Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Walikota Jerman Tak Harus Duduk di Depan

3 Maret 2015   23:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:12 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425374949865445365

Hari yang sendu. Salju masih turun hari itu, menambah serakan salju sisa kemarin-kemarin. Temperatur udara, satu derajat celcius.

Itu adalah hari berkabung. Seorang kakek dari tetangga sebelah kanan kami meninggal hari Sabtu. Setelah dibakar, pemakaman baru dilaksanakan beberapa hari kemudian. Saya masih ingat betul, akhir tahun lalu, almarhum baru saja membeli mobil SUV BMW warna gelap. Si kakek adalah pemilik sebuah perusahaan spare parts alat kedokteran yang ia dirikan 25 tahun yang lalu.

Kami berdua sudah siap menuju gereja. Lima menit sebelum pukul 13.30, kami tiba. OMG, gereja sudah penuh, pintu utama dari kayu kami buka. Dua langkah kemudian, ada pintu kaca. Saya buka. Kami berdiri di depan pintu masuk kedua itu. Karena pintu adalah tempat keluar masuk orang, saya usul suami untuk berdiri di tangga sebelah kanan pintu (menuju atas adalah balkon, tempat pemain orgel gereja memainkan musik). Sebelum ke kanan, saya lihat ke kiri. Ada wajah terkenal yang saya temui di sana. Saya sapa seorang Burgermeister, walikota setempat yang saya kenal dari acara pameran foto bersama kampret tahun 2013 yang lalu.

“Hallo“ kepala saya mengangguk pada beliau yang juga berdiri di depan pintu kedua gereja. Tangannya yang sedakep (dilipat di dada) agak goyang karena beliau ikut menganggukan kepala.

Kami mengikuti acara resmi gereja. Terdengar lagu rohani, doa, ceramah dari pastor dan asistennya dalam bahasa Jerman. Saya menyimak betul riwayat hidup almarhum yang dibacakan di podium. Oh, ya. Hampir semua yang hadir adalah lansia. Barangkali teman almarhum (75 tahun). Usia si kakek memang belum cukup tua untuk ukuran orang Jerman. Banyak orang di daerah kami yang mampu mencapai di atas 80-90 an dan masih sehat. Sayangnya, almarhum menderita beragam penyakit organ dalam, salah satunya tidak berfungsinya ginjal, stroke dan masih banyak lagi komplikasi lainnya.

Tak berapa lama, acara gereja selesai. Satu jam! Pukul 14.30 para tamu keluar menuju depan makam yang hanya berseberangan dengan gereja. Abu itu masuk liang. Penghormatan terakhir, saya baca doa sesuai keyakinan saya. Salju turun membasahi seluruh tubuh para manusia yang dibalut warna hitam.

[caption id="attachment_400649" align="aligncenter" width="384" caption="Semoga diterima di sisi-Nya (dok.Gana)"][/caption]

***

Pulangnya, kami ngobrol soal si kakek yang memang ramah dan baik hati itu. Ditambah, saya diskusi dengan suami soal; pejabat harus duduk di depan. Ini sudah biasa di Indonesia. Baik pak RT, pak RW, pak lurah, pak camat, pak bupati, pak walikota, dan jabatan ke atas ... semua duduknya memang di depan. Entah karena memang sudah memposisikan diri di sana secara otomatis atau memang ada petugas yang mempersilakan untuk menduduki tempat yang sudah direservasi sebelumnya. Padahal datangnya telat atau belakangan dan semua tempat sudah penuh.

Budaya Indonesia ini juga membanggakan saya bahwa meski kadang mundhuk-mundhuk (hormatnya orang kita) kadang terlalu kebanyakan, menghormati orang yang lebih tua, dituakan atau pemimpin itu masih ada, lestari. Pelajaran ini, sepertinya langka di Jerman. Lah, wong sama orang tua saja juga tidak seperti di Indonesia. Etika anak menghormati, menghargaidan berbakti pada orang tua, tidak selalu ada. Caranya beda. Namanya juga Jerman, lain negara lain budaya.

Sedangkan di Jerman, lain. Kalau mau duduk di depan, ya harus datang lebih awal. Kalau mepet atau bahkan terlambat ya, harus duduk di belakang, bahkan berdiri atau tidak dapat tempat sejengkal pun. Mau Burgermeister, mau Oberbürgermeister, mau punya perusahaan besar, mau rakyat biasa, mau pengangguran sekalipun ... sama saja haknya menduduki kursi paling depan. Boleeeh.

Ya. Ada nilai baru yang saya tangkap di sanabahwa keadilan ditegakkan, kedisplinan dipegang betul tanpa pandang jabatan, status, pangkat dan derajatnya.

Contoh soal kursi di acara layat di gereja di mana walikota berdiri di depan pintu bukan duduk di barisan paling depan itu, juga menjadi salah satu gambaran bahwa status pemimpin bukan sebagai jaminan untuk duduk di kursi terdepan.

Nah, bagi yang sudah biasa jadi pemimpin di Indonesia (manager, ketua, direktur, bos, dan sejenisnya) lalu bekerja di perusahaan atau lembaga di Jerman, jangan harap perlakuan yang sama yang kerap diterima di tanah air akan terjadi selama di sini. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Tidak ada perbedaan.

Indahnya Indonesiaaaaa. Uniknya Jerman. Selamat pagi Jerman, selamat sore Indonesia. (G76)


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun