Mohon tunggu...
Mas Gandeng
Mas Gandeng Mohon Tunggu... Client Relationship Manager -

Blog ini adalah kumpulan tulisan-tulisan dan tips-tips buat kamu yang masih jomblo, galau dan sedang jatuh cinta. Tulisan yang tersaji disini adalah murni dari pengalaman sendiri, curhat orang lain, dan pendapat pribadi. Jadi kamu akan menemukan tulisan asli yang bukan copy paste dari artikel orang lain. Sumbernya tulisan dan foto akan diinformasikan dengan lengkap jika diambil dari sumber lain. Jadi, Jangan takut untuk berbagi karena semakin banyak kamu berbagi, semakin kita tidak sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Banyak Bicara

11 September 2016   07:15 Diperbarui: 11 September 2016   09:18 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

A fool is made more of a fool, when their mouth is more open than their mind.
― Anthony Liccione

Pernah tidak kamu bertemu dengan orang yang banyak bicara? atau pernah tidak kita sadar malah kita yang banyak bicara? Ada sebuah penelitian yang mengatakan bahwa bicara itu bisa membuat kecanduan. Ada alasan logisnya, pertama secara alami kita ingin didengarkan dan kedua proses berbicara itu melepaskan hormon dopamin. Hormon dopamin ini adalah hormon yang dihasilkan oleh otak kamu untuk membuatmu lega. Contohnya ketika kamu tertawa, bergurau bahkan saat berhubungan seks, maka otak kamu akan menghasilkan hormon dopamin. Itulah alasannya kenapa kamu terus berbicara karena ada rasa nikmat saat berbicara.

Menurut Mark Goulston ada tiga tahap berbicara kepada orang lain. Tahap pertama kamu berada dalam pembicaraan yang sesuai dan ringkas. Tetapi lama kelamaan kamu akan menemukan bahwa semakin lama kamu berbicara maka semakin pula kamu merasa lega. Begitu nikmatnya sampai-sampai ketegangan yang kamu rasakan menjadi ringan. Tetapi berkebalikan dengan lawan bicara kamu, mendengarkan kamu terlalu lama bicara itu tidak menyenangkan baginya. Itulah tahapan kedua dimana kamu merasa begitu nikmat dan lega berbicara, kamu tidak menyadari bahwa orang lain tidak mendengarkan kamu bicara.

A loud mind is greater than a loud mouth. 
― Matshona Dhliwayo

Akhirnya sampailah kamu ditahapan yang ketiga. Pada tahapan ini kamu menyadari bahwa kamu bicara terlalu melebar kemana-mana dan kamu juga mulai menyadari bahwa kamu mungkin perlu memberi kesempatan teman kamu untuk bicara. Tetapi jika kamu melihat bahwa orang tersebut gelisah mendengarkanmu bicara atau merasa tidak nyaman, bukannya kamu memberi dia kesempatan bicara tapi sayangnya malah kamu berusaha terus bicara untuk mengembalikan minat mereka mendengarkan kamu. Bahasa gaulnya adalah kamu malah salah tingkah.

Apakah kamu pernah menyadari hal itu? Saya juga pernah bahkan sampai saat ini sering mengalaminya. Makanya kadang saya dibilang bawel karena saya ingin terus bicara. Akan tetapi ada satu hal yang menyadarkan saya bahwa benar kalau saya memang terlalu banyak bicara. Saya pernah ditegur oleh teman yang sedang curhat. Sebagai orang yang mestinya mendegarkan, katanya saya terlalu banyak bicara. Tentu hal ini memalukan, tetapi saya juga mensyukuri dia menegur karena saya kembali melihat diri saya mungkin ada hal-hal tertentu yang perlu saya rubah. Untuk itu, saya mencoba mengurai ide Mark Goulston seorang business psychiatrist dan semoga bisa membantu kamu untuk menjalin komunikasi bersama teman, rekan kerja, orang tua bahkan pacar atau pasangan hidup kamu.

Great people talk about ideas, average people talk about themselves, and small people talk about others.
― John C. Maxwell, The 360 Degree Leader: Developing Your Influence from Anywhere in the Organization

Mark mengatakan berbicara itu ibaratnya seperti lampu lalu lintas. Dua puluh (20) detik pertama kamu berbicara adalah lampu hijau. Situasi ini adalah situasi dimana teman bicara kamu menyukainya, dengan catatan sejauh pembicaraan itu sesuai dengan apa yang kamu bicarakan bersama dia. Dua puluh (20) detik berikutnya lampu kamu berubah berwarna kuning. Situasi ini adalah dimana teman bicara kamu mulai kehilangan  minat terhadap apa yang kamu bicarakan atau kamu itu terlalu bertele-tele. Dengan demikian empat puluh (40) detik kamu bicara, lampu kamu sudah berwarna kuning. Lebih dari empat puluh detik maka lampu kamu berubah menjadi merah. Menurut Mark, kamu mungkin ingin tetap bicara tetapi ada baiknya kamu berhenti karena kamu berada dalam "bahaya".

Jadi lampu merah tersebut adalah langkah-langkah dimana kamu memeriksa diri kamu apakah kamu terlalu banyak bicara. Mungkin menurut kamu penting bahwa kamu bisa lega, atau kamu ingin mengeluarkan ide-ide secara jelas, atau kamu mau bicara karena kamu terlalu banyak mendengar orang bicara. Dan ketika ada orang lain memberikan kamu kesempatan bicara, kamu malah tidak berhenti bicara. Apa pun yang terjadi, yang ada pembicaraan kamu malah memburuk dan menjadi satu arah.

Ada alasan kenapa kamu itu bertele-tele saat bicara karena kamu berusaha memberikan kesan ke temanmu dengan cara bicara cerdas. Nah kamu harus sadari, bukannya kesan bagus yang kamu dapat malah kamu sama sekali tidak memberi kesan yang kamu inginkan ke dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun