Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Begini Gambarannya Kalau Kelas Terbagi Dua

18 Juni 2021   17:20 Diperbarui: 18 Juni 2021   17:42 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebelum pelajaran dimulai, tes dulu (dok.Gana)

Entah sudah berapa babak pandemi akibat virus corona dan kawan-kawan. Banyak orang di sekeliling saya yang sedih, susah dan tertekan. Walaupun demikian, saya yakin, kita harus tetap positif bahwa selalu ada hikmah di balik musibah.

Misalnya karena harus selalu di rumah, zoom Koteka, komunitas yang lahir di Kompasiana sejak 2015 booming karena kita bisa tetap di rumah namun tersambung ke seluruh dunia dalam satu jari. Luar biasa teknologi canggih itu, ya.

Nah, sebagai siswa salah satu sekolah di Jerman, saya tetap menikmati WFH. Yang artinya, saya dirumahkan dari sekolah, tapi tetap bekerja di taman kanak-kanak karena ada program day care gawat darurat, bagi orang tua yang harus tetap bekerja nggak bisa WFH seperti dokter, perawat dan polisi.

Selama sekolah online, banyak teman-teman yang stress karena merasa bahwa pelajaran yang disampaikan tidak diserap dengan baik lah, teknis yang kadang tidak mendukung karena internet sinyalnya lemah lah atau alatnya (tablet, HP, laptop) ngadat serta boring, mau keluarrrr bawaannya.

Tes swab dulu sebelum kelas dimulai

Alhamdulillah. Sejak seminggu yang lalu, kami sudah diperbolehkan untuk kembali ke kelas, mengingat insiden di kota kami di bawah 100 orang. Jika nanti mencapai 100 orang yang terinfeksi, maka akan dipulangkan lagi. Ngenes.

Kota kami, Tuttlingen adalah kota industri alat kesehatan dunia. Sayang, masuk lima besar kota di Jerman yang memiliki angka penderita tertinggi. Prestasi yang sungguh bikin nggak bangga sama sekali; daerah merah, walaupun tidak semerah Kudus.

Nah, sebelum diperbolehkan untuk masuk kelas, kami harus membawa surat pernyataan bahwa kami bersedia dites cepat untuk mengetahui kami negatif atau positif. Sekolah akan memberikan sertifikat yang berlaku selama 60 jam (hampir tiga hari) ditandatangani guru yang mengetes.

Ini bisa juga digunakan juga untuk ke salon potong rambut, makan di restoran, nongkrong di Caf dan kegiatan lain di Jerman yang mengharuskan kita membawa surat ini. Ribet banget, ya? Nggak kayak di Indonesia yang bisa ke warung sembarangan.

Asyiknya lagi, tes ini gratis alias didanai dari departemen kesehatan Jerman. Satu pak tes biasanya kira-kira 1-5 euro (Rp 17.000-Rp 85.000). Kami dites pada hari Senin dan Jumat. Sedangkan di taman kanak-kanak tempat saya bekerja (Rabu dan Kamis), saya dicek hari Kamis tapi hasil tes hanya berlaku 24 jam. Pajak dari kita kembali kepada kita. Akur.

Untuk tesnya, bisa membaca keterangan di dalam kardus. Mula-mula membuka stik untuk mengambil sampel lender di dalam hidung, membuka cairan untuk mengetes dan dimasukkan ke tabung kecil, baru papan teskit untuk memasukkan tabung yang telah dicelup stik berlendir selama beberapa detik. Kalau sudah selesai, semua masuk dos dan  tempat sampah pembuangan khusus, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Pengetesan dilakukan serempak, supaya kelas bisa dimulai serempak pula. Butuh 15 menit untuk mengetahui hasilnya, selama itu, bisa untuk baca buku atau bahan pelajaran. Jika hasilnya satu strip pada C artinya negatif jika T berarti (gagal alias terjadi kesalahan dari proses pengetesan entah dari lendir yang kurang atau sebab lain). Dua strips, positif.

Dua minggu lagi, saya tidak perlu melakukan tes seperti ini karena sudah divaksin selama dua kali.

Isi tes Kit (dok.Gana)
Isi tes Kit (dok.Gana)
Kelas terbagi dua

Kami satu Angkatan berjumlah 30 orang. Tadinya 31 tapi satu orang sudah mengundurkan diri di minggu pertama. Entah berapa orang lagi yang akan gugur di tahun kedua. Juli adalah akhir dari masa Pendidikan tahun pertama. Legaaaa pasti, ya. Tinggal sebulan. Hiks. Berat juga sekolah dengan Bahasa yang bukan bahasa ibu. Keriting dan pening kepala ini.

Karena meja di dalam kelas harus berjarak 1,5 meter, tentu tidak memungkinkan jika semua masuk dan ini sangat riskan dengan penyebaran virus. Semakin banyak orang, semakin banyak virus yang menari-nari.

Makanya, pihak sekolah memutuskan untuk membagi dua tiap kelas. Ada grup A dan grup B. Meskipun nama saya Gana, awalan hurufnya G, tidak masuk grup A melainkan B, mengingat mengikuti nama keluarga, Stegmann alias St. Yah, belajar ABC lagi.

Kelas memang agak sepi karena hanya 15 orang kalau masuk semua, kalau sakit 5, sepiiiii banget. Heran, banyak teman yang masih muda, tapi tidak termotivasi untuk rajin datang ke sekolah.

Di dalam kelas, ada display beamer yang menjadi acuan guru untuk mengajar dua kelas. Separoh kelas yang hadir di ruangan dan separoh kelas yang mengakses proses belajar mengajar dari rumah alias memakai Alfa view.

Tablet kecil menjadi display guru untuk melihat peserta didik yang ada di rumah online. Kelemahannya adalah kami tidak bisa melihat mereka tapi mereka bisa melihat kami, karena kelas ada CCTV nya yang disambungkan dengan Alfa view. Suara dari mereka yang ada di rumah, jika ada yang menjawab pertanyaan atau bertanya, tidak begitu jelas. Begitu pula ketika saya sekolah online dan grup A hadir di kelas. Mungkin karena tidak ada speaker.

Semua materi bagi yang sekolah online bisa diunduh di moodle atau web.untis. Sedangkan yang hadir di dalam kelas, mendapatkan foto kopi dari guru. Pusing Barbie betul, sekolah di Jerman banyak sekali bahan foto kopi yang harus dibaca, dicerna dan ditanggalkan di dalam kepala. Happy sekali kalau tahun 2023 nanti kelar. Kita tumpengan dan pesta bakar sate di kebun! Inshaallahhhh.

***

Beberapa siswa merasa senang dengan sistem pembagian kelas menjadi dua demi keamanan dan kenyamanan bersama. Di sisi lain, ada yang sedih karena tidak bisa bertemu dengan teman lainnya, seperti biasa. 

Saya ingat beberapa waktu yang lalu, TV lokal mewawancarai anak-anak kami di rumah, untuk menanyakan dampak psikologis sekolah online bagi anak-anak. Selain stress karena nggak bisa gaul lagi atau materi yang numpuk-numpuk susah dipahami, lama-lama bosan di rumah sudah dari tahun kapan. Iya memang kondisi sedang nggak normal.

Teman-teman, semoga bulan depan, kami bertiga puluh bisa berkumpul lagi di dalam satu kelas, ketika jumlah yang terpapar virus Covid19 tetap berada di bawah 100.

Akhir kata, saya harap semua tetap menjaga kesehatan, menjaga protokol kesehatan, positive thinking dan melakukan aktivitas dengan hati.

Semoga corona cepat berlalu. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun