Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

(Fiksi Ramadan) Janji

23 Mei 2020   22:41 Diperbarui: 23 Mei 2020   22:34 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ingin mengikat janji bertemu Mini (dok.Gana)

Hilal telah tampak. Itu 5 menit setelah matahari terbenam sebab sudut elongasi hanya terbilang kurang dari 2 derajat.

Farid menepati janji, hadir dalam rukyatul hilal. Ia begitu takjub. Maha Besar Allah bahwa ia mampu menggunakan mata telanjang untuk melihat hilal di masjid Agung. Pengen rasanya ia lunjak-lunjak tapi urat malunya belum putus. Ia benahi masker di wajahnya yang agak melorot.

Pak Prof. Dr. H. Husni yang jadi ketua rukyat tampak begitu tenang melihat apa yang baru kami saksikan. Farid harus jaim. Ia coba menyibukkan diri memutar-mutar lensa telenya supaya gambar berhasil dibidik dengan jelas. "Klik."

"Pengamatan dengan mata saja nggak cukup, nak Farid. Kita harus tetap mengacu pada ilmu falak." Mata pak Haji menerawang jauh ke atas. Ilmu astronomi Islam serta ilmu hisab yang menghitung hilal secara matematis adalah dua ilmu penentu posisi bulan dalam sudut tertentu.

"Betul, prof, ilmu itu nggak mudah tapi sudah pernah diajarkan di tahun awal saya mondok. Sayang saya nggak katam belajarnya." Farid nyengir. Ia masih ingat pengalamannya di pesantren Pucang Gading. Jurnalis muda itu kemudian mengangguk, badannya agak merunduk. Itu sebagai tanda hormatnya pada tokoh masyarakat di sebelahnya. Ia turunkan tele sebentar dan menatap mata pakar hilal, yang sesekali memijat kening seolah berpikir keras atas tugas yang diembannya.

"Ingat, setelah hilal diukur dari segala sisi, kita harus menyimpulkan pemantauan dan menyampaikannya pada kementrian agama di dalam sidang isbat. Ada 80 titik yang harus ditunggu hasilnya." Profesor Husni mengecek hilal tracker tripod yang sudah dari tadi siap. Beberapa asisten beliau begitu sabar dan sibuk membantu supaya pengamatan sempurna. Tak lama kemudian, para ahli rukyat lainnya tampak serius berdiskusi dengan profesor.

"Iya prof, banyak orang yang bisa saja nggak sabar melihat hilal. Masih jam 4-5 sore sudah tanya hilal tampak atau enggak. Memang harus sabar karena butuh waktu cukup lama." Farid lagi-lagi mengangguk. Pemantauan hilal bisa saja mengalami kendala lantaran cuaca buruk. Jika bumi teramat dekat dengan matahari pun, hilal susah untuk ditembus. Selama ini sudah beberapa kali ada perbedaan hari perayaan Idul Fitri antara umat Islam yang ikut Muhammadiyah dan NU.

Farid nggak mau ketinggalan momen penting. Kameranya mulai mengabadikan gambar hilal Tracker Tripod, alat bantu rukyatulhilal bikinan Mutoha Arkanuddin. Ia sudah baca-baca sebelum ditugaskan bosnya meliput pengamatan hilal hari ini. Mutoha adalah seorang ahli Astronomi kelahiran Kebumen, Jawa Tengah pada tanggal 9 November 1966. Sebenarnya Hilal Tracker Tripod itu adalah hasil modifikasi dari gawang lokasi, yang terdiri dari tiga komponen penting, yaitu Hilal Tracker (gawang), bidang Hilal Tracker, dan Tripod.

***

Hari sudah sangat gelap, Farid terlihat lelah sekali memegangi stang kendaraan. Sampai di kosan, ia parkir sepeda motor bebeknya di garasi dan segera masuk kamar pelan-pelan. Takut mengganggu teman-teman kos yang barangkali sedang istirahat?

Usai mencuci muka dan tangannya dengan sabun, ia ganti bajunya dengan kaos oblong dan bawahan sarung. Duduk di atas meja kecil dekat kasur, ia hendak mengejar deadline laporan. Ia harus rampung dalam 1 jam ke depan. Mukanya tampak serius, keningnya berkerut. Tangannya semakin tegang mengetuk huruf-huruf keyboard di laptopnya. Work from home, tetap kerja dari rumah di masa pandemi memang asyik tapi kalau nggak disiplin semua berantakan. Dan Farid tahu betul, kalau nggak kerja, dapur nggak ngepul.

"Tut-tut-tut ... tut-tut-tut" Nada panggilan facetime dengan tulisan "My Minie" berdering. Konsentrasi mengerjakan tugas dari pak bos, pecah!

"Mini, ada apa, sayang? Belum tidur, cantik?" sapa Farid.  Matanya menatap Mini yang sudah memakai daster batik, tergolek di tempat tidur.

"Kamu pasti sedang sibuk, seperti biasanya. Kamu lupa telpon aku hari ini. Kamu sudah janji." keluh Mini.

Farid harusnya tahu adat istrinya, yang ingin agar ia rajin menelpon istri layaknya orang minum obat. Sehari dua kali; pagi dan malam hari. Sekali lupa, Mini bakal berprasangka yang tidak-tidak.

"Oh, maafkan aku, sayang. Aku baru saja tiba di kosan dan ini ada tugas yang harus selesai, buat breaking news tentang hilal." Farid menepuk keningnya sekali.

Matanya mengarah ke sebuah cangkir. Ia menyeruput kopi yang hampir saja dingin. Jika saja ia serumah dengan istrinya, ada camilan gorengan yang akan dikudapnya. Pisang goreng, ketela goreng, bahkan rempeyek yang akan dibuat istrinya, di dapur kecil rumah kontrakan mereka. Ya, khusus hanya untuknya.

"Kamu nggak kangen aku, mas," selidik Mini. Mukanya tampak kusut. Istinya mengacak rambut yang nggak kutuan apalagi ketombean.

"Pasti, pasti aku kangen kamu, sayang, tapi aku harus kerja. Kamu tahu, kan. I love you." Farid mencoba menenangkan Mini. Ia nggak mau istrinya menduga ia jahat dan mikir yang enggak-enggak. Ia juga sih, yang salah, seharian ini lupa telpon.

"Ah, kamu, tukang ngrayu." Mulut Mini agak maju. Ia kadang sangsi apa yang dikatakan suaminya benar atau hanya gula-gula. "Mas, di sini mendung." Setelah beberapa saat hening. Mini angkat bicara lagi. Desahannya membuat Farid kangen ingin pulang. Tapi ia nggak bisa pulang karena PKM dan istrinya tinggal di daerah PSBB.

"Tapi mendung nggak berarti hujan, kan, say." Farid menggoda Mini, berharap jarak yang memisahkan mereka bukan alasan untuk meratapi diri. Semua sedang diuji, harus sabar.

Dalam artikel-artikelnya, Farid banyak menyoroti kebandelan masyarakat yang tidak mematuhi peraturan pemerintah. Ia pengen semua masyarakat bersatu melawan corona, nggak seenak perutnya sendiri. Nggak bikin "nila setitik rusak susu sebelanga." Nah, sekarang masak ia sendiri harus ngotot pulang buat ketemu istri tercinta? Nggak pas dengan idealisme yang diusungnya selama ini.

"Bagiku, tanpamu, hari-hariku selalu hujan, mas. Sudah dua bulan kamu nggak bisa pulang.  Aku kangen." Mini baru saja dinikahinya setahun yang lalu di Surabaya. Meski masih serumah dengan orang tuanya, Mini merasa kesepian. Seperti ada yang hilang ketika Farid harus merantau ke Semarang.

"Aku tetap mencintaimu, Mini. Yang sabar, sayang. Ingat pesan mbok Minto, ra sah mulih sik. Sing penting duite mulih." Farid mengajak istrinya bercanda. Ia nggak ingin Mini nangis sesenggukan gara-gara kesal dengannya atau karena kesepian.

Video clip yang dibuat Ucup dari Klaten memang sedang viral. Pemeran ibu yang dibawakan mbok Minto berhasil mengocok perut penikmat youtube. Ajakan jangan mudik dulu disampaikan dengan cara jitu. Kalau mbok Minto saja taat pada peraturan, sebagai kuli tinta, ia harus lebih bisa mendukung pemerintah dan tenaga medis dalam memutus rantai penyebaran corona.

"Ihhh, kamu, mas. Sukanya bercanda. Aku serius." Mini lebih berharap Farid datang, ketimbang hanya transferan ATM suaminya.

"Aku dua-rius, sayang. Janji." Farid mengangkat jarinya. Tanda "Victory" sebagai sumpah, apa yang dikatakannya benar. Farid melirik jam di tangannya. Ia minta pamit menyudahi video call yang nggak kerasa sudah 15 menit berjalan. Tugasnya belum kelar, takut kena damprat pak bos dan semua jadi ambyar.

***

Farid kembali menekuri artikel di depannya. Ia tancap gas.

Syukurlah, tugas selesai dan terkirim. Kini ia rebahkan badannya yang didera lelah di tempat tidur.

Kamar tidur sepi. Hanya bunyi jam dinding yang mengisi ruangan. Matanya kelap-kelip, menatap langit-langit rumah kos yang mulai buram warnanya. Sudah jam 1 dini hari. Ia harus menutup matanya karena besok ada tugas liputan lagi. Namun entah mengapa, ia nggak bisa tidur. Berkali-kali ia ubah posisi. Kiri, kanan. Kiri, kanan. "Ah, Sumini."

Bayangan wajah Mini nggak mau pergi, padahal ia sudah transfer uang minggu lalu untuk lebaran.

Gusti, semoga badai corona segera berlalu supaya ia dan Mini bisa mengikat janji untuk bertemu.

"Selamat lebaran, Miniku sayang, Miniku malang. Maafkan aku nggak bisa datang memeluk dan menciummu sebisaku. Janji, aku akan menelponmu besok pagi. Janji."(G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun