Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ingat, Makan di Restoran Harus Pakai Masker dan Isi Data Diri

7 Juli 2020   20:36 Diperbarui: 8 Juli 2020   13:43 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peringatan resto:Tanpa masker tak boleh masuk (dok.Gana)

Pada acara Gather.inc yang lalu saya sempat ditanya dik Widha admin Kompasiana, selaku moderator. Pertanyaannya yakni apakah saya sudah pernah mencoba makan di restoran atau menginap di hotel di era New Normal.

Jawabannya, sudah. Wow, ternyata di Jerman ada peraturan khusus di restoran, yakni memakai masker dan mengisi data diri.

Berikut pengalaman kami....

Restoran Italia "Villagio"

Mbak Kris mengajak kami liburan weekend di apartemennya di Konstanz pada 13 Juni 2020. Kota pelajar yang indah karena anugerah danau Bodensee yang menjadi bagian dari tiga negara (Jerman, Swiss dan Austria). Alamak. Silakan Anda bayangkan, keindahannya benar-benar seperti di dalam kalender. Tuhan memang Sang Pencipta bumi seisinya yang luar biasa.

Berangkat pukul 9 pagi, kami butuh 1 jam perjalanan dari rumah untuk mencapai kota itu. Setelah tiba di tempat dan menaruh barang-barang, kami jalan-jalan ke mall LAGO. 

Pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari Sea life, tempat wisata yang memiliki beragam koleksi binatang air itu mulai tampak diisi pengunjung. Saya maklum jika tidak begitu banyak orang berbelanja, tapi setidaknya terlihat wara-wiri orang di sana-sini sebagai penanda ... perekonomian negara sedang menggeliat dari tidur.

Awalnya, shock. Saya terpana. Namanya baru pertama kali keluar dari rumah setelah 3 bulan karantina. Gagap sekali. Sebelumnya kami hanya keliling kampung atau paling banter keliling hutan.

Mengelilingi kota besar waktu itu, saya kaget. Banyak orang tidak memakai masker sehingga merasa tidak aman, tidak nyaman. Kesan seremnya, sepertinya orang-orang sudah lupa pernah ada Corona yang memporak-porandakan dunia.

Untung hari itu segera cepat berlalu, hari kian temaram, waktunya makan malam.

Kami mengitari sekitar apartemen. Menyisiri sisi danau yang indah, di mana berjajar beberapa restoran yang mulai banyak dikunjungi pelanggan. Dari beragam restoran tersebut, anak-anak memilih pizzeria atau restoran Italia. Halah.

Biasanya sesuai adat Jerman, kami harus memesan meja beberapa jam sebelumnya, bahkan ada restoran yang membuat kami memesan satu hari sebelumnya. "Termin" atau membuat janji adalah bagian dari budaya orang Jerman. Saya pikir ada bagusnya juga, teratur dan supaya nyaman.

Kami berdiri di depan restoran sekitar 5 menit. Sembari nunggu, mengisi data diri di meja kecil dekat disinfektan. Antrian dengan jarak 1,5 m sebagai protokol kesehatan dengan para pelanggan lain yang juga ingin makan, tidak begitu panjang. 

Tidak ada yang menyerobot karena minta duluan, tertib is the best. Seorang pelayan pria mendatangi kami dan menunjukkan meja yang bisa kami tempati. Jarak antar meja memang agak jauh. Aih, lega. Masker pun sudah boleh dilepas ketika duduk.

Mata saya mulai meneliti sekeliling restoran. Orang-orang sudah mulai nyaman berada di luar rumah untuk eat out. Dahulu sebelum New Normal, restoran dan tempat makan lainnya benar-benar tutup. 

Sekalipun ada hanya satu-dua, itu pun, mereka take away makanan atau membeli voucher untuk dicairkan kapan-kapan. Maksudnya supaya bisnis kuliner tetap berjalan lancar dan tetap ada pemasukan meski masih ada corona. Mendukung proses tetap berjalannya perekonomian lokal itu perlu.

Ini mungkin pemandangan yang agak berbeda dibandingkan dengan di warung-warung Indonesia di masa corona. Khususnya ketika saya melihat dokumentasi pak gubernur Jateng dan staff berkeliling naik sepeda dan mengingatkan mereka yang makan di warung-warung untuk jaga jarak 1-2 meter serta memakai masker. 

Maklum, orang Indonesia suka kehangatan dan memang orang-orang yang hangat, sehingga duduknya dempet-dempetan sangat dekat. Sudah begitu, males pakai masker padahal belum New Normal.

Sebagai informasi, New Normal di Jerman ditandai dengan normal jika orang tidak memakai masker jika di luar ruangan, namun di dalam ruangan harus pakai.

Yah, pengalaman pertama kali makan di restoran di masa New Normal tadi memang mengesankan. Saya belajar tentang aturan memakai masker dan mengisi data diri. Supaya, jika ternyata nanti ada seseorang yang terjangkit virus covid19 pada saat kami berkunjung, kami pun harus karantina mandiri, walau sehat walafiat.

Restoran Italia "Roessli"

Kesempatan kedua adalah saat diundang teman baik untuk menghadiri acara ulang tahun pada 3 Juli 2020. Memang tidak seramai seperti yang saya gambarkan. Hanya keluarga inti saja yang hadir.

Restoran Italia itu ada di sebuah desa yang sangat indah bernama Noeggenschwiel. Daerah perbatasan Jerman-Swiss itu istimewa karena di mana-mana ada bunga mawar. 

Tidak heran jika meskipun sudah memiliki nama, desa itu dijuluki orang sebagai "Rosendorf" atau desa Mawar. Atraksi wisata eco yang menarik wisatawan manca dan lokal untuk menikmati pemandangan bunga mawar di mana-mana. 

Setiap penduduk menanam mawar, di taman desa juga ada mawar, sebuah organisasi yang mengembangkan mawar juga memamerkan jenis-jenis mawar di kebun khusus. Ah, seperti di surga dunia. Makin melayang jika mawar yang dicium memiliki intensitas keharuman sampai bintang 3.

Oh, ya, di restoran Italia tadi juga ada papan peringatan untuk memakai masker saat memasuki restoran dan toilet. Masker baru dilepas jika akan makan atau minum saja.

Di pintu masuk, ada sebuah meja dengan disinfektan dan kertas serta pen untuk mengisi data diri kami. Mulai dari nama, alamat dan nomor telepon harus diisi dan dimasukkan di box. 

Kata yang punya restoran, jika ada salah satu yang terkena, siapa saja yang datang pada hari itu akan dihubungi supaya bisa karantina mandiri atau memeriksakan diri.

Sebuah kertas bertuliskan peringatan supaya tetap memakai masker ketika hendak ke toilet juga ada. Hanya saja tidak ada larangan untuk pergi ke belakang bersama-sama. Di sekolah-sekolah, termasuk di VHS, itu dilarang. Meskipun toiletnya ada 5 di dalam satu ruangan, tetap hanya boleh satu saja yang masuk.

Tatanan meja dan kursi dibuat sedemikian rupa supaya jarak 1,5-2 meter terpenuhi.

Kasir juga memiliki shield atau penghalang transparan. Hanya bagian bawah untuk tangan masuk saat membayar dengan kartu saja yang terbuka.

Protokol kesehatan di restoran desa ini juga sama dengan restoran di kota. Artinya, tidak ada pengecualian. Hanya saja, jika pelayan di restoran di Konstanz tadi memakai maskernya tidak pada tempatnya (hidung masih terlihat), di Noeggenschwiel sangat-sangat disiplin.

Restoran Jepang "Mosh Mosh"

Suami mendapat voucher hotel jauh hari sebelum masa Corona. Karena agak khawatir, kami meminta hotel di kota Mannheim untuk membatalkan atau menjadwalkan ulang. Rupanya tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan.

Sebenarnya, semua bisa diatur, asal kami mau bayar lebih mahal. Artinya, jika acara menginap dibatalkan nilai voucher dipotong banyak dan jika diundur lain waktu harus menambah ongkos. Akhirnya kami tetap ambil pada hari H, 4 Juli 2020.

Namanya anak-anak, cepat lapar, mulut selalu minta diisi. Sudah siang, anak-anak mau makan. Ke mana, ya? Restoran hotel tutup. Untung saja ada restoran Jepang yang dekat dengan hotel Maritim. 

Selain anak-anak sudah gemes lihat menu sate dan teh Jepang, perut sudah tidak mau diajak kompromi dan capek. Ya, sudah makan di sana.

Ada segelintir yang masuk di dalam restoran. Namun kebanyakan lebih memilih berada di luar, di bawah payung raksasa, seperti kami. Apalagi hari panas dan angin semilir.

Sejak menuju restoran sampai makanan datang, kami memakai masker. Baru dibuka ketika akan menyantap pesanan. Saya pikir itu sudah mengikuti protokol kesehatan dan mendukung upaya pemerintah dalam menghambat penyebaran covid19.

Di restoran itu sepertinya aturannya agak longgar, meskipun harus pakai masker tetapi tidak harus mengisi data diri seperti restoran yang sudah-sudah. Memang tidak saya tanyakan langsung kepada pelayan. 

Hanya saja melihat dan mendengar si bos yang berwajah Asia berbincang dengan konsumen, sepasang suami istri, saya jadi tahu bahwa ia tidak menganggap Corona itu serius. Contoh sederhana terlihat dari si bos dan para pelayan yang tidak memakai masker selama kami berkunjung.

Restoran Cepat Saji Amerika "Burger King"

Makan siang sudah, makan malam? Anak-anak kami terbiasa makan di rumah. Mereka menyukai menu-menu eksperimen kami. Menu kampung, menu rumahan.

Hanya saja, sekali liburan, mereka senang mencari makanan favorit anak sebaya dan ... cepat saji. Ada untungnya juga karena restoran Jerman mahal, orang tuanya jadi irit. Meskipun termasuk kategori junk food dengan harga terjangkau, sesekali beli tidak jadi soal. Asal tidak sering-sering saja.

Nah, kami berencana makan di kamar hotel. Jadi kami memesan dari layar mesin pemesanan di seberang kasir. Itu bagus karena antrinya panjang. Pemesanan dan pembayaran mandiri mempercepat proses pelayanan. Tinggal antri 1,5 meter, lalu dipanggil nomornya, selesai. 

Disinfektan tersedia di dekat pintu. Arah masuk dan keluarnya satu arah, supaya menghindari kontak langsung dengan pembeli lainnya. Tanda-tanda panah dengan warna merah di lantai membantu mengingatkan para pembeli.

Entah mengapa tidak ada seorangpun yang makan di dalam resto cepat saji. Yang ada hanya orang antri beli atau ambil pesanan take away. Para pelayan kebanyakan memakai masker. Bagus, itu, meskipun belum semuanya pakai.

Oh, ya. Ada empat bangku di luar resto dengan jarak 1,5 meteran, sudah dipenuhi orang-orang. Mereka ini mengudap makanan sembari mandi matahari, menikmati keindahan air mancur dan taman kota di seberang lampu merah sana. "Dunia memang hanya milik kita, lainnya ngontrak."

***

Bagaimana? Seru bukan, pengalaman makan di restoran di Jerman setelah pemerintah melonggarkan masyarakat untuk keluar? Rata-rata baik pihak resto dan pengunjung sudah mengindahkan protokol kesehatan. Walaupun belum 100%, sudah ada upaya keras untuk menuju kebaikan bagi semua.

Kami yang tadinya takut-takut, sekarang sudah agak terbiasa untuk makan di luar. Asal mengikuti protokol kesehatan seperti memakai masker, membasuh tangan dan mengolesi tangan dengan disinfektan, jaga jarak serta mengisi data diri, saya pikir sudah membantu proses pengereman penyebaran virus yang sekarang sedang ngetrend.

Sekarang, bagaimana dengan Kompasianer yang ada di Indonesia? Sudah siapkah restoran, cafe, warung dan Anda ...  menjalankan protokol kesehatan seperti di Jerman tadi, demi mendukung program pemerintah dalam menghambat pertambahan jumlah pasien Covid-19?

Siap tidak siap, mari dilaksanakan. Rasanya, itu lebih baik.(G76).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun