Mohon tunggu...
Galahad Langit Pradana
Galahad Langit Pradana Mohon Tunggu... Penulis

Galahad Langit Pradana adalah sebuah pseudonym, atau pen name diciptakan hanya untuk satu tujuan yaitu untuk melindungi privasi penulis karena perlindungan data pribadi belum dilindungi di Negeri ini, terinspirasi dari Nama MULTATULI

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menebus Dosa Birokrasi : Nasib Honorer dan Paradoks Kebijakan ASN

17 Oktober 2025   10:39 Diperbarui: 17 Oktober 2025   10:39 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sejak disahkannya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN), wajah birokrasi Indonesia memasuki babak baru yang disebut-sebut lebih modern, profesional, dan berbasis meritokrasi. Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak lagi menjadi satu-satunya wajah aparatur negara, sebab lahirlah entitas baru bernama Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Langkah ini dimaksudkan untuk menuntaskan masalah klasik tenaga honorer---mereka yang telah puluhan tahun mengabdi tanpa kejelasan status maupun kesejahteraan. Namun, kebijakan yang sejatinya progresif itu justru melahirkan dilema baru: ketimpangan status, perlakuan, dan pengakuan antara dua entitas yang sama-sama disebut "ASN".

Paradoks ini menjadi menarik ketika dikaitkan dengan dinamika sosial dan budaya birokrasi di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah berusaha melakukan reformasi kepegawaian yang adaptif terhadap perubahan zaman, terutama dalam konteks digitalisasi pelayanan publik. Di sisi lain, banyak pegawai senior yang masih berpegang pada sistem lama dan kesulitan beradaptasi dengan transformasi teknologi. Kesenjangan kemampuan ini justru menjadi celah munculnya tenaga honorer yang lebih muda, melek teknologi, dan menjadi tumpuan instansi dalam menjalankan fungsi administratif maupun digital. Ironisnya, para tenaga honorer ini kemudian terjebak dalam lingkaran ketidakpastian yang panjang hingga akhirnya dilegalkan sebagai PPPK---status yang di satu sisi memberi pengakuan, namun di sisi lain membatasi hak dan mobilitas karier mereka.

Kebijakan pemerintah dalam mengangkat tenaga honorer menjadi PPPK dapat dilihat sebagai bentuk "penebusan dosa birokrasi" atas kesalahan masa lalu yang menelantarkan ribuan pekerja di sektor publik tanpa kepastian hukum. Akan tetapi, kebijakan ini belum sepenuhnya menghapus akar masalah yang sebenarnya: struktur ASN yang masih dikotomis, sistem karier yang tidak seimbang, serta mentalitas birokrasi yang belum benar-benar terbuka terhadap reformasi. Dengan kata lain, langkah pemerintah ini lebih menyerupai tambalan atas luka lama ketimbang penyembuhan yang sesungguhnya. Pertanyaannya, apakah pengangkatan honorer menjadi PPPK benar-benar menjadi solusi permanen, atau justru membuka babak baru dari panjangnya paradoks kebijakan aparatur sipil negara?

Aparatur Sipil Negara atau yang lebih kita kenal dengan nama "ASN" dewasa ini menjadi salah satu profesi yang digemari oleh rata-rata Masyarakat Negeri ini, bagaimana tidak, dalam profesi ini menawarkan "kestabilan" dari sisi pendapatan dan jaminan hari tua, maka tidak heran para orang tua yang dahulu-nya merupakan ASN mendorong anak keturunannya untuk menjadi seperti mereka.

ASN merupakan istilah baru yang digunakan dewasa ini, jika dahulu menggunakan istilah PNS (Pegawai Negeri Sipil) maka sekarang melalui Implementasi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara No. 20 Tahun 2023 digunakan istilah ASN karena, merujuk pada Undang-Undang tersebut ASN terdiri dari PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).

Melalui Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, Pemerintah berusaha menyelesaikan permasalahan yang telah menjadi "dosa" turun-temurun tentang pegawai "honorer", pegawai yang telah bekerja puluhan tahun di Pemerintahan tanpa kepastian status dan gaji, menjadi hal menarik Ketika muncul pertanyaan "sudah tau gaji tidak tentu kenapa setia menjadi pegawai honorer?" ada berbagai factor yang dapat menjawab pertanyaan ini, menurut penulis kenapa mereka tetap bertahan pertama mereka sudah mengabdi sekian puluh tahun atas dasar tuntutan ekonomi, kedua karena tuntutan ekonomi ini mereka terpaksa bekerja dengan gaji seadaanya hanya untuk sekedar makan untuk dirinya dan keluarganya, ketiga persyartan maksimal umur yang diberlakukan di negara ini, mereka yang telah kadung mengabdi puluhan tahun akhirnya mengahabiskan umur mereka di instansi tersebutnya Ketika akan keluar dari instansi tersebut mereka tersandung persyaratan umur, sehingga tidak banyak pilihan untuk mereka selain bertahan secara garis besar faktor mereka bertahan Adalah tuntutan ekonomi lalu terjerumus hingga akhirnya kehabisan umur untuk mendaftar pekerjaan lain.

Faktor lainnya yang menarik Adalah ketidakmampuan pengetahuan sumber daya manusia dalam instansi itu sendiri, logika sederhana Ketika semua sumber daya manusia dalam suatu instansi dapat adaptif dengan kemampuan teknologi informasi yang berkembang secara cepat dan massif maka tidak mungkin instansi tersebut membutuhkan tenaga honorer, faktanya banyak para pegawai pemerintah yang akan menjelang pensiun malas untuk membuka surat elektronik yang ada dalam akun instansi, lebih daripada itu untuk membuat email saja mereka kesulitan, sementara perkembangan teknologi kian massif, transformasi dari mesin tik, ke keyboard dan mouse sulit untuk mereka pahami, atas ketidakmamapuan tersebut maka para instansi tersebut dan didorong oleh transformasi teknologi informasi maka mereka mendelegasikan tugas tersebut kepada para anak muda yaitu para pegawai honorer, ini yang menjadi fakta menarik tidak jarang Ketika kita berurusan dengan para pegawai pemerintah yang berkaitan dengan kompter dan sebagainya mereka menyuruh orang lain untuk mengerjakan hal tersebut.

Ditambah dengan aturan pemerintah yang memperpanjang usia pensiun untuk para pegawai tersebut dari usia 56 tahun menjadi 58 tahun dan ada formasi lain menjadi usia 60 tahun, dapat kita bayangkan bagaimana seorang pelayan Masyarakat yang berusia 60 diwajibkan untuk melakukan face absen? Terlebih lagi Masyarakat kita telah melek teknologi sementara orang di dalam pemerintahannya masih terseok-seok dalam penguasaan hal tersebut, seharusnya ini menjadi refleksi atas kebijakan penambahan usia pensiun tersebut, hal tersebut Adalah dampak dari kebijakan Moratorium penerimaan PNS selama 10 tahun, sekedar mengingatkan Kembali pada saat itu pemerintah melakukan moratorium atau penghentian penerimaan pegawai negeri sipil dengan alasan membebani keuangan negara, dengan alasan tersebut melegitimasi pemerintah untuk menghentikan calon pegawai negeri sipil, ini berdampak pada adanya "pemotongan" generasi sementara pegawai yang sudah tidak cakap dipaksakan diperpanjang usia pensiun dan para lulusan baru atau fresh graduate semakin menumpuk dan tidak tersalurkan.

Moratorium memberikan dampak adanya pemotongan generasi selama 10 tahun dimana generasi tua yang seharusnya sudah bisa beristirahat dipaksa untuk terus bekerja dengan keadaan transformasi digital sedang gencar dan massif, akibat dari pemotongan generasi ini Adalah keterlambatan birokrasi pemerintah untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi sehingga dengan terpaksa merekrut pegawai honorer yang notabene Adalah para anak muda yang melek teknologi,dikarenakan lapangan kerja yang kian sulit sehingga para fresh graduate terpaksa membantu menjadi pegawai honorer tidak semua honorer yang masuk dalam suatu instansi merupakan anak titipan ada juga dari mereka yang masuk melalui jalur seleksi, karena instansi tersebut membutuhkan orang IT maka mereka diseleksi apakah mereka benar bisa menggunakan IT atau tidak, dan faktanya yang melamar untuk menjadi honorer membludak, tahun berganti pemerintah tetap mempertahankan moratorium dan memperpanjang masa pensiun, kesenjangan penguasaan teknologi makin lebar, sehingga tidak jarang kita melihat oknum honorer yang menipu atasannya, karena atasannya tidak mau membaca ulang apa yang telah dituangkan oleh oknum honorer tersebut, dan instansi tidak dapat berbuat banyak karena yang memahami sistem operasi Adalah para honorer yang jika dilakukan pemecatan maka berpotensi melumpukan pelayanan kepada Masyarakat.

Perlu kita kritisi dan pikirkan kembali apakah pengangkatan para honorer menjadi PPPK akan menjadi jalan keluar yang bersifat permanen atau merupakan jalan pintas untuk menebus dosa turunan dari pemerintahan sebelumnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun