Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Belajar Sabar dari Obat Batuk

1 Desember 2022   23:46 Diperbarui: 1 Desember 2022   23:54 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Aww. Jam lima sore. Aku baru saja tiba dari kampus satu jam yang lalu. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan. Kami ada kuliah sampai jam 3 sore. Bahkan ada jadwal 2 ujian yang selama seminggu lalu menguras energi. Habis dari sana, belanja buah di minimarket dekat rumah karena anak sakit, minta sajen. Yailah. Makanya sampai rumah agak telat, deh.

"Eh, tante, emang umurnya berapa, kok masih kuliah?" Wkwk ... ada, deh. Yang penting "cashing" masih bagus dan otaknya masih ada tempat buat diselipin ilmu. Xixixi ... yang penting sedap, kuliah di Jerman gratis dan ada uang saku untuk bulanan segala karena ada dual system di sini yang aku menangkan. Jadi harus melamar ya, karena kayak beasiswa gitu, deh. Ada 8 lamaran yang kukirim. Yang 7 menolak mentah-mentah. Tuhan nggak pernah tidur, nomor 8, nomor cantik. Aku diterima!

Ya, udah, sekarang aku mau cerita tentang kisah sederhana yang mungkin bisa kalian yang masih muda-muda telan (dani).

Begini, kelas kami terdiri dari 30 mahasiswa/i. Tiga di antaranya sudah gugur. Orang pertama, sudah dari hari pertama nggak hadir, sudah ngabur. Jangan dicontoh, ya. Pertama usaha dulu semaksimal mungkin. Kalau gagal, coba lagi! Yang kedua, adalah mahasiswi termuda, 16 tahun. 

Rambutnya kayak Elsa gitu, deh, pirang dan panjiang. Gemesin, nggak sih. Walaupun nilainya bagus tapi dia merasa bahwa menjadi guru TK atau sosial pedagogik di tingkatan sekolah lain, bukan jalannya. Ia mau jadi perias aka tukang salon. Lah iya, dia itu cuantiknya ngalahin artis sinetron kita, yo. Walau duitnya lebih sedikit, tapi kerja di salon adalah impiannya sejak kecil. Aku geleng kepala. Gaji pertama guru TK di sini itu 2300 euro atau 30 jutaan. Gajinya bisa naik sampai 3500 euro atau 50 juta. 

Gaji dari salon berapa? 400 euro atau 5 jutaan rupiah? Kalau banyak yang potong rambut atau perawatan, sih OK, kalau pandemi salon ditutup, apa harus makan rambut? Tapi itu urusan teman ya, kan kalau kerja nggak pakai hati sama juga bohong. Lagian yang mau kerja di salon dia, kok, mosok aku yang nyap-nyap. Nggak seru.

Yang kedua adalah seorang ibu beranak tiga, dengan usia 42. Ia berhenti di tahun kedua karena merasa anak-anak lebih membutuhkannya. Perhatian khusus untuk memotivasi anak-anak supaya rajin sekolah. Lah gimana, ibunya ngampus, anaknya bolos, tuh. Repot, kan? Akhirnya ia ikut kuliah online. Kuliah tentang perbidanan dari rumah sambil awasi anak-anak saat belajar pada siang usai pulang sekolah.

Karena kuliah di Jerman itu ya, bikin rambut bisa keriting. Atau yang rambutnya keriting bisa langsung lurus tanpa dicatok! Nggak percaya? Gimana nggak, bahasa Jerman menurut saya itu kok, susah banget gitu, lho. Sudah tinggal lama dan sudah pernah kursus tapi tata bahasanya masih salto saja. BT. Untungnya dengan siasat belajar tiap hari, membuat nilai ujianku lumayan. Paling nggak, termasuk 1/3 mahasiswi yang nilainya bagus. Bahkan tahun pertama mendapat penghargaan karena IP nya masuk kategori. Tipsnya, ngapalin bahan ujian tuh harus komat-kamit kek ngapalin mantra, nih. Wkwkw. Beneran.

Yup. Untuk membuat betah di kampus, butuh dong, teman dekat. Nah, kebetulan aku dekat dengan teman yang duduknya sebelahan. Karena dia juga orang asing seperti aku, kami punya pengalaman yang sama. Senasib. Kami tahu betul rasanya jadi orang asing di Jerman itu nelongso. Ya Oloh ... jangan hanya dilihat manisnya, ya, penderitaannya juga banyak, lho. Lain kali aku ceritain. Kayaknya tinggal di luar negeri itu keren, banyak pedihnya, euy!

Nah, selain demi kebaikan lingkungan hidup supaya nggak banyak polusi (secara aku ini juga aktivis lingkungan dan sosial), sebagai teman dekat dan baik, aku suka nganterin dia pulang sampai depan pintu rumahnya. Ya, namanya solidaritas, ya, dia kan mobilnya cuma satu. Kalau suaminya kerja, dia nggak bisa pakai mobil. Kalau beli tiket bus selain bus hanya setengah jam sekali lewat, juga mahal, lho. Langganannya 60 euroan sebulan atau 800 ribuan rupiah. Aku putusin, ya sudah berangkat dijemput dan pulang dianter kayak taksi, deh. Toh, kami sekampung. 

Walau muter sedikit, beda 1-2 menit aja, nggak ada bedanya. Dan amal itu kan harus dilakukan di mana saja dan kapan saja, bukan. Mumpung masih hidup. Kalau udah mati, nggak bisa amal kan, sebab sudah tak hidup lagi. Kalau ninggalin utang, ada yang masih bisa sih walau telah meninggalkan dunia....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun