Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Segar Artikel Utama

Kangen Sungkeman, Tradisi Bermaaf-maafan ala Jawa Saat Lebaran

22 Mei 2020   03:40 Diperbarui: 22 Mei 2020   14:51 1403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memori sungkeman dengan orang tua (dok.To2k)

Hari ini ketika sedang bersih-bersih ruang tamu, menemukan tiga lembar foto di meja di atas tumpukan dokumen yang sedang saya rapikan.

Itu foto lama kiriman almarhum bapak yang sebulan lalu meninggal. Salah satunya adalah foto ketika kami sungkem dengan beliau tahun 2008. Kangen rasanya bertemu beliau. Sayang, tahun ini nggak bakal bertemu karena dunia memisahkan kami.

Apa itu sungkeman?

Kompasianer, sungkeman adalah tradisi yang lekat dalam kehidupan kami di Semarang, Jawa Tengah. Sungkeman kami lakukan setidaknya pada dua momen.

Momen yang pertama adalah saat lebaran setahun sekali. Sungkeman dimaksudkan untuk meminta maaf kepada orang tua dan silaturahim. Saya masih ingat betul detik-detik sungkeman di Indonesia.

"Bapak/ibu ngaturaken sugeng riyadi. Nyuwun pangapunten sadaya kalepatan." Ucap saya lirih tapi pasti dalam Bahasa Jawa krama alus, bahasa lokal yang sehari-hari kami gunakan. 

Pangapunten yang merupakan tingkatan tinggi dari pangapura yang dalam bahasa sansekerta artinya ampunan atau maaf.

Jadi artinya secara keseluruhan yakni ucapan selamat hari raya Idul Fitri dan meminta maaf atas segala kesalahan entah disengaja maupun tidak disengaja. Hari Idul Fitri, sebaiknya kembali suci.

Sebagai anak, pasti banyak ketidaktahuan, kesalahan, kemarahan, kekurangajaran, ketidaksopanan yang pernah terjadi selama hidup bersama orang tua atau saat sudah berkeluarga tapi masih berkomunikasi. Barangkali ada kata-kata atau perbuatan yang nggak mengenakkan hati tapi tidak dibahas. Inilah saatnya untuk melebur menjadi debu. Hilang!

"Tak apura kabeh kaluputanmu. Sauga bapak/ibu sing tuwa yo akeh lupute, diapura. Muga-muga dadiya putri sing mikul duwur mendem jero...." Sembari mengelus-elus rambut saya yang biasanya panjang, bapak/ibu menjawab dengan ucapan dalam Bahasa Jawa ngoko alus.

Selain memberikan maaf kepada saya, ada doa terselip di sana. Misalnya supaya saya jadi putri yang mampu melakukan yang terbaik dalam hidup hingga mengangkat nama baik keluarga, khususnya orang tua. Doa orang tua, kepanjangan tangan dari Tuhan Yang Maha Memberi. 

Oh, ya, meminta maaf nggak harus yang muda saja, yang tua pun nggak salah andai meminta maaf. Namanya manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Allah Yang Maha Pengampun nggak akan menghapusnya kalau tidak dimintakan dulu kepada orang yang telah disalahi.

Makanya masing-masing dari kami bertujuh memiliki kalimatnya sendiri-sendiri. Untuk para cucu, umumnya bapak dan ibu saya biasa menuntun mereka yang belum bisa merangkai kalimat itu.

Daripada diam saja, orang tua saya meminta para cucu mengulangi kata demi kata. Gampang, kan. Nggak usah takut, apalagi lari karena takut disetrap eyang kakung atau eyang putri.

Momen kedua, sungkeman juga kami lakukan pada hari pernikahan, yakni pada acara siraman dan pada resepsi pernikahan.

Itu sebagai lambang mohon doa restu, berterima kasih, darma bakti, penghormatan kepada orang tua yang telah membesarkan dan mendidik dalam satu rumah kemudian membangun mahligai perkawinan.

"Bapak/ibu nyuwun pangestu anggenipun kula badhe mangun bebrayan. Nyuwun pangapunten manawi kula gadah kalepatan." Tak seperti pernikahan di Eropa, khususnya Jerman, restu orang tua di tanah air itu wajib dan penting didapatkan pasangan mempelai yang akan membangun rumah tangga.

Untuk itu meminta doa restu orang tua dan mohon maaf jika ada kesalahan selama ini, perlu dilakukan. Siapa lagi yang akan melestarikan budaya suatu bangsa kalau bukan bangsa itu sendiri.

Karena ini sekaligus sebagai perpisahan antara anak dan orang tua, nggak jarang pengantin entah laki-laki atau perempuan akan menangis. Begitu pula orang tua. Kehidupan akan berubah karena tak lagi hidup bersama dan sudah membangun keluarga sendiri.

Posisi sungkeman yang harus diperhatikan

Sungkeman adalah tradisi tanda bakti dari yang muda kepada yang tua. Untuk itu posisi yang tua ada di atas misalnya kursi, yang muda bersimpuh atau boleh jongkok di lantai. Bapak  di sebelah kanan dan ibu di sebelah kiri duduk berdampingan di atas sofa di ruang tamu kami yang kecil. Mejanya sengaja disingkirkan supaya halamannya lebih luas untuk adat sungkeman.

Bapak selalu mengingatkan kami bahwa kedua tangan kami harus disatukan (bisa ditumpuk satu sama lain atau mengatup) dan bertumpu pada salah satu jengku atau lutut bapak/ibu. Untuk bapak, saya harus bertumpu di lutut kanan. Untuk ibu, lutut kiri. Jangan tertukar, ya.

Kepala saya menunduk sebagai tanda pasrah, hormat, mengalahkan ego manusia karena mendongak konotasinya sombong atau berani/melawan dan sebagai bentuk etika yang muda kepada yang tua itu harus begitu. Sungkeman pertama kali kepada bapak, baru ibu saya.

Urutan sungkeman dari yang tua baru yang muda. Kami bertujuh biasanya bergantian dari kakak nomor satu terlebih dahulu, sampai adik bungsu nomor tujuh. 

Begitu sudah pada menikah, biasanya per keluarga. Giliran kami biasanya setelah kakak nomor empat berikut istri dan anak-anaknya selesai sungkem, baru kami sekeluarga. Karena kadang hanya saya dan anak-anak, giliran kami sekeluarga dimulai bukan dari suami saya, yang tujuh tahun lebih tua dari saya tetapi dimulai dari saya kemudian anak-anak. 

Maklum, tinggal di luar negeri, nggak selalu bisa pulang pas lebaran. Kebanyakan kami menggunakan waktu liburan musim panas yang panjang untuk pulang kampung. Sedangkan mudik atau pulang ke rumah orang tua saat lebaran, tidak selalu jatuh pada liburan musim panas.

Setelah semua selesai. Kami bersalam-salaman dengan kakak, adik dan keponakan-keponakan yang ikut acara sungkeman. "Kosong-kosong, ya." Baru makanan yang telah siap disajikan, diserbu bareng-bareng. Oh, indahnya lebaran, berbagi dan tentu bermaaf-maafan. 

***

Demikianlah pengalaman saya saat sungkeman di tanah air bersama orang tua dan saudara-saudara. Sungkeman menurut saya adab manusia yang baik dan nggak dilarang oleh agama. Bahkan NU sendiri sudah menyatakan hal tersebut dalam lamannya.

Sayang, kali ini sungkeman nggak bisa kami jalani karena jarak dan waktu yang memisahkan kami. Apalagi, sekarang lagi musim pandemi. We stay at home. Kami sungkeman sekeluarga sendiri saja. Mulai dari saya ke suami, baru anak-anak kepada suami sebagai papanya dan baru anak-anak sungkem saya sebagai mamanya. 

Biasanya anak-anak ketawa-ketiwi karena dibilang sungkeman itu tradisi yang lucu dan nggak trend di Jerman. Nah, kalau nggak dikenalkan darimana mereka tahu? Iya, kan. Ayo, sungkem.

Sebagai tambahan, bagi saya, lebaran nggak harus pakai baju baru. Asal bersih dan sudah mandi, itu akan menjaga kenyamanan dan keharmonisan selama acara sungkeman dan ujung-ujung (berkunjung di rumah keluarga, saudara, kerabat).

Bagaimana dengan pengalaman dan opini Kompasianer tentang sungkeman? (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun