pernah juga mengadvokasi seorang kakek bernama Etong. Karena ketiadaan biaya, Etong hanya tergolek tanpa perawatan medis sama sekali.
“Bapak Etong ini warga Kampung Masjid, Jombang. Karena enggak ada biaya beliau terpaksa menahan sakit yang dideritanya sejak Lebaran kemarin. Alhamdulillah, bisa ketemu DKR, sehingga syarat administrasi dan rujukan kini sudah lengkap, besok tinggal bawa ke RSUD Pamulang. Ssemoga besok advokasinya berjalan lancar dan si kakek tertangani dengan baik. Masih terasa pelukan dan ciuman dari sang nenek yamg membuat seluruh tubuhku serasa bergetar. Seorang nenekrenta yang penglihatannya hilang karena Operasi Katarak yang gagal, begitu berharap kepadaku agar suami yang dicintainya bisa sembuh dan sehat kembali.
Seakan tak mau melepaskan pelukannya kepadaku mungkin penantianya yang panjang selama 3 bulan menghadapi suami sakit membuatnya nyaris kehilangan harapan, dan ketika aku yang memang dengan tugasku sebagai relawan melakukan hal kecil, dan biasa-biasa saja berdampak begitu besar terhadap keluarga ini. Aku hanya bisa beristighfar memohon kepada Allah SWT agar hatiku selalu terjaga dan dijauhkan dari kesombongan. Rasanya benar-benaramazing. Tak mampu aku lukiskan dengan kata-kata,” tulis Yuli membuat merinding.
* * *
Yang terbaru, adalah kasus yang menimpa pasien bernama Ibu Punirah, warga Tangerang. Hak layanan kesehatan menggunakan Kartu BPJS Kesehatan kurang terpenuhi dengan baik. Sementara kondisi kesehatan terus memburuk. Keluarga pasien panik luar biasa!
“Ibu Punirah, warga Poris Jaya, Batu Ceper, Tangerang ini peserta BPJS kelas II. Sudah 4 bulan menjalani rawat jalan ke Poli RSUD Kabupaten Tangerang. Penderita kista ini harus menjalani operasi dan dijadwalkan pada 28 Oktober 2015. Tapi operasi gagal dilakukan karena pasien suhu tubuhnya tidak normal. Kemudian, pasien malah disuruh pulang. Sampai di rumah keadaan memburuk, keluarganya bingung, trauma dengan RSUD. Lalu, pasien dibawa ke RS Husada tapi ditolak dengan alasan kamar penuh.
Karena anaknya bekerja sebagaicleaning servicedi RS Awal Bros di BSD, maka dibawalah sang ibu ke sana. Tapi ternyata itu juga tidak membantu, pasien ditolak dengan alasan kamar penuh. Panik dan kalut melihat ibunya semakin lemah, maka dibawalah sang ibu berobat ke RS Mayapada di Perumahan Modernland DENGAN STATUS UMUM. Keluarga berusaha cari uang buat deposit sebesar Rp 15 juta. Baru 2 hari dirawat pasien kemudian dioperasi, setelah itu karena pasien belum pulih benar, dan kondisinya masih koma maka harus dirawat di HCU. Hari ini sudah 5 hari pasien di RS Mayapada. Total seluruh biaya tagihan Rp 53 juta”.
“Suami dari Ibu Punirah, baru saja sembuh dari sakit tahu biaya rumah sakit membengkak dan langsung menjual kendaraan angkot tua satu-satunya, guna membawa pulang sang istri yang masih koma. Alhamdulillah, melalui ibu RT setempat, kasus ini sampai ke saya. Maka, prioritas saya adalah menenangkan suaminya yang kalut, bahwa istrinya jangan dibawa pulang dengan kondisi koma. Dengan sekuat tenaga saya yakinkan, berapa pun uang yang dia punya, akan cukup untuk istrinya. Saya akan negosiasi dengan Direktur Keuangan RS ini, dan secepatnya sang istrinya, saya usahakan pindah ke RSUD agar dapat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan yang sudah jadi haknya.
Cukup lama saya menyakinkan sang bapak yang akhirnya, matanya memerah, dan berkaca kaca. Terima kasih banyak Bu Yuli katanya lirih. Saya benar-benar terharu. Dalam hati, saya bertekad harus bisa menangani pasien ini. Semoga besok Senin (9 November 2015 –red)) pejabat-pejabat di BPJS, dan di RSUD, bisa ‘membuka mata’, enggak ‘merem’. Semoga Alloh memudahkan urusan ini, aamiin”
Semoga langkah Yuli Supriati tak pernah surut. Membela dan mengadvokasi masyarakat demi memperoleh Hak Layanan Kesehatan.
Insya Alloh ... aamiin.
- - - -