Mohon tunggu...
Iin Nuraini
Iin Nuraini Mohon Tunggu... Guru - guru penulis penikmat buku

Guru di SD Al Islam 3 Gebang Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Memburu Hidup: Kehampaan dan Keindahan

3 Desember 2019   08:26 Diperbarui: 3 Desember 2019   09:49 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  • Judul Buku           : “Kemolekan Landak”
  • Pengarang                : Muriel Barbery
  • Penerbit                    : PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta
  • Tahun terbit            : 2017
  • Dimensi buku          : 13,5 x 20 cm (362 hal)
  • Harga buku              : Rp.

"Buku dapat merubah takdir seseorang. Begitulah hidup antara memilih dan memilah. Untuk sekedar hidup, kita pasti tak memiliki buku sebagai teman kencan dalam berpikir dan menggagas. Juga bukan berarti buku sebagai hal yang perlu dikultuskan. Dalam arti, dari buku kita punya bahan untuk mengomel, membual dan ber-apriori dengan asyik. Tentu, tata bahasa yang kita baca mengundang dan mengandung ribuan persepsi, candu, serta kegilaan.

Tulisan-tulisan Muriel Barbery (MB) dalam bukunya Kemolekan Landak, memunculkan banyak hal yang tak terduga, guyonan satire-nya yang khas juga kondisi-kondisi yang digambarkan secara nganyeli. Tentu hal demikian menggelitik saya, mata rasa penulis begitu sensitif dan jujur. Selain bicara tentang ideologi, kehampaan, keputus-asaan, kematian dan kemudian hidup lagi, MB menulisnya dengan blak-blakan dan penuh gelora.

Tokoh Renee dan Paloma gantian berkisah dengan ke-akuannya. Kita mendapati sebuah penolakan akan hidup yang membosankan. Seperti yang Renee rupakan dalam perkenalannya, "Aku janda, pendek, tidak cantik, agak gendut, kapalan di jemari kaki dan kalau kucium sendiri, napasku bau seperti mamot. Aku tidak pernah kuliah, selalu miskin, tidak menarik perhatian, dan tidak penting." 

Di negaranya yang beradab, kasta sosial masih menjadi sesuatu yang diperhitungkan. Tampilan secara umum memberi kesan pada masyarakat secara klise. Demikian juga Renee, tokoh pembisu ini menampik kehadiran diri sendiri di tengah-tengah kehidupan sosial. Ia mencoba untuk layak diperhitungkan, meskipun harus berpura-pura menjadi orang yang tolol dan bodoh

Seolah-olah menjadi satu-satunya juri yang sinis, Renee mencoba membikin citra klise seperti penjaga gedung pada umumnya. Meski ia tahu, ia hanya ingin bersembunyi dan nyaman dengan persembunyiannya. Ia suka menilai sesuatu hal yang remeh berkaitan dengan nilai hidup yang acapkali terlupakan. Gaya kaum borjuis, tata bahasa kelas atas, juga penampilannya mampu bicara tentang kepatuhan dan kesombongan, melankolis dan keangkuhan. Seperti dalam kritikannya, "Ada saja orang yang tidak mampu menangkap hidup dan napas hakiki dari segala yang tampak di depan matanya. Orang-orang seperti itu tidak habis-habisnya berceramah perihal manusia ; membuat manusia jadi serupa mesin, tidak berjiwa, dan dapat direduksi menjadi sekadar wacana"

Kemelaratan menjadi keberangkatan yang manis dalam drama kaum sosialis. Miskin, kesendirian, belas kasihan akan menjadikannya sebuah keberadaan yang agung. Tentu analisis lembut dan penuh perhatian, dibicarakan dalam takaran iba, berbelas kasih. Penulis memberikan peran yang vital pada diri Renee untuk mewakilkan keelokan hidup negaranya yang (baginya) memuakkan. Kecerdasannya muncul karena lapar akan hidup.

"Aku belajar membaca di luar pengetahuan semua orang... tak seorangpun tahu. Aku  membaca seperti orang kesurupan, awalnya hanya sembunyi-sembunyi, kemudian saat waktu normal pelajaran kelihatannya akan berakhir, aku terang-terangan membaca di hadapan semua orang ...." Jiwanya yang lapar itu, kemudian memburu arti hidup. Dengan membaca orang-orang di sekitar, membaca buku. Banyak buku. Banyak orang. 

Dalam pertemuannya dengan tokoh Kakuro Ozu, orang Jepang pendatang baru di Gedung apartemennya, Penulis mulai bicara budaya dan tradisi Asia. Orang Eropa yang bicara Asia tentu sangat sensitif, sinis, tak jarang memuja. Dalam hal ini, penulis mengungkapkan budaya Jepang yang tertanam dalam simbol-simbol, arsitektur,  gerakan para perempuan berkimono, juga filosofis pintu geser yang ada dalam ruang apartemen tuan Ozu. Ia serta merta mengkritik ketidak-efisiensinya pintu jenis terbuka dengan mengatakan bahwa "tidak ada yang lebih buruk dari sebuah pintu jenis ini (daun pintu biasa), lebih-lebih yang tengah terbuka. Dia menjadi sekat pembatas, persis parasit yang meruntuhkan kepaduan ruang." Alih-alih menghela napas lega, Renee membandingkan tradisi Perancis itu, hanya tahu bagaimana melakukan serentetan dobrakan.

Paloma, seorang anak berusia 12 tahun yang cerdas, pendiam dan suka sembunyi ini dianggap stress oleh keluarganya. Tingkat kecerdasannya setingkat dengan kegilaannya untuk bisa berpikir tentang masa depan dan kematian. Ia bicara psikoanalisis Freud dan kekhawatiran akan hidup yang sia-sia karena ia habiskan dengan orang-orang (ayah, ibu, dan kakaknya) yang menyebalkan. Namun demikian, ia masih percaya dengan harapan agar bertemu dengan takdir baik.  "Sementara aku, aku mohon kepada takdir untuk memberiku kesempatan melihat melampaui diriku sendiri dan akhirnya bertemu dengan seseorang." Tentu seseorang di sini adalah orang yang ia anggap berarti.

Dalam memandang seni, ketiga tokoh Renee, Paloma, dan Tuan Ozu memiliki mata dan rasa yang sama. Saling bertemu. Mereka memahami bahwa seni merupakan perasaan, bukan keinginan. Seperti yang dikatakan Renee, Anda akan terkejut dengan apa yang dikatakan rakyat kecil. Mereka lebih menyukai cerita daripada teori, anekdot ketimbang konsep, gambaran dibanding gagasan. Itu tak menghalangi mereka berfilsafat. Deskripsi dari pemikiran orang melarat ini, satu-satunya antitesis untuk bisa bertahan hidup. Kebosanan, kekhawatiran, kekurangan akan menggerogoti peradaban dunia.

Pembahasan tentang tata bahasa, film, lukisan, tanaman bonsai, bahkan ritual minum teh adalah sesuatu yang mereka nikmati serupa menikmati keputus-asaan, kegelisahan, menunggu bahagia. Pergerakan-pergerakan alami dan pemikiran yang mendalam adalah masalah waktu menuju keabadian yang agung. "Sebab Seni adalah kehidupan, tapi pada irama yang berbeda." Mereka dipertemukan dengan tali-tali batin yang saling berpagut. Dua orang dewasa yang berdebar jantungnya saat bertemu membuat obrolan-obrolan yang lucu dan kikuk. Betapa perasaan tak bisa diungkap meski kita menyangkalnya berkali-kali. Sedang perempuan yang menjadi janda belasan tahun itu telah lupa bagaimana menjadi terpesona dan tersipu. Begitukah hidup berjalan?

Pada akhirnya, kelemahan dalam sebuah bacaan adalah ketika takdir tidak sesuai dengan apa yang pembaca inginkan. Kematian Renee, setidaknya membawa kebahagiaan di sisa-sisa ingatannya di dunia. Wajah-wajah terkasih melintas di sisa penglihatannya : Paloma, Tuan Ozu dan Manuela. Bunga-bunga kamelia bermekaran, musik klasik gubahan Satie mengalun, menjadi ilustrasi pergerakan indah di kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun